Hari Kebangkitan Teknologi Nasional Ke-26 menjadi momentum untuk meningkatkan daya saing industri nasional berbasis riset dan inovasi.
Oleh
Pradipta Pandu dan Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguasaan dan kedaulatan teknologi penting terus diupayakan meski di tengah pandemi Covid-19. Teknologi menjadi kunci dalam pengelolaan dan hilirisasi berbagai sumber daya alam sehingga membawa nilai tambah dan peluang kerja.
Dalam peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional Ke-26 secara virtual di Jakarta, Selasa (10/8/2021), Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 mengupayakan sejumlah strategi untuk mencapai kedaulatan teknologi dan penguasaan produksi.
”Kita tidak boleh hanya memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah, tapi kita harus meningkatkan nilai tambah dan peluang kerja melalui industri hilir. Kuncinya adalah teknologi,” kata Presiden.
Presiden Jokowi menyampaikan, salah satu pilar membangun kemajuan Indonesia ke depan adalah dengan hilirisasi industri dalam negeri. Contohnya, Indonesia harus bisa mengembangkan industri hilir baterai litium sampai produksi mobil listrik, tak sekadar memiliki tambang nikel.
Soal Indonesia yang memiliki ratusan ribu peneliti dan inovator serta diaspora kelas dunia, menurut Presiden, kekuatan ini harus dikonsolidasikan dan diintegrasikan. BRIN harus berburu inovasi dan teknologi dari para peneliti serta inovator untuk diinkubasi, diterapkan, hingga diindustrialisasikan.
Selain itu, ditekankan juga agar BRIN melakukan akuisisi teknologi maju dan mengembangkannya. Ini agar Indonesia tidak terus-menerus menjadi konsumen teknologi.
”Kita harus menjadi produsen teknologi, bahkan semakin berdaulat dalam hal teknologi,” kata Presiden.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyampaikan, guna meningkatkan ekosistem riset, BRIN akan menyediakan dan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) riset serta inovasi. BRIN juga akan mengundang para diaspora dan periset andal yang memiliki jam terbang tinggi serta menjadikan mereka bagian dalam lembaga riset tersebut. Langkah lain, ia membuka peluang peneliti dalam negeri bergabung menjadi aparatur sipil negara (ASN) di BRIN.
Strategi lain, BRIN akan menyediakan infrastruktur berstandar global dan membuka aksesnya bagi masyarakat dan SDM iptek Indonesia. Ini termasuk peneliti, perekayasa, dosen, mahasiswa, hingga para pelaku usaha.
Dengan skema tersebut, industri bisa memanfaatkan SDM dan infrastruktur riset yang dimiliki BRIN. Hal ini juga dapat menjadi solusi bagi para pelaku industri untuk mengembangkan produknya masing-masing.
Selain itu, BRIN juga akan memfasilitasi tata kelola kekayaan intelektual dengan model bisnis antara industri dan lembaga riset. Di sisi lain, BRIN akan melakukan intermediasi dengan pelaku kepentingan untuk memanfaatkan produk hasil riset dan inovasi, khususnya untuk tujuan pengadaan pemerintah.
”Kita perlu membangun ekosistem riset dan inovasi yang kuat serta mewujudkan kolaborasi,” ujarnya.
Inovasi saat pandemi
Pandemi Covid-19 ini juga menumbuhkan sejumlah inovasi yang aplikatif dan diproduksi massal oleh industri. Kolaborasi peneliti dan industri berperan penting.
Ekosistem riset seperti itu dirasakan langsung oleh Carina Joe, peneliti diaspora Indonesia di Institut Jenner, University of Oxford, Inggris. Carina menjadi salah satu orang Indonesia yang terlibat hingga memperoleh paten dalam pengembangan vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Memang perlu ada kerja sama industri dan peneliti hingga hasilnya bisa dinikmati masyarakat serta ketersediaan fasilitas yang lengkap.
Selain ketersediaan anggaran, para peneliti juga didukung kolaborasi dengan para ahli dari berbagai bidang. ”Kalau riset hanya dilakukan di laboratorium, hasilnya tidak bisa dirasakan untuk kehidupan manusia. Jadi, memang perlu ada kerja sama industri dan peneliti hingga hasilnya bisa dinikmati masyarakat serta ketersediaan fasilitas yang lengkap,” ujarnya, Minggu (8/8/2021).
Contoh serupa di Indonesia juga ditunjukkan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi dan tim penelitinya ketika mengembangkan ventilator emergency. Konsep untuk mengembangkan produk tersebut sudah dimulai sejak Maret 2020 ketika kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia.
Ventilator sangat urgen karena saat itu belum ada perusahaan dalam negeri yang mampu memproduksinya. Seluruh proses yang dibutuhkan pun dijalankan dengan cepat, termasuk proses uji klinis untuk memastikan mutu dan manfaat dari ventilator yang dikembangkan.
Kini ada tiga perusahaan yang memproduksinya, yaitu PT Poly Jaya Medika, PT Len Industri (Persero), dan PT Dharma Precision Tools.
Contoh lain, inovasi alat bantu pernapasan beraliran tinggi (HFNC) dari LIPI dan PT Gerlink Utama Mandiri. Kini, sekitar 2.000 unit HFNC digunakan di sejumlah rumah sakit di Indonesia (Kompas, 9/8/2021).