Sistem Penganggaran Belum Memacu Riset dan Inovasi
Sistem pendanaan di Indonesia dinilai belum mampu memacu riset dan inovasi. Selain tidak fleksibel, sistem penganggaran masih kaku dan tidak multitahun sehingga produk inovasi yang dihasilkan tidak optimal.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki banyak peneliti berkualitas, namun belum didukung oleh ekosistem yang baik, salah satunya berupa sistem penganggaran yang kaku. Situasi ini menyebabkan sebagian peneliti memilih berkarya dan sukses di luar negeri, sedangkan yang bertahan di Indonesia kesulitan menghasilkan karya riset kelas dunia.
”Kita perlu lahan subur dan ekosistem yang baik agar peneliti-peneliti kita yang sebenarnya merupakan bibit unggul tumbuh baik di negeri sendiri,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam wawancara daring, di Jakarta, Minggu (8/8/2021).
Salah satu tantangan yang memperburuk eksosistem riset di Indonesia berupa sistem penganggaran yang kaku. ”Riset bidang apa pun rata-rata jangka panjang. Makanya, penemu Nobel dari berbagai negara itu tua-tua semua, karena dari riset sampai ketemu hasilnya bisa 20 tahuan, meneliti di bidang yang sama,” kata Satryo.
Penelitian tidak bisa ditarget dengan jangka waktu satu atau dua tahun selesai. Sebab, riset selalu memiliki dua kemungkinan, berhasil atau belum berhasil, dan harus terus dilakukan sampai ketemu hasilnya setelah bertahun-tahun kemudian.
Namun, sistem keuangan di Indonesia, lanjut Satryo, tidak memungkinkan kegiatan riset dalam jangka panjang. ”Aturan penganggaran negara kita, riset itu hanya bisa dikerjakan dalam waktu setahun dengan pola pengadaan. Di akhir tahun harus membuat pertanggungjawaban dan komponen anggaran tidak boleh diubah. Ini menyebabkan riset kita tak optimal,” tuturnya.
Aturan penganggaran negara kita, riset itu hanya bisa dikerjakan dalam waktu setahun dengan pola pengadaan.
Di negara-negara maju, bahkan juga di sejumlah negara di Asia Tenggara, sistem anggaran untuk peneliti bersifat multitahun dengan pendekatan hibah. Hal ini misalnya dilakukan Amerika Serikat dengan National Science Fund atau di Tailand dengan Thai Research Fund.
Baca juga : Riset Inovasi Masa Depan Berbasis Kolaborasi
”Jadi ada dana hibah diberikan kepada peneliti secara utuh, silakan dipakai sesuai kebutuhan sehingga peneliti bisa leluasa berkarya. Ini yang didapatkan juga oleh para peneliti diaspora Indonesia di luar negeri,” ungkapnya.
Pertanggungjawaban dari penggunaan dana ini bukan diukur dari bagaimana dananya dipakai, tetapi pada kemajuan risetnya. ”Ada evaluasi dari peer review, kalau ditemukan peneliti yang nakal, misalnya uang diterima tapi tidak dikerjakan, bisa di-blacklist (masuk daftar hitam), selamanya tidak bisa terima dana riset. Reputasi dipertaruhkan di sini,” ujarnya.
Satryo mengatakan, sejak tahun 2012 AIPI memperjuangkan dana hibah untuk peneliti di Indonesia. Hingga tahun 2016 lahir Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). ”Konsepnya, pemerintah memberi dana abadi melalui DIPI dan bunganya yang dipakai untuk membiayai riset. Kami usulkan dana awal untuk riset sekitar Rp 400 miliar, artinya butuh dana abadi sekitar Rp 4 triliun,” ujarnya.
Sejumlah negara asing, termasuk Amerika Serikat dan Australia, sebenarnya telah berniat untuk mendukung DIPI, namun dari Pemerintah Indonesia sampai kini belum ada dana yang disiapkan. ”Negara lain mau naruh dananya, tetapi akhirnya belum jadi karena uang Indonesia mana? Masak asing semua? Ini yang sampai sekarang belum berhasil meyakinkan pemerintah,” katanya.
Situasi di Singapura
Astrid Irwanto, ilmuwan Indonesia yang telah 13 tahun belajar dan bekerja di Departemen Farmasi, Fakultas Sains National University of Singapore mengatakan, banyak skema pendanaan yang bisa diakses para peneliti di Singapura.
”Ada juga sistem pendanaan tahunan seperti Indonesia, namun banyak juga yang tiga tahunan dan jangka panjang. Bahkan ada yang sistemnya reimburse, jadi mencari data dan menulis paper dulu baru uangnya turun. Intinya, peneliti punya banyak pilihan untuk akses dana, sesuai kebutuhan,” tuturnya.
Astrid menambahkan, aksesibilitas terhadap dana riset ini, salah satu hal yang paling membedakan antara Singapura dan Indonesia. ”Mereka (Singapura) sangat berani dalam mendanai riset. Pemberi dananya justru Menteri Perdagangan dan Industri, bukan Menristek (Menteri Riset dan Teknologi)-nya. Ini sepertinya skema untuk menghubungkan industri dan riset,” tuturnya.
Para peneliti utama di Singapura tidak dibayar dari riset yang dilakukan karena pendapatan mereka sudah dijamin dari institusi tempat bekerja. ”Misalnya, sebagai peneliti utama dikontrak tiga tahun dengan gaji tertentu. Salah satu KPI-nya (indikator kinerja) adalah harus mendapat dana dan menghasilkan paper ilmiah. Peneliti juga tidak dipusingkan dengan laporan keuangan riset, tetapi bagaimana menghasilkan paper berkualitas,” katanya.
Baca juga : Menjaga Keberlanjutan Inovasi
Menurut Astrid, untuk meningkatkan kualitas riset, saat ini Singapura mendorong riset yang bersifat kolaboratif dan inovatif. ”Riset dasar masih bisa, tetapi harus berkolaborasi sehingga ada implikasinya sampai ke hilir,” ujarnya.
Selain itu, Singapura memperkuat jaringan dengan berbagai ilmuwan dari berbagai negara. Sekitar 15 tahun lalu, Singapura merekrut banyak peneliti dari luar negeri, termasuk para peraih Nobel. Mereka dibayar mahal untuk memperkuat iklim riset dan menyiapkan institusi riset dan kampus-kampus di Singapura sehingga berkaliber dunia.
Kedatangan para ilmuwan dunia ke Singapura ini kemudian didukung dengan infrastruktur yang mendukung riset, seperti peralatan laboratorium dan server. ”Misalnya, di bidang saya terkait biologi molekuler, seluruh peralatan terbaru untuk mendukung riset tersedia di institusi. Yang justru menjadi tantangan adalah sampelnya, nah Indonesia itu yang punya banyak sampel dan lahan subur untuk penelitian,” tuturnya.
Arah riset
Satryo memaparkan, selain sistem pendanaan belum mendukung, Indonesia tidak memiliki arah riset yang jelas. ”Mungkin karena RIRN (Rencana Induk Riset Nasional) yang tidak jelas. Topiknya terlalu besar, tetapi tidak diarahkan untuk kolaboratif guna menyelesaikan masalah ke depan,” ujarnya.
Terkait hal ini, AIPI telah membuat SAINS 45, yaitu buku berisi panduan untuk memberi arah bagi riset nasional. ”Ini beda dengan RIRN. Di SAINS 45 itu kami temu kenali persoalan atau fenomena di 2045, baru kemudian diurai cara mengatasinya dengan pijakan sains. Sementara RIRN menceritakan apa yang mau dikerjakan tahun depan atau lima tahun,” katanya.
Menurut Satryo, semua negara yang maju sainsnya, memiliki fase untuk meneropong masalah ke depan. Namun sampai sekarang, SAINS 45 belum menjadi acuan pembangunan sains di Indonesia.
”Kami sudah mencoba menjelaskan soal SAINS 45 ini, tetapi birokrasi kita belum bisa menerima konsep ini. Karena sudah terbiasa konsep membuat program dengan rujukan kondisi sekarang dan dibuat bertahap untuk ke depan,” katanya.
Baca juga : Krisis Jadi Kebangkitan Inovasi Nasional
Dengan berbagai kompleksitas persoalan ini, Satryo melihat bahwa pembentukan Badan Riset dan Iovasi Nasional (BRIN), dengan melebur berbagai pusat riset di kementerian dan lembaga, sebagai jalan keluar dalam memperbaiki ekosistem riset nasional.
”Kalau dilihat secara kritis, saat ini BRIN akan menjadi lembaga superbody mulai dari perencanaan, eksekusi, dan monitoring. Lalu siapa yang akan mengawasi? Kalau selama ini jelas. Ristek kebijakan penelitian, pelaku bisa lembaga riset dan pemantauan oleh yang lain. Dengan konsep sekarang belum jelas dan belum mengarah pada ekosistem yang diharapkan, malah menjauh dari kondisi ideal yang diharapkan,” ujarnya.
Menurut Satryo, peleburan lembaga dalam BRIN ini pendekatannya lebih ke struktural dan birokratis. Padahal, perbaikan ekosistem riset Indonesia memerlukan peningkatan fleksibilitas pendanaan dan otonomi riset. ”Di Indonesia masih banyak yang ingin punya kuasa. Mengira dengan mengatur lembaga-lembaga ini akan maju. Ini terbalik. Lembaga riset kalau disuruh otonom akan maju,” katanya.
Satryo mengusulkan, BRIN lebih berperan sebagai pembuat kebijakan dan lembaga pendanaan, sedangkan risetnya dikerjakan lembaga-lembaga lain. ”BRIN jangan eksekusi sendiri, tapi biarkan setiap lembaga, seperti LIPI, kampus, untuk meneliti secara otonom dengan dana riset multitahun,” ucapnya.