Peneliti LIPI dan PT Gerlink menunjukkan kolaborasi riset bisa menghasilkan produk yang berkualitas dan sekaligus laku dipasarkan. Produknya berupa alat bantu pernapasan beraliran oksigen tinggi kini telah dipasarkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Mandeknya hilirisasi hasil riset yang berdampak pada belum tersambungnya berbagai produk inovasi dengan kebutuhan industri hingga kini masih menjadi tantangan di Indonesia. Meski demikian, ada sejumlah contoh baik relasi penelitian dengan kebutuhan industri yang bisa menunjang hilirisasi.
Sebab tanpa kolaborasi antara peneliti dan industri, hampir mustahil hasil riset ataupun inovasi dapat tersebar atau dikomersialisasikan dengan baik. Hal ini juga disadari Hendri Maja Saputra, Ketua Kelompok Penelitian Otomasi Industri Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Para peneliti di Kelompok Penelitian Otomasi Industri LIPI telah menjalin kolaborasi riset dengan PT Gerlink Utama Mandiri, perusahaan manufaktur di bidang geoteknik dan medis. Gerlink memproduksi berbagai peralatan geoteknik berdasarkan american standard testing and material (ASTM) dan peralatan medis dengan sertifikat pengujian serta izin edar dari Kementerian Kesehatan.
”Saya sudah berteman lama dengan direktur di PT Gerlink. Jadi tahun lalu kami mempunyai tujuan sama ingin berkontribusi bagi masyarakat dan tercetus riset untuk mengembangkan alat bantu napas yang saat itu sangat dibutuhkan,” ujar Hendri, Sabtu (7/8/2021).
Tim peneliti dari LIPI dan PT Gerlink mengembangkan alat bantu pernapasan beraliran tinggi atau high flow nasal cannula (HFNC) untuk pasien sesak napas. HFNC menjadi alat bantu pernapasan pertama buatan dalam negeri yang berhasil lolos uji dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan Kementerian Kesehatan pada pertengahan Mei tahun lalu.
Peneliti yang terlibat dalam pengembangan alat ini beranggotakan empat orang dari LIPI dan tiga orang mewakili PT Gerlink. Kolaborasi riset mempercepat proses pengembangan HFNC. Alat ini pun dapat diselesaikan dalam jangka dua bulan.
Hendri mengakui tidak menjumpai kendala dalam kolaborasi riset dengan pihak industri. Para peneliti saling membantu dan bertukar pikiran untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan. Ketika peneliti LIPI memberikan desain saat pengembangan produk, pihak industri turut memberikan masukan sebagai penyempurnaan.
Satu-satunya kendala yang dihadapi dalam pengembangan HFNC yaitu terkait dengan mobilitas. Sebab, saat itu pemerintah tengah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSSB). Kondisi ini menyebabkan para peneliti susah mencari bahan-bahan karena banyaknya toko yang tutup.
Direktur Operasional PT Gerlink Ruchimat juga mengaku tidak menghadapi kendala dalam proses pengembangan HFNC. Sebaliknya, kolaborasi riset ini memberikan efektivitas dan efisiensi bagi industri karena kelengkapan infrastruktur maupun sumber daya yang dimiliki LIPI. Tanpa keterlibatan peneliti, pengembangan teknologi dari industri akan memakan biaya yang sangat besar.
Kolaborasi bukan berbentuk instansi, melainkan sumber daya manusia itu sendiri.
”Kami sudah kenal lama dengan peneliti LIPI, baik secara formal maupun informal, untuk penelitian alat. Mengingat saat awal pandemi sangat dibutuhkan alat pernapasan, akhirnya LIPI melakukan penelitian dan hasilnya kami komersialisasi. Kami menjalin kolaborasi ini karena percaya sudah banyak hasil penelitian dari LIPI yang berkualitas,” ungkapnya.
Menurut Ruchimat, PT Gerlink sebagai pihak swasta tidak hanya terlibat dalam proses komersialisasi. Namun, PT Gerlink juga memberikan masukan terhadap pengembangan HFNC agar alat yang dihasilkan murah dan mudah diduplikasi atau dipabrikasi.
Berkat kolaborasi riset ini, alat HFNC sudah terjual hingga 2.000 unit lewat distributor ke sejumlah rumah sakit di Indonesia dengan penilaian yang cukup baik. Bahkan, PT Gerlink juga tengah mengerjakan pesanan sebanyak 200 unit dari Kementerian Kesehatan.
Berkaca dari keuntungan dalam pengembangan HFNC, kata Ruchimat, tidak menutup kemungkinan PT Gerlink akan menjalin kolaborasi kembali dengan LIPI maupun lembaga riset lainnya. ”Ada beberapa pengembangan yang akan kami jajaki baik kerjasama dengan LIPI ataupun inovasi yang berasal dari masukan atau ide para dokter,” katanya.
Diaspora
Pentingnya kolaborasi riset antara peneliti dan industri ini juga diyakini peneliti diaspora, Herry Utomo. Ia yang saat ini menjadi profesor di Louisiana State University, Amerika Serikat, telah berhasil mengembangkan riset beras dengan indeks glikemik yang rendah.
Peran industri sangat penting dalam proses pengembangan riset, terutama untuk produk riset yang akan dipasarkan ke masyarakat. Pelibatan industri bisa dimulai sejak awal penelitian dilakukan.
Menurut dia, industri biasanya lebih mengetahui kebutuhan dan permintaan dari pasar. Industri juga yang lebih tahu produk yang layak untuk dipasarkan ke masyarakat luas. Dengan kerja sama industri, para peneliti juga ditantang untuk bisa semakin meningkatkan hasil dari penelitian.
”Kami pun saat ini ditantang untuk bisa menghasilkan produk beras serupa dengan tingkat produksi yang lebih besar. Dari sekarang yang diproduksi sekitar 7 ton beras per hektar menjadi 8 ton per hektar,” katanya.
Kolaborasi
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, proses hilirisasi dan komersialisasi bukan sesuatu yang linier. Hilirisasi tidak sebatas membuat produk atau teknologi dan mencari orang untuk memproduksi dan memakainya. Namun, hilirisasi merupakan hasil akhir dari suatu kolaborasi antara peneliti dengan pihak industri.
”Kolaborasi bisa terjadi jika ada interaksi antar-orang. Jadi, kolaborasi bukan berbentuk instansi, tetapi sumber daya manusia itu sendiri. Jika kita membuat MoU (nota kesepahaman) tetapi orangnya tidak cocok juga tidak akan tercipta kolaborasi,” ujarnya.
Guna meningkatkan kolaborasi riset ini, kata Handoko, ke depan proses penelitian beserta infrastrukturnya akan didesain secara terbuka sehingga bisa dipakai oleh swasta maupun peneliti mana pun. Dari proses ini secara alami akan memicu interaksi antara peneliti dan swasta. Sebaliknya, penelitian dan infrastruktur yang bersifat tertutup atau hanya digunakan salah satu lembaga tidak akan meningkatkan interaksi maupun kolaborasi.
Ia menambahkan, seluruh infrastruktur riset dari berbagai lembaga riset juga akan disentralisasi seperti LIPI sehingga pemeliharaan dan manajemen akan dikelola oleh pusat. Pusat akan memfasilitasi peneliti dengan investasi peralatan baru dan menanggung biaya operasional pemeliharaannya. Pada akhirnya upaya tersebut akan membuat para peneliti fokus melakukan pekerjaannya mengingat manajemen riset selama ini kurang terfasilitasi.
”Dari model ini, negara dapat memperoleh hasil dari kekayaan intelektual dan ini jauh lebih besar dibandingkan penarikan dana untuk penggunaan infrastruktur riset. Sedangkan bagi industri, mereka akan memiliki produk dengan diferensiasi tinggi sehingga bisa menjual lebih banyak dan mahal,” tambahnya.