Peringatan UNESCO Momentum Evaluasi Pembangunan di Komodo
Peringatan dari UNESCO terhadap pembangunan di Taman Nasional Komodo perlu menjadi momentum untuk melihat dan mengevaluasi kembali kebijakan pembangunan di kawasan yang telah menjadi warisan dunia ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menanggapi dengan serius teguran atau peringatan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO terkait dengan pembangunan di Taman Nasional Komodo, di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Peringatan ini sekaligus menjadi momentum untuk melihat dan mengevaluasi kembali kebijakan pembangunan di kawasan yang telah menjadi warisan dunia ini.
Peneliti lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo, Venansius Haryanto, mengapresiasi respons yang diberikan UNESCO terkait pembangunan di Taman Nasional (TN) Komodo. Hal ini sekaligus menjadi dukungan bagi sejumlah lembaga konservasi yang selama ini terus menyampaikan kondisi pembangunan di TN Komodo yang membahayakan konservasi, ekonomi pariwisata lokal, dan ruang penghidupan warga sejak 2018.
”Sudah sejak lama publik mengkritisi pembangunan infrastruktur ataupun pariwisata di kawasan ini yang dilakukan oleh negara dan pihak swasta. Adanya teguran dari UNESCO diharapkan dapat ditanggapi dengan serius oleh pemerintah dan memberikan informasi yang komprehensif ke publik,” ujarnya dalam diskusi secara daring, Kamis (5/8/2021) malam.
Meski peringatan dari UNESCO cukup terlambat, Haryanto memandang hal ini tetap dapat menjadi modal penting untuk mengevaluasi dan menghentikan pembangunan di TN Komodo. Sebab, terdapat sejumlah pembangunan di TN Komodo yang sudah direncanakan, tetapi belum dieksekusi, seperti konsesi tiga perusahaan mencapai 600 hektar dan pembangunan infrastruktur lainnya.
Pegiat konservasi TN Komodo, Doni Parera, menyatakan, peringatan dari UNESCO menjadi momentum bagi seluruh pihak, khususnya Pemerintah Indonesia, untuk melihat kembali kebijakan di kawasan TN Komodo. Setiap pembangunan atau perubahan di TN Komodo harus ada persetujuan dari semua pihak yang mewarisi situs ini.
”Pembangunan di TN Komodo selama ini sudah membahayakan upaya konservasi. Ingat bahwa satwa purba ini dapat hidup selama jutaan tahun tanpa ada campur tangan dari manusia. Sekarang dengan alasan ekonomi dan pariwisata, kita justru masuk ke habitat komodo tanpa berpikir dampaknya ke depan,” paparnya.
Anggota Komisi IV DPR Fraksi PDI-P, Yohanis Fransiskus Lema, menambahkan, peringatan yang disampaikan UNESCO menjadi peringatan sekaligus pelajaran agar pembangunan pariwisata berbasis alam harus berlandaskan konservasi. Ini merupakan substansi utama yang hendak disampaikan UNESCO.
”Peringatan dari UNESCO ini akan kami sampaikan dalam rapat kerja dengan pemerintah. Komisi IV juga sangat peduli dengan aspek konservasi. Suara masyarakat sipil dan pegiat konservasi pernah kami hadirkan langsung saat rapat kerja di Senayan,” ucapnya.
Sebelumnya, UNESCO melalui World Heritage Center atau Pusat Warisan Dunia telah menyurati Pemerintah Indonesia terkait pembangunan di TN Komodo. Pembangunan dikhawatirkan memengaruhi nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) Taman Nasional Komodo. Surat pertama dikirimkan pada 9 Maret 2020. Pemerintah Indonesia kemudian merespons pada 30 April 2020 dan 6 Mei 2020.
Dokumen lingkungan
Deputi Program Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (ICEL) Grita Anindarini mengatakan, selain sebagai habitat satwa purba yang sudah ada sejak jutaan tahun lalu, TN Komodo ditetapkan sebagai warisan dunia karena memiliki bentang alam yang sangat khas. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji seluruh ruang lingkup di TN Komodo saat menyusun dokumen lingkungan dan dampaknya terhadap pembangunan.
Catatan dari Badan Konservasi Dunia (IUCN Advide Note) dan pedoman operasional warisan dunia UNESCO sangat ketat untuk menyepakati pembangunan di suatu daerah khususnya yang sudah ditetapkan sebagai warisan dunia. Salah satu syarat pembangunan adalah adanya dokumen lingkungan yang sangat komprehensif dengan pelibatan publik yang luas.
Peringatan yang disampaikan UNESCO menjadi peringatan sekaligus pelajaran agar pembangunan pariwisata berbasis alam harus berlandaskan konservasi.
Kajian tersebut juga perlu dilakukan sejak tahap awal pengambilan keputusan, bahkan saat tahap perencanaan. Kemudian, perlu juga pengintegrasian kajian lingkungan hidup dengan perencanaan ruang. Setelah itu, proposal pembangunan perlu disampaikan ke Komite Warisan Dunia UNESCO untuk mendapatkan persetujuan sebelum dilakukan proses pendanaan, perizinan, dan implementasi.
Meski demikian, Grita menilai bahwa salah satu dokumen pengelolaan dan pemantauan ingkungan hidup (UKP-UPL) di Pulau Rinca belum secara komprehensif mengkaji bagaimana dampak pembangunan terhadap habitat komodo. Padahal, terdapat beberapa kegiatan yang berpengaruh terhadap peningkatan kebisingan dan penurunan kualitas udara.
”Dampak terhadap kehidupan komodo mulai dari rantai makanan itu juga tidak dikaji dalam UKL-UPL ini dan upaya mitigasi tidak tertuang secara jelas. Inilah pentingnya benar-benar melibatkan ahli konservasi untuk melihat dampak-dampak pembangunan,” katanya.
Melindungi komodo
Secara terpisah, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan, UNESCO mengkhawatirkan bahwa pembangunan di TN Komodo akan mengancam kelestarian satwa endemik tersebut. Padahal, ia menilai bahwa pembangunan yang dilakukan saat ini justru bertujuan untuk melindungi komodo.
Salah satu contoh upaya untuk melindungi komodo adalah dengan pembangunan penataan sarana dan prasarana yang dilakukan di Lembah Loh Buaya, Pulau Rinca. Pembangunan itu meliputi Dermaga Loh Buaya, lokasi pengamanan pantai, elevated deck untuk akses penghubung antardermaga, pondok ranger ataupun peneliti, serta pusat informasi.
Sebelumnya Wiratno juga memastikan bahwa pengembangan wisata alam di TN Komodo tidak merusak dan sangat dibatasi. Pengembangan hanya dilakukan di zona pemanfaatan dengan luas daratan 0,4 persen atau 824 hektar dari seluruh wilayah di taman nasional.