Kedaulatan dan Kemandirian Digital Jadi Faktor Kunci
Transformasi digital harus didukung dengan kedaulatan dan kemandirian digital karena Indonesia masih sekadar menjadi konsumen dan sangat bergantung pada produk luar negeri.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi digital mutlak dilakukan Indonesia di tengah kondisi dunia yang sudah gencar mengembangkan teknologi 5.0. Namun, transformasi ini harus didukung dengan kedaulatan dan kemandirian digital karena Indonesia masih hanya berperan sebagai konsumen dan sangat bergantung dengan produk luar negeri.
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengemukakan, teknologi baru dapat dikuasai dan diterapkan oleh masyarakat jika telah dilakukan transformasi digital yang inklusif. Upaya ini juga menjadi salah satu fokus percepatan dari Bappenas.
”Hal yang menjadi isu strategis dalam tranformasi digital yaitu terkait dengan infrastruktur TIK (telekomunikasi, informasi, dan komunikasi) serta pemanfaatan hingga aspek pendukungnya,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Kamis (5/8/2021).
Menurut Suharso, target terkait dengan infrastruktur TIK yaitu memperluas akses internet ke seluruh desa termasuk daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada 2020 masih terdapat 12.548 desa atau 15 persen yang belum terjangkau sinyal 4G. Tercatat juga 4.652 kecamatan belum tersambung jaringan telekomunikasi kabel serat optik.
Transformasi digital juga diperlukan seiring meningkatnya persentase individu yang menggunakan internet dari tahun 2012-2018. Bahkan, survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) 2020 menunjukkan, pengguna internet pada 2019 terjadi peningkatan 8,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, hal ini tidak diiringi dengan pelayanan karena koneksi akses internet belum merata ke semua daerah.
Suharso menyatakan, aksesibilitas masih menjadi tantangan terbesar dalam meningkatkan akses internet di Indonesia. Geografi kepulauan menjadi tantangan utama untuk pengembangan infrastruktur TIK, terutama di daerah perdesaan yang merupakan 43 persen dari populasi di Indonesia.
Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII) Marsudi Wahyu Kisworo menyatakan, tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam transformasi digital adalah kedaulatan dan kemandirian. Indonesia masih sangat bergantung pada produk impor dan belum mulai mencoba untuk memproduksi teknologinya sendiri.
Indonesia setiap tahun mengimpor puluhan juta ponsel, tetapi tidak ada satu pun pabrik di dalam negeri. Jaringan telekomunikasi kita juga dikuasai produk luar. Jadi kita tidak punya kedaulatan. Indonesia hanya bangga menjadi pemakai atau konsumen terbesar. (Marsudi Wahyu Kisworo)
”Indonesia setiap tahun mengimpor puluhan juta ponsel, tetapi tidak ada satu pun pabrik di dalam negeri. Jaringan telekomunikasi kita juga dikuasai produk luar. Jadi kita tidak punya kedaulatan. Indonesia hanya bangga menjadi pemakai atau konsumen terbesar,” katanya.
Ia menegaskan, kedaulatan dan kemandirian digital sangat penting, terutama untuk menyongsong lompatan ke teknologi 5G yang memiliki berbagai macam keunggulan dibandingkan 4G. Teknologi 5G merupakan teknologi dengan kemampuan 100 kali lebih cepat dibandingkan 4G, kapasitas bandwidth (konsumsi transfer data) lebih besar, rendah konsumsi baterai, dan konektivitasnya tidak putus.
”Tanpa kedaulatan dan kemandirian, dikhawatirkan kita hanya jadi konsumen jika sudah masuk ke society 5.0 karena tidak memproduksi teknologi tersebut. Jadi, semakin canggih teknologi, akan semakin terjajah juga ekonomi kita,” ungkapnya.
Terendah
Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 Rudiantara mengatakan, di antara pemerintah di Asia Pasifik, pada 2018 Indonesia memiliki pengeluaran TIK terendah, yakni 1,4 miliar dollar AS. Sementara negara dengan pengeluaran TIK tertinggi adalah Amerika Serikat yang mencapai 172,5 miliar dollar AS disusul Inggris Raya dengan 28,9 miliar dollar AS.
Menurut Rudiantara, saat ini Indonesia mulai memproduksi ponsel sendiri, tetapi tidak 100 persen karena tidak ada lagi kebijakan mengenai industri chipset. Padahal, pembuatan chipset sangat penting karena digunakan untuk berbagai macam perangkat.
Di sisi lain, Rudiantara juga menilai bahwa Indonesia harus memainkan rantai pasok global. Sebab, saat ini Indonesia belum memproduksi teknologi mengingat anggaran riset dan pengembangan yang dialokasikan sangat rendah.
”Kita memang ada kebijakan TKDN (tingkat komponen dalam negeri). Tetapi jika memaksakan pihak asing memproduksi teknologi di dalam negeri dengan memenuhi TKDN, juga akan merepotkan. Jadi istilahnya kita hanya menjadi tukang,” ucapnya.