Hujan Lebat di Puncak Kemarau Menandai Perubahan Iklim
Seperti prakiraan awal BMKG, musim kemarau 2021 berlangsung lebih basah. Anomali ini dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anomali hangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia menyebabkan hujan lebat melanda Jabodetabek dan Bandung bagian barat pada Kamis (5/8/2021) ketika musim kemarau seharusnya mencapai puncaknya. Keberadaan cuaca yang semakin fluktuatif ini menjadi salah satu penanda krisis iklim.
Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab mengatakan, hujan lebat yang melanda Jabodetabek disebabkan adanya daerah pertemuan angin dan gejolak yang kuat di atmosfer yang memicu terbentuknya awan dalam skala lokal. ”Potensi hujan masih berpeluang hingga tiga hari ke depan,” katanya.
Sirkulasi siklonik saat ini terpantau di Samudra Hindia barat Sumatera yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin yang memanjang di Samudra Hindia barat Lampung hingga Bengkulu. Daerah konvergensi juga terpantau memanjang dari perairan barat Aceh hingga Sumatera Utara. Selain itu, fenomena ini juga muncul di perairan selatan Jawa Tengah hingga Jawa Barat, dari Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Barat, dari perairan timur Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Tengah, dari Laut Banda hingga Maluku, dari perairan utara Papua hingga Papua Barat, dan Papua bagian tengah.
”Kondisi ini mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut,” katanya.
Dengan kondisi ini, selain Jabodetabek, menurut Fachri, wilayah lain yang berpotensi hujan dengan intensitas sedang antara lain adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Perkiraan BMKG, kondisi cuaca para periode 6-12 Agustus dinilai cukup bervariasi. Wilayah Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara cenderung cerah berawan dengan potensi hujan berintensitas sedang-lebat yang bersifat lokal akan terjadi di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Kondisi ini mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.
Adapun wilayah Sumatera sebagian besar akan berpotensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang, tetapi untuk sebagian besar pesisir barat Sumatera dapat berpotensi hujan sedang hingga deras. Wilayah Kalimantan akan dominan hujan ringan dengan potensi hujan sedang hingga lebat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara.
Potensi peningkatan curah hujan yang cukup signifikan juga diprakirakan akan terdapat di sebagian besar wilayah Sulawesi bagian tengah, Maluku, dan Papua.
Anomali cuaca
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan mengatakan, selain Jabodetabek, hujan pada Kamis (5/8) juga terpantau di wilayah Bandung bagian barat hingga Purwakarta. ”Seperti prakiraan musim kemarau yang telah kami rilis sebelumnya, saat ini kita menghadapi musim kemarau yang relatif basah karena kita baru melewati fenomena La Nina,” tuturnya.
Menurut Dodo, indeks El Niño-Southern Oscillation (ENSO) saat ini masih pada kondisi normal dan diprediksi akan berlangsung hingga awal 2022. ”Bahkan, ada dua pusat meteorologi di dunia yang memprediksi indeks ENSO masih pola La Nina,” ucapnya.
Dodo menambahkan, anomali suhu muka laut wilayah perairan Indonesia masih berada dalam anomali hangat. Ini berarti masih mudah terjadi proses pemusatan awan dan mudah terjadi hujan.
Sesuai dengan zona musim, seharusnya saat ini wilayah Jabodetabek tengah memasuki puncak musim kemarau yang ditandai dengan sedikitnya curah hujan. ”Jadi, fenomena saat ini juga dipengaruhi oleh perubahan iklim global,” ujarnya.
Menurut dia, pola cuaca keseharian sangat dinamis, tetapi faktor pemicu yang memicu anomali hujan di puncak musim kemarau di Indonesia biasanya dipengaruhi oleh fenomena Indian Ocean Dipole, ENSO, dan MJO. Namun, saat ini ketiga faktor ini sedang tidak aktif.
”Jadi, secara skala perubahan iklim memang sudah ada pergeseran dan cuaca menjadi lebih berfluktuasi,” ujarnya.