Ketika Tsunami Covid-19 Masuk Desa
Setelah melanda perkotaan dan meninggalkan jejak kematian massal, tsunami Covid-19 akhirnya mencapai desa. Selama Juli 2021, kematian di sejumlah desa di Pulau Jawa melonjak sepuluh kali lipat dari rata-rata per bulan.
Setelah melanda perkotaan dan meninggalkan jejak kematian massal, tsunami Covid-19 akhirnya mencapai desa. Selama Juli 2021, kematian di sejumlah desa di Pulau Jawa melonjak sepuluh kali lipat dari rata-rata per bulannya.
Lonjakan kematian di Desa Burujulwetan, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mulai terjadi pada akhir Juni 2021. ”Tiba-tiba saja pada 28 Juni (2021) ada 10 warga kami yang meninggal. Awalnya sesak napas dan demam,” kata Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Burujul Wetan Ceceng Syarif Hidayatullah (31), Senin (2/8/2021).
Korban meninggal saat itu, menurut Syarif, dikuburkan seperti biasa. Belum ada kekhawatiran tentang Covid-19. Umumnya warga beranggapan mereka sakit flu biasa karena Covid-19 dianggap sebagai masalah orang kota.
Namun, sejak hari itu, kematian beruntun terjadi hampir tiap hari di desa berpenduduk 11.000 orang ini. Selama Juli 2021, jumlah orang yang meninggal mencapai 50 orang. Dari jumlah korban ini, hanya lima orang yang dikuburkan dengan protokol Covid-19, sebagian besar melalui ritual sebagaimana biasa.
Pernah juga sehari urus 13 pemakaman, dari pagi sampai pagi lagi belum selesai, masih ada dua jenazah yang harus dikubur hari berikutnya.
Namun, keluarga yang turut menghadiri prosesi pemulasaran banyak yang sakit. Bahkan, lebe atau staf desa yang bertugas mengurus penguburan warga juga sakit dan akhirnya meninggal.
”Pak lebe meninggal di rumah sakit, dua minggu lalu, besoknya ibunya juga meninggal di perjalanan saat mau dibawa ke rumah sakit,” katanya.
Dari 50 warganya yang meninggal, hanya lima orang yang meninggal di rumah sakit dan dimakamkan melalui protokol Covid-19. ”Sisanya selama sakit sampai meninggal di rumah,” ujarnya.
Syarif menambahkan, warga desanya cenderung menghindari pemeriksaan atau perawatan ke rumah sakit. ”Banyak yang beranggapan kalau ke rumah sakit pasti positif Covid-19. Jadi, kebanyakan memang tidak mau ke rumah sakit. Di tambah bulan lalu rumah sakit di Majalengka juga penuh,” tuturnya.
Menurut Syarif, rata-rata warga yang meninggal ini memiliki gejala sakit serupa, demam seperti flu dan sesak napas. Selain itu, banyak juga yang sebelumnya kehilangan indra penciuman dan perasa.
”Mayoritas yang meninggal sudah berumur di atas 50 tahun, tetapi ada juga yang muda, salah satunya staf desa, masih 25 tahun. Dia sesak napas selama dua hari dan kemudian meninggal,” katanya.
Baca Juga: Bahaya ”Toxic Positivity”
Apa pun penyebab sakitnya, menurut Syarif, banyaknya kematian yang terjadi memang tidak wajar. ”Kalau biasanya, dalam sebulan maksimal meninggal lima orang. Jadi, memang aneh kalau sehari meninggal 10 orang dan sebulan bisa 50 orang,” ucapnya.
Kematian berlebih hingga sepuluh kali lipat lebih dari rata-rata ini juga dilaporkan terjadi di Desa Katerungan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Jika dalam periode 2014-2019 rata-rata terdapat tiga orang meninggal per bulan di desa ini, dari 1-28 Juli 2021 sudah terdapat 35 warga meninggal dan hanya tujuh orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19.
24 jam pemakaman
Lonjakan kematian juga dilaporkan Kepala Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Basirudin. ”Selama Juli 2021, kami memakamkan 98 warga. Padahal, selama lima tahun ini jadi kepala desa, paling banyak ada 10 orang meninggal per bulan. Bahkan, sering kosong dalam sebulan,” kata Basirun.
Berbeda dengan di Majalengka, sebagian besar warga di Desa Banguntapan ini telah dikuburkan dengan protokol Covid-19. ”Dari 98 yang meninggal, hanya lima orang yang dimakamkan tanpa protokol Covid-19. Mayoritas warga meninggal di rumah sakit, hanya 10 persen yang meninggal di rumah karena rumah sakit memang penuh,” ucapnya.
Basirudin mengatakan, desanya dibantu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sebenarnya sudah mati-matian berusaha membentengi warganya dari Covid-19. ”Kalau ada yang ngeyel tidak pakai masker atau masih berkerumun, biasanya kami tegur,” katanya.
Baca Juga: Setidaknya 311 Pasien Isolasi Mandiri Meninggal
Desa Banguntapan yang berpenduduk 40.000 jiwa ini memang berada di pinggiran Kota Yogyakarta, dengan penduduknya bekerja di berbagai sektor. ”Namun, memang susah karena banyak yang tertular dari tempat kerja lalu menulari ke keluarga dan lingkungan,” ucapnya.
Kini, salah satu layanan utama yang harus disiapkan 24 jam di Desa Banguntapan adalah antar jemput pasien dengan ambulans dan pemakaman. ”Kami tidak kenal libur, kemarin (Minggu, 1/8) juga tak bisa leyeh-leyeh, harus urus enam warga meninggal. Pernah juga sehari urus 13 pemakaman, dari pagi sampai pagi lagi belum selesai, masih ada dua jenazah yang harus dikubur hari berikutnya,” tuturnya.
Camat Banguntapan Fauzan mengatakan, Desa Banguntapan paling parah terpapar Covid-19. Sejauh ini sudah 207 orang meninggal karena Covid-19 di kecamatannya dari total 7.927 kasus positif yang ditemukan. Sebanyak 126 korban meninggal pada Juli 2021, dengan 41 di antaranya meninggal saat isolasi mandiri di rumah. ”Mayoritas korban terdapat di Desa Banguntapan,” kata Fauzan.
Banyaknya kematian pasien isolasi mandiri ini, menurut Fauzan, karena warga kesulitan mencari rumah sakit. ”Puskesmas sudah mencoba memantau, tetapi sumber daya mereka terbatas karena kekurangan obat dan oksigen. Apalagi, banyak tenaga kesehatan di puskesmas yang juga positif, bahkan juga tukang parkir di sana,” tuturnya.
Belum vaksin
Lonjakan kematian juga terjadi di Desa Jurangjero, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari perkotaan. ”Kalau biasanya satu bulan paling banyak meninggal 2 orang, di bulan Juli 2021 lalu ada 6 meninggal, 3 yang dimakamkan dengan prokes. Kalau yang sakit sesak napas cukup banyak dan rata-rata isolasi mandiri,” kata Kepala Desa Jurangjeru Ali Murtono.
Menurut Ali, sebagian besar warga desanya yang berjumlah 2.697 orang bekerja sebagai petani. ”Mereka yang meninggal ini rata-rata lanjut usia, hanya satu yang masih bujang. Satu orang guru, satu pedagang pasar, dan sisanya pensiunan,” ujarnya.
Baca Juga: Tingkat Kematian Tinggi, Lindungi Pasien Isolasi Mandiri
Untuk meminimalkan risiko korban jiwa, desa telah berinisiasi untuk mengontrol dan membantu warga desa yang sakit dan menjalani isolasi mandiri. ”Namun, ada juga yang ngeyel. Salah satu korban itu sebelumnya kami telepon untuk dibantu dibawa ke rumah sakit. Saat itu, napasnya sudah tersengal-sengal, tetapi dia memang tidak mau. Dua hari kemudian meninggal dunia,” ucapnya.
Dengan wabah yang belum mereda, Ali khawatir kematian akan terus terjadi. Apalagi, hampir semua warganya belum mendapatkan vaksinasi. ”Ini lagi pendataan untuk vaksinasi bagi lansia. Dari 436 lansia di desa kami, baru dapat jatah untuk 100 orang bulan ini. Jadi, kita harus pilih-pilih dulu,” ujarnya.
Minimnya akses ke fasilitas kesehatan, vaksinasi, hingga informasi keliru untuk menghindari tes dan rumah sakit telah menjadi kombinasi mematikan bagi warga desa. Stuasi ini mengingatkan pada kisah tragedi saat pagebluk flu spanyol pada 1918 melanda Pulau Jawa dan menimbulkan kematian massal.
Kajian Siddharth Chandra (Population Studies, 2013) menyebutkan, kematian akibat flu spanyol di Jawa dan Madura saja sebanyak 4,26-4,37 juta. Madura disebut mengalami kehilangan populasi paling banyak, yaitu 23,71 persen dan rata-rata berbagai daerah di Pulau Jawa kehilangan 20 persen populasinya.
Kisah-kisah tragis tentang flu spanyol itu semakin lazim kita dengar saat ini. Misalnya, tentang banyak orang yang sakit dan tiba-tiba meninggal atau kerap dinarasikan dalam bahasa Jawa isuk loro, sore mati. Demikian juga kisah tentang mereka yang turut mengantar korban ke pemakaman, yang kemudian dimakamkan di hari berikutnya.
Seperti ditulis sejarawan Ravando dalam bukunya, Perang Melawan Influenza (2021), besarnya korban jiwa saat flu spanyol 1918 adalah kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menyangkal dan gagal mencegah penyebaran wabah, selain sikap abai masyarakat. Satu abad kemudian, perilaku serupa ternyata belum berubah sehingga tragedi kematian massal kembali melanda hingga ke desa-desa kita.
Baca Juga: Sejuta Kematian Berlebih di 29 Negara Maju Selama Pandemi