Jalan Panjang Memerangi Perdagangan Merkuri Ilegal
Penggunaan hingga perdagangan merkuri secara ilegal masih menjadi tantangan yang dihadapi sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia. Komitmen dan upaya global terutama negara pihak Konvensi Minamata sangat diperlukan.
Penggunaan hingga perdagangan merkuri secara ilegal masih menjadi tantangan yang dihadapi sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia. Komitmen dan upaya global terutama negara pihak Konvensi Minamata sangat diperlukan mengingat perdagangan merkuri ilegal merupakan masalah kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Meski sudah dilarang, sampai saat ini merkuri masih banyak digunakan masyarakat di Indonesia untuk penambangan emas tanpa izin atau ilegal. Padahal, penambangan emas ilegal menggunakan merkuri ini bisa menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat, areal seluas 496 hektar di Indonesia masih terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berasal dari pencemaran merkuri akibat penambangan emas skala kecil (PESK) dan tanpa izin. Penambangan tersebut dioperasikan secara individu dan terlembaga.
Tahun 2017 hingga 2020 masih terdapat ekspor amalgam gigi ke Indonesia dari negara lain. Padahal, amalgam gigi merupakan salah satu alat kesehatan mengandung merkuri yang sudah dilarang impornya.
Data tahun 2020 yang diolah Bappenas menunjukkan, hingga akhir 2020 masih terdapat 197 titik PESK di berbagai wilayah di Indonesia. Dari jumlah itu, 15 titik di antaranya berada di kawasan taman nasional atau cagar alam (Kompas, 30/4/2021).
Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, jumlah penambangan ilegal untuk komoditas mineral mencapai 2.645 lokasi dan 85 persen di antaranya merupakan tambang emas ilegal. Di sisi lain, estimasi jumlah penggunaan merkuri di satu lokasi yaitu 6,2-85,63 kilogram per tahun. Maka jika dijumlahkan, total penggunaan merkuri di seluruh Indonesia mencapai 13,94 -192,53 ton per tahun.
Salah satu faktor penyebab merkuri masih digunakan dalam aktivitas penambangan emas yaitu karena masih banyak perdagangan logam berat ini secara ilegal. Perdagangan merkuri ilegal menjadi salah satu masalah global yang harus diatasi semua negara yang sudah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Minamata tentang merkuri. Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017.
Memang tidak bisa dimungkiri, merkuri memiliki estimasi nilai perdagangan ilegal yang cukup besar. Menurut Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, estimasi nilai perdagangan ilegal merkuri mencapai lebih dari 200 juta dollar AS per tahun atau mendekati produk domestik bruto (PDB) tahunan suatu negara.
Di samping itu, terungkap jumlah pemakaian merkuri pada produksi emas global mencapai 15-25 persen. Emisi yang dikeluarkan oleh merkuri berasal dari lebih 70 negara di dunia dengan angka 1.400 ton per tahunnya. Sementara estimasi jumlah PESK secara global mencapai 10 juta-19 juta orang, termasuk 4 juta-5 juta di antaranya wanita dan anak-anak.
Baca juga: Di Bawah Ancaman Merkuri dan Sianida
Dalam webinar internasional tentang memerangi perdagangan merkuri ilegal beberapa waktu lalu, Senior Policy and Coordination Officer Sekretariat Konvensi Minamata Claudia Ten Have menyatakan, setiap pihak harus menangani masalah ini tidak hanya dari aspek pengawasan, tetapi juga permintaan dan penawaran. Sebab, perdagangan merkuri ilegal merupakan masalah kompleks. Bahkan, Konvensi Minamata mengatur pembatasan merkuri untuk bidang ekonomi lainnya.
”Perdagangan merkuri bukan hanya tanggung jawab satu kementerian saja karena hal ini sangat kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Jadi, butuh keterlibatan dari berbagai kementerian atau pihak lainnya,” ucapnya.
Claudia mengakui bahwa sampai saat ini masih banyak kegiatan ekonomi di masyarakat yang masih bergantung pada merkuri. Bahkan, merkuri juga masih kerap digunakan dalam berbagai produk, termasuk alat kesehatan, serta diperdagangkan di dalam dan luar negeri.
Sebagai contoh, penelusuran data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Basis Data Statistik Perdagangan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Comtrade) mengungkapkan, tahun 2017 hingga 2020 masih terdapat ekspor amalgam gigi ke Indonesia dari negara lain. Padahal, amalgam gigi merupakan salah satu alat kesehatan mengandung merkuri yang sudah dilarang impornya sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Barang Dilarang Impor.
Menurut data yang dirangkum BPS dan UN Comtrade tersebut, ekspor amalgam gigi dengan kode HS 285390 dari negara-negara di dunia ke Indonesia pada 2020 mencapai 126 ton dengan nilai lebih dari 556.000 dollar AS, tahun 2019 mencapai 230 ton, 2018 sebanyak 199 ton, dan 2017 tercatat 181 ton.
Upaya setiap negara
Upaya menangani perdagangan dan penggunaan merkuri ilegal saat ini juga sudah dilakukan sejumlah negara, salah satunya Singapura. Senior Scientific Officer Badan Lingkungan Nasional Singapura Felicia Lim menyampaikan, aturan tentang perdagangan dan penggunaan merkuri di Singapura tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta Zat Berbahaya.
Dalam aturan itu disebutkan, perusahaan harus mendapatkan lisensi zat berbahaya jika mereka ingin mengimpor, mengekspor, atau menyimpan dan menggunakan merkuri di Singapura. Lisensi tersebut dikeluarkan oleh Departemen Pengendalian dan Manajemen Kimia Badan Lingkungan Nasional Singapura.
Baca juga: Aturan Pelarangan Impor Merkuri Perlu Diperjelas
Selain itu, sebagai bagian dari persyaratan perizinan, perusahaan yang berurusan dengan merkuri harus menerapkan penanganan yang aman dan langkah-langkah pengurangan polusi. Beberapa yang harus dilakukan antara lain pelabelan bahaya, membuat penahan tumpahan merkuri, dan merencanakan aksi tanggap darurat.
Sementara di Filipina, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina Geri Geronimo R Sanez menyatakan, negaranya sejak dua tahun lalu telah mengubah aturan tentang kontrol merkuri. Aturan ini untuk membatasi impor, pembuatan, pemrosesan, penggunaan, dan distribusi merkuri ataupun produk turunannya.
”Agenda tahun depan yang akan dilakukan yaitu merevisi aturan tentang penghapusan produk turunan merkuri. Sebagian besar ketetapan dalam kontrol kimia yang direvisi ini telah mengadopsi lampiran Konvensi Minamata terkait produk turunan merkuri,” ucapnya.
COP-4 Konvensi Minamata
Upaya perundingan setiap negara untuk mengontrol dan mengurangi penggunaan merkuri juga dilakukan dalam konferensi para pihak (COP) Konvensi Minamata. Pada November tahun ini, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah COP ke-4 Konvensi Minamata di Bali setelah tiga kali berturut-turut diselenggarakan di Geneva, Swiss.
Semula COP-44 akan diselenggarakan pada bulan Oktober secara tatap muka di Bali. Namun, pandemi yang masih berlangsung di semua negara, termasuk Indonesia, membuat acara ini diundur pada 1-5 November 2021 secara daring. Pertemuan tatap muka akan dilanjutkan pada 19-25 Maret 2022 jika keadaan pandemi di berbagai negara sudah membaik.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, COP-4 akan menjadi momen yang tepat untuk menunjukkan komitmen politik setiap negara untuk memerangi perdagangan merkuri ilegal. Komitmen tersebut akan semakin memperkuat kolaborasi yang telah terjalin di bawah Konvensi Minamata.
Vivien mengatakan, para negara pihak Konvensi Minamata, khususnya negara berkembang dengan ekonomi transisi, menghadapi beberapa tantangan untuk mengurangi perdagangan merkuri ilegal. Beberapa di antaranya terkait dengan penegakan peraturan, tidak adanya basis data perdagangan merkuri yang terintegerasi, dan kurangnya pengetahuan serta sumber daya untuk mengidentifikasi bahan kimia terlarang.
”Harus ada sesuatu yang harus dapat dilakukan pihak internasional untuk menyikapi hal ini secara global. Jadi, saat ini perlu penguatan kesadaran dan komitmen global melalui kerja sama dalam memerangi perdagangan ilegal merkuri khususnya pengawasan dan penegakan hukum,” tuturnya.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard mengungkapkan, perdagangan merkuri ilegal merupakan salah satu masalah global yang paling mendesak untuk diselesaikan. Sebab, Program Lingkungan PBB (UNEP) mencatat, lebih dari 50 persen merkuri yang digunakan dalam PESK diperoleh secara ilegal.
Baca juga: Indonesia Tuan Rumah COP-4 Konvensi Minamata 2021
”Setiap negara dapat menjalin kerja sama multilateral yang dimulai dengan membahas pandangan hingga mengidentifikasi tantangannya. Ini digunakan untuk merumuskan tindakan nyata dan metode seperti apa yang dapat diterapkan,” katanya.
Mengingat perdagangan merkuri ilegal merupakan masalah global, penting setiap negara untuk mengedepankan diplomasi dalam mengatasi masalah ini. Setiap negara harus melihat kesamaan dari merkuri dan menyepakati bahwa logam berat ini memiliki bahaya atau risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.