Diperlukan Testing Berbasis Epidemiologi yang Masif untuk Putus Mata Rantai Covid-19
Pelacakan dan pemeriksaan minim membuat deteksi dini kasus Covid-19 terkendala. Selain menyebabkan penanganan terlambat, penularan kasus pun sulit dicegah. Diperlukan pelacakan dan pemeriksaan berbasis epidemiologi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Pelacakan dan tes kasus Covid-19 di Indonesia masih amat kurang. Sementara, tingkat penularan kasus di masyarakat sangat tinggi yang ditandai dari tingkat kasus positif atau positivity rate di seluruh provinsi lebih dari 25 persen. Tanpa pelacakan dan tes yang masif, deteksi dini tidak berjalan optimal sehingga upaya untuk memutus rantai penularan Covid-19 semakin sulit dijalankan.
Secara nasional, tingkat kasus positif atau positivity rate dalam satu minggu ini mencapai 30,75 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan, kasus Covid-19 di suatu wilayah dinyatakan terkendali apabila tingkat kasus positifnya kurang dari lima persen. Selain menunjukkan situasi penularan yang tinggi, tingkat kasus positif ini juga menandakan upaya tes di wilayah tersebut amat kurang.
Data Kementerian Kesehatan per 1 Agustus 2021 menunjukkan, seluruh provinsi di Indonesia memiliki tingkat kasus positif per minggu lebih dari 25 persen. Adapun tingkat kasus positif tertinggi berada di Bengkulu (64,4 persen), Lampung (64,3 persen), Jambi (62,8 persen), Sulawesi Tenggara (54,7 persen), dan Sulawesi Selatan (51,0 persen).
“Pelacakan, testing, dan isolasi yang paling penting. Karena kalau (testing) ini terlampau rendah, kita akan telat mengetahui siapa yang terkena (Covid-19) sehingga angka kematian pun menjadi tinggi. Angka kematian tinggi karena orang masuk rumah sakit sudah terlambat karena testingnya juga kurang banyak,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Senin (2/8/2021).
Ia menuturkan, Kementerian Kesehatan sudah menetapkan target-target dari testing dan pelacakan di setiap wilayah berdasarkan tingkat kasus positif. Sesuai pedoman WHO, wilayah yang tingkat kasus positifnya kurang dari lima persen perlu melakukan pemeriksaan kasus sebanyak 1 orang per 1.000 penduduk per minggu.
Sementara, bagi wilayah yang memiliki tingkat kasus positif lebih dari 25 persen harus melakukan tes minimal 15 kasus per 1.000 penduduk per minggu. Apabila melihat data Kementerian Kesehatan, tidak ada satupun provinsi yang memenuhi standar tersebut.
Bahkan untuk pelacakan kasus, wilayah dengan rasio pelacakan kontak erat per minggu paling tinggi di Sumatera Utara sebesar 6,8 kasus per minggu. Wilayah lain dengan rasio pelacakan terendah yakni Bengkulu (0,5 kasus per minggu), Maluku Utara (0,6 kasus per minggu), Papua Barat (0,6 kasus per minggu), Sumatera Barat (0,6 kasus per minggu), dan Jawa Barat (0,7 kasus per minggu). Setiap wilayah tersebut memiliki tingkat kasus positif yang berbeda-beda.
Pelacakan, testing, dan isolasi yang paling penting. Karena kalau (testing) ini terlampau rendah, kita akan telat mengetahui siapa yang terkena (Covid-19) sehingga angka kematian pun menjadi tinggi. (Budi Gunadi)
Oleh sebab itu, Budi menyampaikan, upaya pemeriksaan ini harus dilakukan lebih gencar. Pemeriksaan dan pelacakan itu pun diharapkan sudah berbasis epidemiologi. Maksudnya, pemeriksaan dan pelacakan dilakukan pada kontak erat dan suspek, bukan pemeriksaan untuk penapisan seperti pemeriksaan untuk syarat bepergian.
Dari total spesimen yang diperiksa secara nasional, pemeriksaan yang dilakukan pada kontak erat dan supek baru mencapai 46 persen. Sementara, 55 persen lainnya merupakan pemeriksaan untuk penapisan atau skrining dan sembilan persen untuk keperluan follow up.
“Kami akan terus menyosialisasikan ini bahwa tes skrining tetap dibutuhkan, namun yang kita tambah secara lebih agresif adalah testing epidemiologisnya. Jadi yang bersumber dari pelacakan pada kontak erat dan dari kasus suspek,” kata Budi.
Secara terpisah, Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir menyampaikan, proses pelacakan dan pemeriksaan kasus terkait Covid-19 perlu dilakukan dengan pendekatan sosial masyarakat. Pola penularan yang terjadi di masyarakat pun berdasarkan pada pola perilaku dan relasi sosial yang terbentuk di masyarakat.
Menurut dia, setidaknya ada lima hal yang bisa dilakukan agar upaya pelacakan dan pemeriksaan kasus di masyarakat bisa optimal. Itu meliputi, kepercayaan masyarakat, modal sosial, persepsi risiko, pemegang otoritas, serta infrastruktur teknologi.
“Pelacakan kontak merupakan hal fundamental dalam menghadapi pandemi saat ini. Pelacakan kontak ini adalah bagian dari ketahanan sosial. Keberhasilan dari pelacakan kontak pun tergantung pada kondisi sosial tertentu sehingga deteksi dini dan isolasi bisa dilakukan secara efektif,” ujarnya.
Dalam hasil jajak pendapat kesadaran publik tentang 3T yang dilakukan oleh tim LeaN On yang merupakan kerjasama dari USAID, BNPB, Kementerian Hukum dan HAM, serta The Asia Foundation, menunjukkan masih ada masyarakat yang tidak mau melakukan tes Covid-19. Sebagian besar responden tidak mau dites karena takut jika hasilnya positif mereka tidak bisa mencari uang dan takut dikucilkan oleh tetangga. Selain itu, alasan lainnya karena merasa biaya tes Covid-19 mahal dan bingung akan jenis tes yang harus diikuti.
Direktur Program Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Egi Abdul Wahid menambahkan, puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan yang terdekat di masyarakat perlu diperkuat untuk mendukung upaya pelacakan dan pemeriksaan Covid-19. Hal itu juga perlu didukung dengan upaya surveilans berbasis masyarakat.
Menurut dia, masyarakat punya peran penting untuk meningkatkan kemampuan penanganan Covid-19 di lingkungannya. Pada program yang digagas oleh CISDI melalui pencerah nusantara, intervensi surveilans berbasis masyarakat (SBM) memiliki pengaruh signifikan terhadap kemampuan dalam pelacakan kontak erat dan kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19.
“Adanya kader yang berasal dari masyarakat juga membantu upaya SBM menjadi lebih optimal, terutama pada pelaporan, edukasi dan sosialisasi, dan pemantauan pada kasus isolasi mandiri,” kata Egi.