Covid-19 Meluas di Daerah dengan Tes, Lacak, dan Perawatan Terbatas
Penularan Covid-19 meluas di daerah, termasuk pedesaan dan pedalaman. Namun, sebagian kasus dan kematian tak terdata dan tak tertangani dengan baik. Akibatnya, tingkat penularan dan kematian di komunitas tetap tinggi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Covid-19 di Indonesia memasuki babak baru dengan meluasnya penularan di desa-desa dan wilayah pedalaman, yang memiliki keterbatasan tes, lacak, dan perawatan. Kondisi ini menyebabkan penularan sulit dihentikan dan banyak kasus serta kematian tak terdata.
”Keberlanjutan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) akan diputuskan pada 2 Agustus 2021. Penentuan ini sebaiknya didasarkan pada situasi epidemiologi atau penularan dan kapasitas respons kesehatan dengan perhitungan sesuai arahan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pada 14 Juni 2021,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Minggu (1/8/2021).
Jika melihat situasi rumah sakit di Jakarta dan kota besar di Jawa, situasinya memang tidak sepenuh dua atau tiga minggu lalu. ”Saat ini pasien dapat lebih mudah masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan relatif lebih mudah mendapat perawatan di ruang isolasi dan ICU (Unit Perawatan Intensif). Kemajuan yang amat baik dan patut disyukuri,” kata Tjandra.
Namun, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Iwan Ariawan mengingatkan, tingkat kematian di daerah-daerah di Jawa, seperti Yogyakarta dan Solo Raya, serta Bali cenderung masih naik. Di sisi lain, mobilitas penduduk di Pulau Jawa dan Bali belum menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan minggu sebelumnya.
Iwan mengkhawatirkan terjadinya penularan di kawasan pedesaan dan pedalaman yang tak terdata atau tak tertangani karena banyak warga menghindari pemeriksaan dan pergi rumah sakit. Hal ini menyebabkan tingkat penularan dan kematian di komunitas bakal tetap tinggi sekalipun jumlah kasus dan keterisiain tempat tidur di rumah sakit menurun.
Tren epidemiologi
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, penambahan kasus harian pada Minggu mencapai 30.738 orang dan korban jiwa bertambah 1.604. Jumlah kasus ini didapatkan dari pemeriksaan 112.661 orang, di mana 48.955 di antaranya menggunakan polimerase rantai ganda (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM). Ini berarti tingkat kepositifan harian dengan PCR mencapai 52,78 persen dan secara total 27,28 persen.
Tingkat kematian di daerah-daerah di Jawa seperti Yogyakarta, Solo Raya, dan Bali cenderung masih naik.
Sebagai perbandingan, pada 3 Juli 2021 jumlah tes di Indonesia sebesar 110.983 orang di mana 66.612 di antaranya menggunakan PCR dan TCM. Secara total hanya ada peningkatan sekitar 2.000 pemeriksaan, tetapi tes dengan PCR dan TCM justru menurun. ”Pemerintah pernah mentargetkan pemeriksaan 400.000 sehari, yang jelas masih jauh dari tercapai,” katanya.
Rendahnya jumlah tes dan tingginya tingkat kepositifan ini, menurut Tjandra, menjadi hambatan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. ”Padahal, tes dan lacak ini mestinya tidak punya dampak sebesar pembatasan sosial dan sudah sejak dulu dilakukan kalau ada wabah penyakit menular,” tuturnya.
Meski jumlah tes cenderung menurun, angka kasus saat ini juga masih sangat besar. ”Harus diingat bahwa pernah ada target agar sesuai PPKM, angka dapat turun di bawah 10.000 per hari, jadi masih jauh nampaknya,” katanya.
Selain itu, jika dibandingkan pada 3 Juli 2021 di awal pelaksanaan PPKM, angka kepositifan total 25,2 persen dan kalau berdasarkan PCR dan TCM sebesar 36,7 persen. Namun, saat ini angkanya justru naik. Padahal, WHO menetapkan, situasi dianggap terkendali jika angka kepositifan di bawah 5 persen.
”Angka Indonesia masih lima kali lebih besar dari patokan aman 5 persen itu. Sebagai ilustrasi, angka kepositifan India di akhir Juli 2021 hanya 2,4 persen, turun 10 kali lipat dari angka sekitar 22 persen pada Mei 2021 saat mencapai puncaknya,” ujarnya.
Selain itu, dari tingkat kematian, juga belum ada indikasi perbaikan penanganan. Pada 3 Juli 2021 ada 491 warga yang meninggal dunia dalam sehari. Sementara pada 1 Agustus angkanya naik menjadi 1.604 orang. ”Jadi korban jiwa naik lebih tiga kali lipat. Jumlah kematian harus ditekan, dan ini harus jadi prioritas utama,” katanya.
Epidemiolog Grifftih University, Dicky Budiman, menambahkan, risiko kematian karena Covid-19 di Indonesia akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kasus di luar Jawa, yang fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatannya lebih terbatas. Krisis oksigen juga dilaporkan terjadi di luar Jawa, seperti Papua, dan ini akan lebih sulit diatasi karena pengirimannya tidak mudah.
Selain itu, saat ini juga terjadi tren kematian yang underreported atau tidak terdata. Selain karena pendataan masih bermasalah, hal ini juga disebabkan wabah terjadi meluas di daerah-daerah yang minim akses terhadap fasilitas kesehatan.
”Ada indikasi peningkatan kematian di desa-desa, yang walaupun mereka belum dites Covid-19, punya gejala Covid-19. Ini akan terus menularkan dan meningkatkan risiko kematian,” ungkapnya.
Sebagai contoh, di salah satu desa di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi lonjakan kematian lebih dari 10 kali lipat dibandingkan rata-rata. Jika dalam periode 2014-2019 rata-rata tiga orang meninggal dunia per bulan di desa ini, tetapi pada 1-27 Juli 2021 terdapat 34 warga meninggal, dan hanya 7 orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19.