Anak Muda Hadirkan Ruang-ruang Diskusi Perubahan Iklim
Perubahan iklim bukan isapan jempol. Bukti akan dampaknya sudah kita rasakan bersama. Melakukan upaya minimal tidak lagi cukup. Ini saatnya melakukan perubahan dan ada urgensi melakukan upaya yang lebih baik,
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partisipasi semua pihak dibutuhkan untuk menangani perubahan iklim. Ruang diskusi pun dibutuhkan untuk mencari solusi. Diskusi juga diharapkan mendorong kesadaran dan kontribusi publik terhadap krisis iklim, termasuk anak muda.
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Sekar Octa, pada Kamis (29/7/2021) mengatakan, kampusnya akan mengadakan diskusi tentang transformasi energi rendah karbon di Indonesia. Menurut dia, ini penting karena energi bersih belum jadi perhatian publik dan ia menilai belum ada ambisi pemerintah berkomitmen pada energi bersih.
Menurut data Badan Energi Internasional (IEA), emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi naik tiga kali lipat dalam 20 tahun. Pada 1999, sektor energi menghasilkan 10 gigaton karbon dioksida, kemudian naik menjadi 33 gigaton karbon dioksida pada 2019. Sektor energi menyumbang 36 persen dari emisi gas rumah kaca dunia dengan jumlah itu.
Melakukan upaya minimal tidak lagi cukup. Ini saatnya melakukan perubahan dan ada urgensi melakukan upaya yang lebih baik.
Sektor energi pun menjadi tumpuan kedua terbesar target penurunan emisi GRK Indonesia yang sebesar 29 persen. Dari total target penurunan itu, sektor energi sebanyak 11 persen, sedangkan 17 persen berada di sektor hutan dan lahan.
Adapun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memprediksi sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia pada 2022. Persentase sektor energi dan transportasi diperkirakan 50,6 persen dari total emisi di Indonesia pada 2022.
”Dengan kesadaran masyarakat, dukungan pemerintah, dan kerja sama semua pihak, ini (transformasi energi bersih) bukan angan-angan lagi untuk dicapai secepatnya. Kalau bukan generasi kita yang melakukan perubahan, siapa lagi?” kata Sekar pada pertemuan daring.
Diskusi tentang energi bersih merupakan salah satu rangkaian acara Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim. Diskusi lain dengan topik perubahan iklim akan digelar para mahasiswa dari 21 universitas di Indonesia bersama Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Diskusi tersebut akan berlangsung secara daring pada 4-16 Agustus 2021.
Universitas yang terlibat antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Bakrie, Universitas Pelita Harapan, Bina Nusantara University, dan Universitas Airlangga.
Tumbuhkan pemahaman
Mahasiswa perwakilan Universitas Airlangga, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, Annisa, mengatakan, diskusi diharapkan memberi pemahaman publik tentang pentingnya kerja sama lintas sektor terhadap perubahan iklim. Pelaku di setiap sektor didorong berkontribusi sesuai kapasitasnya agar upaya menekan dampak perubahan iklim bisa optimal.
”Melakukan upaya minimal tidak lagi cukup. Ini saatnya melakukan perubahan dan ada urgensi melakukan upaya yang lebih baik,” ucap Annisa.
Ia menambahkan, komitmen menangani perubahan iklim mesti dilakukan segera. Semakin lama upaya pencegahan perubahan iklim diulur, semakin besar pula dampaknya terhadap negara dan bumi. Dampak perubahan iklim sudah tampak dari bencana hidrometeorologi beberapa tahun terakhir.
Pada Juli 2021, China dilanda banjir yang menewaskan puluhan orang dan membuat ratusan ribu orang mengungsi. Adapun Iran mengalami kemarau paling panas dalam 50 tahun terakhir.
Sementara itu, Indonesia juga mengalami bencana yang dipicu siklon tropis Seroja. Bencana melanda Nusa Tenggara Timur pada April 2021. Bencana ini menewaskan ratusan orang.
Menurut pendiri FPCI, Dino Patti Djalal, upaya pemerintah mengatasi perubahan iklim mesti lebih serius dan ambisius. Target penurunan emisi karbon diharapkan dapat ditingkatkan menjadi 50 persen hingga 2030. Sebelumnya, pemerintah menargetkan penurunan emisi 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
”Kita perlu menghasilkan target yang berani. Kami harap target kita bisa naik ke 50 persen penurunan emisi karbon pada 2030. Penting untuk mencapai komitmen di 2030. Kalau tidak ambisius, kita akan lebih sulit mencapai target (nol emisi) ke depan,” ucap Dino.