Generasi Muda Dorong Upaya Serius Tangani Krisis Iklim
Tidak ada jalan kembali bagi anak muda yang akan mewarisi Bumi dengan segala kondisinya. Krisis iklim menanti mereka apbila kita lambat atau tak serius menyikapinya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda meminta agar pemerintah dan semua pemangku kepentingan menangani isu perubahan iklim secara serius. Penanganan itu penting untuk menjamin kehidupan yang layak bagi mereka pada masa depan.
Hal itu menjadi topik utama dalam acara rangkaian dialog ”Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim”. Kegiatan ini digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama 21 universitas di Indonesia, antara lain Universitas Brawijaya, Universitas Pelita Harapan, Universitas Islam Indonesia, Institut LSPR Jakarta, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada. Acara akan digelar pada 4-16 Agustus 2021.
Pendiri FPCI, Dino Patti Djalal, Kamis (29/7/2021), mengatakan, pemerintah telah menujukkan upaya mengatasi perubahan iklim, tetapi belum optimal. Jika tidak ada upaya ambisius, visi mencapai Indonesia Emas 2045 juga tidak akan optimal.
Analisisnya (Indonesia Emas 2045) hanya melihat yang bagus. Aspek risiko soal bencana iklim belum disentuh.
Kehidupan generasi muda pada masa depan diperkirakan tidak mudah karena dampak perubahan iklim, seperti berbagai bencana hidrometeorologi, misalnya kekeringan, kebakaran, longsor, dan banjir. Lebih jauh, perubahan iklim akan berpengaruh ke penurunan kualitas udara dan air, menyebabkan masalah kesehatan, hingga ketahanan pangan.
”Ada blind spot (titik buta) dalam Indonesia Emas 2045. Ada analisis risiko dan peluang pada setiap yang kita lakukan. Analisisnya (Indonesia Emas 2045) hanya melihat yang bagus. Aspek risiko soal bencana iklim belum disentuh,” kata Dino.
Ia juga menyoroti pembaruan komitmen kontribusi nasional (updatednationally determined contribution/NDC) Indonesia yang baru saja dilakukan pemerintah. Pada NDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi 29 persen dengan upaya sendiri pada 2030, serta 41 persen dengan dukungan internasional. Target itu tidak berubah sejak 2015.
Adapun NDC merupakan komitmen negara dalam penerapan Perjanjian Paris. NDC kemudian dibahas pada Konvensi Kerangka Kerja Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau UNFCC. Kegiatan COP Ke-26 UNFCCC akan berlangsung di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021.
Menurut Dino, Indonesia akan sulit menginisiasi perubahan dalam penanganan isu iklim dunia apabila tidak ada target yang progresif. Padahal, semua negara mesti berpartisipasi dalam isu ini, baik negara berkembang maupun negara maju.
”Kita perlu menghasilkan target yang berani. Kami harap target kita bisa naik ke 50 persen penurunan emisi karbon pada 2030. Penting untuk mencapai komitmen pada 2030. Kalau tidak ambisius, kita akan lebih sulit mencapai target (nol emisi) ke depan,” ucap Dino yang juga mantan Wakil Menteri Luar Negeri.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia berharap bisa bebas emisi karbon pada 2060. Target diharapkan progresif. Adapun Uni Eropa menyatakan akan melakukan dekarbonisasi penuh pada 2050. Pajak karbon untuk semua produk impor dari negara di luar Eropa akan diberlakukan.
Mahasiswi perwakilan Universitas Muhammadiyah Malang, Radina, menyoroti komitmen pemerintah terhadap isu iklim yang dinilai masih rendah. Itu sebabnya, peran anak muda untuk menumbuhkan aksi pencegahan dampak perubahan iklim menjadi penting.
Perwakilan Universitas Indonesia Marvella mengatakan, krisis iklim merupakan isu yang penanganannya tidak bisa ditunda karena berdampak ke segala aspek kehidupan. Penanganan krisis dinilai belum serius sehingga membuat generasi muda kecewa.
”Tidak ada jalan kembali untuk generasi kami dan generasi masa depan. Sekarang kita bisa jadi bagian dari agen perubahan. Masih ada kesempatan memperlambat laju perubahan iklim selama kita beraksi hari ini. Dengan partisipasi semua pihak, kita bisa usahakan yang terbaik buat masa depan dunia,” kata Marvella.