Air susu ibu berperan penting dalam membentuk imunitas dan memberi nutrisi bagi bayi. Itu menjadi modal dalam menghadapi berbagai penyakit, seperti saat pandemi Covid-19 ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah ibu menyusui bayinya serentak pada peringatan Pekan Air Susu Ibu (ASI) Sedunia di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Jakarta, Rabu (3/8/2016).
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan menyusui sebagai langkah awal untuk memastikan kelangsungan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan bagi semua kalangan menjadi semakin penting, khususunya pada masa pandemi. Pekan menyusui dunia pada 1-7 Agustus 2021 perlu menjadi momentum dalam memastikan dan meningkatan dukungan bagi seorang ibu agar tetap aman serta nyaman untuk menyusui bayinya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Farahdibha Tenrilemba menyampaikan, tujuan pekan menyusui dunia tahun ini ialah menginformasikan kepada masyarakat pentingnya perlindungan menyusui. Adapun tujuan lainnya ialah menanamkan bahwa dukungan menyusui merupakan tanggung jawab bersama.
”Sebenarnya Indonesia sudah memiliki regulasi yang mengatur menyusui. Namun, implementasinya masih banyak tantangan. Belum lagi maraknya promosi produk penganti ASI (air susu ibu). Ini menyebabkan ibu-ibu belum bisa mendapat perlindungan,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu (28/7/2021).
Rata-rata lama pemberian ASI eksklusif hanya tiga bulan. Jadi, ini masih menjadi tantangan kita ke depan. Padahal, akan ada kerugian ekonomi jika banyak ibu yang tidak menyusui.
Meski demikian, di tingkat daerah tampak belum ada keseriusan membuat aturan terkait dengan ASI. AIMI mencatat, sampai saat ini baru ada 15 provinsi di Indonesia yang memiliki peraturan terkait dengan ASI. Angka ini dinilai masih belum ideal dalam upaya advokasi perlindungan menyusui.
Dibha mengatakan, bentuk perlindungan menyusui perlu fokus terhadap tiga hal, yakni sistem kesehatan, tempat kerja, dan komunitas. Perlindungan ini penting dilakukan mengingat banyak sistem kesehatan yang tidak memberikan informasi dan dukungan yang efektif untuk menyusui di sepanjang kontinum perawatan.
Pada tingkat tempat kerja, orangtua yang bekerja juga masih kurang memperoleh perlindungan sosial yang memadai. Ini ditunjukkan dari kurangnya ruang menyusui, cuti maternitas, cuti berbayar bagi ayah, dan pengaturan kerja yang fleksibel. Sementara pada tingkat komunitas, norma sosial dan pratik tradisional dalam masyarakat kerap menghambat pemberian ASI yang optimal. Ketika tingkat menyusui rendah, budaya memberkan susu botol umumnya menjadi pilihan
Koordinator Substansi Pengelolaan Konsumsi Gizi pada Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Mahmud Fauzi mengemukakan, cakupan angka inisiasi menyusui dini di Indonesia belum terlalu tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 mencatat, angka inisiasi menyusui dini berkisar 57-61 persen.
”Data ini juga menunjukkan rata-rata lama pemberian ASI eksklusif hanya tiga bulan. Jadi, ini masih menjadi tantangan kita ke depan. Padahal, akan ada kerugian ekonomi jika banyak ibu yang tidak menyusui,” ujarnya.
The Lancet Breastfeeding Series pada 2016 menyatakan, secara global tidak menyusui berhubungan dengan kehilangan nilai ekonomi sekitar 302 miliar dollar AS per tahun. Sementara praktik menyusui dapat menyelematkan lebih dari 820.000 nyawa bayi setiap tahun. Praktik menyusui eksklusif juga dapat menurunkan angka kematian karena infeksi pada anak usia kurang dari tiga bulan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh gendong menyusui anaknya sambil menunggu giliran mengambil bantuan paket bahan pokok dari Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) di Pasar Giwangan, Yogyakarta, Jumat (15/5/2020).
Fauzi menegaskan, perlindungan terhadap ibu menyusui sangat penting mengingat rawan dan rentannya kesehatan seorang bayi, terutama saat 1.000 hari pertama kehidupan. Di sisi lain, semua pihak juga harus mewaspadai penggunaan pengganti ASI yang tidak layak.
Kebijakan perlindungan ibu menyusui saat ini telah tertuang dalam Renacangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan salah satu strategi percepatan perbaikan gizi masyarakat, terutama menurunkan angka tengkes. Percepatan penurunan tengkes ini dilakukan dengan intervensi gizi, khususnya promosi dan konseling menyusui.
Pada masa pandemi, kata Fauzi, upaya perlindungan dan promosi menyusui juga semakin penting. Sejumlah upaya yang dapat dilakukan, antara lain, ialah memprioritaskan program menyusui, meningkatkan inisiatif rumah sakit sayang bayi, mengakhiri promosi produk pengganti ASI, konseling menyusui, serta peningkatan akses layanan bagi ibu menyusui.
Dukungan selama pandemi
Spesialis nutrisi Unicef, Sri Ninik Sukotjo, menyatakan, pada masa pendemi, seorang ibu yang terinfeksi Covid-19 sangat perlu dukungan dari keluarga dan tenaga kesehatan atau konsultan laktasi. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan agar bisa mendampingi ibu tersebut saat kondisinya membaik sehingga merasa nyaman untuk menyusui bayinya.
Sejumlah hasil studi menyebut bahwa seorang ibu yang terinfeksi Covid-19 tetap aman menyusui. Sebab, virus tidak terdeteksi dalam ASI dan bayi memiliki risiko rendah terinfeksi. Menyusui, bahkan, memiliki manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan.
”Tidak ada bukti bahwa menyusui mengubah perjalanan klinis Covid-19 ibu. Terpenting, ketika sedang menyusui, seorang ibu tetap harus mengonsumsi makanan bergizi. Ini juga dapat memperkuat tubuh untuk melawan penyakit,” ucap Ninik.
Ia pun mengimbau pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mendukung ibu menyusui, khususnya selama pandemi. Dukungan tersebut dapat dilakukan dengan memastikan vaksinasi untuk ibu menyusui, meningkatkan akses konseling, memberikan informasi yang tepat, dan mengakhiri promosi produk pengganti ASI yang tidak tepat.