Regulasi di Indonesia Belum Wujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis
Keadilan sosial dan ekologis yang diidam-idamkan terwujud di Indonesia masih jauh dari harapan. Setidaknya itu tampak dari regulasi yang cenderung berpotensi mereduksi capaian-capaian positif.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pembangunan hukum bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saat ini dinilai masih belum dapat mewujudkan keadilan sosial dan ekologis. Bahkan, masih banyak celah dalam undang-undang tersebut ataupun peraturan turunannya yang memungkinkan sejumlah pihak melakukan korupsi di bidang sumber daya alam dan lingkungan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar tentang pembangunan hukum bidang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan pasca-Undang-Undang Cipta Kerja, Senin (26/7/2021). Hadir sebagai pembicara dalam webinar yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tersebut, sejumlah guru besar perguruan tinggi negeri di bidang hukum dan lingkungan serta perwakilan dari pemerintah.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengemukakan, fakta dan data saat ini menunjukkan adanya ketimpangan yang luar biasa dalam memanfaatkan SDA antara pihak swasta dan masyarakat. Ketimpangan ini bahkan masih terlihat meski selama 10 tahun terakhir sudah dilakukan upaya menyeimbangkan proporsi pemanfaatan kawasan hutan.
Upaya mewujudkan keadilan sosial dan ekologis perlu dibarengi dengan pemberantasan korupsi yang sudah endemik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020 mencatat, proporsi pemanfaatan kawasan hutan dari swasta hingga 2014 mencapai 32 juta hektar atau 98,53 persen dari total peruntukan. Pada periode yang sama, masyarakat hanya memanfaatkan hutan seluas 449.000 hektar atau 1,35 persen. Setelah adanya upaya penyeimbangan, proporsi pemanfaatan hutan dari swasta pada 2015-2018 turun menjadi 85,5 persen dan masyarakat naik menjadi 12,50 persen.
Berlakunya UU Cipta Kerja yang diklaim dapat menyeimbangkan proporsi kawasan hutan juga dinilai Hariadi belum bisa menjadi solusi dalam mencapai keadilan sosial dan ekologis ini. Sebaliknya, terdapat potensi korupsi dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja.
Kesimpulan tersebut didapat Hariadi setelah meninjau salah satu peraturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Tinjauan dilakukan dengan pendekatan corruption risk assessment (CRA) atau identifikasi kerawanan dan risiko korupsi secara spesifik.
”Ketika saya membaca pasalnya, ditemukan potensi-potensi yang menyebabkan terjadinya korupsi dalam PP 23 ini. Memastikan seberapa besar potensi korupsi ini didasarkan pada riset sepuluh tahun terakhir dari KPK (Komisi Pemberantasan Korpusi) dan UNODC (Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan) tentang karakteristik pasal seperti apa yang menyebabkan suap,” paparnya.
Selain PP No 23/2021, Hariadi juga memandang terdapat aturan turunan UU Cipta Kerja lainnya yang berpotensi memunculkan korupsi institusi dalam proyek strategis nasional (PSN). Aturan itu antara lain PP No 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan, PP No 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan.
Beberapa ketentuan dalam aturan tersebut memberikan kemudahan bagi PSN. Salah satu contoh, PSN tetap dapat dilanjutkan meski ada penghentian proses perizinan dan konsesi baru pada wilayah yang mengalami ketidaksesuaian rencana tata ruang wilayah (RTRW), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
”Upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan pemanfaatan SDA sedang dibarengi oleh praktik hukum yang cenderung tererosi legitimasinya. Jadi, upaya mewujudkan keadilan sosial dan ekologis perlu dibarengi dengan pemberantasan korupsi yang sudah endemik. Kita tidak bisa berbicara keberlanjutan tanpa menyelesaikan korupsi,” tuturnya.
Penguatan masyarakat
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria SW Soemardjono mengatakan, untuk mencapai keadilan sosial, perlu penguatan posisi tawar bagi masyarakat yang tidak diuntungkan melalui peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, Maria memandang UU Cipta Kerja, khususnya aturan bidang pertanahan, tidak memberikan penguatan bagi masyarakat yang tidak diuntungkan.
Menurut Maria, terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk memastikan keadilan dalam kebijakan pertanahan. Ketiga aspek tersebut, yakni distribusi dan pemerataan, perlindungan masyarakat marginal atau kelompok rentan, serta pemulihan hak. Semua aspek ini harusnya tertuang dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Di tengah regulasi yang belum optimal ini, Maria pun mendorong adanya pembenahan dalam proses pembentukan hukum sesuai tahapannya, terutama pelibatan publik sejak tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Efektivitas aturan tersebut juga perlu dievaluasi meski tidak ada kepentingan untuk diubah.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Benny Riyanto memastikan bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melalui serangkaian tahapan yang tertuang dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Semua peraturan perundang-undangan oleh pemerintah dilakukan analisis dan evaluasi dengan prinsip enam dimensi, termasuk produk hukum daerah. Pancasila menjadi dimensi utama yang didukung lima dimensi yang lain. Jika ada kekurangan dalam UU Cipta Kerja masih bisa disempurnakan,” katanya.