KTT Sistem Pangan Dinilai Mengancam Kesejahteraan Petani
Sistem pangan agar dikembalikan pada kedaulatan rakyat, yaitu pangan dikelola oleh komunitas berbasis koperasi bersama negara. Ini agar menciptakan sistem yang berkeadilan bagi petani dan kedaulatan pangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menilai, terdapat indikasi konflik kepentingan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sistem Pangan Dunia PBB 2021 yang dibentuk melalui forum ekonomi dunia. Kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia juga akan terancam karena hasil KTT ini akan dijadikan dokumen sistem pangan nasional dan aksi 2030.
Koalisi masyarakat sipil tersebut tergabung dalam Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan yang terdiri dari 28 organisasi masyarakat sipil. Pra-KTT Sistem Pangan Dunia PBB 2021 (UNFSS21) diadakan pada 26-28 Juli 2021 dan pertemuan puncak diselenggarakan September 2021 di New York, AS.
KTT ini bertujuan menciptakan sistem pangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan sehingga dapat mengentaskan permasalahan kelaparan serta gizi di dunia. Penyelanggaraan KTT juga bagian dari realisasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Hasil analisis IGJ, terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang sedang diikuti atau disepakati Pemerintah Indonesia dan ini berpotensi mengubah kebijaka hukum nasional, khususnya di sektor pangan.
Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik menyampaikan, sikap kritis dari koalisi masyarakat sipil dilakukan karena keterlibatan korporasi masih tampak dominan dalam penyelenggaraan KTT ini. Hal tersebut akan sangat merugikan bagi kepentingan masyarakat sektor pertanian dan menghambat kedaulatan pangan di Indonesia dan secara global.
”Hasil KTT ini sering dijadikan rekomendasi atau kebijakan dalam konteks implementasi hukum nasional. Terkadang Pemerintah Indonesia kebingungan dan tidak punya arah pembangunan ekonomi di sektor pertanian dan pangan sehingga mengadopsi kebijakan yang sudah ada di tingkat global,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Senin (26/7/2021).
Menurut Maulana, salah satu contoh kebijakan nasional yang diadopsi dari tingkat global ialah liberalisasi sektor pangan dalam konteks perjanjian perdagangan bebas. Hasil analisis IGJ, terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang sedang diikuti atau disepakati Pemerintah Indonesia dan ini berpotensi mengubah kebijaka hukum nasional, khususnya di sektor pangan.
”Kebijakan di Indonesia sepertinya sudah mengarah ke sana dengan adanya Kementerian Pertanian yang membuat peta jalan korporatisasi petani tahun lalu. Konteks seperti inilah yang dikhawatirkan diadopsi dari aturan internasional. Pemerintah tidak melihat bagaimana pembangunan pertanian dalam negeri bisa berdaulat dan mandiri secara hakiki,” ujarnya.
Kepala Badan Khusus Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia (SPI) Afgan Fadilla Kaban memandang bahwa hasil KTT ini justru akan memperparah sistem pangan global. Sebab, KTT ini terbentuk dari forum ekonomi global yang memiliki kepentingan sendiri.
”Adanya korporatisasi dan liberalisasi ini akan membuat kondisi petani kecil di Indonesia semakin jauh dari kesejahteraan. Dalam konteks produksi, masih banyak terjadi konflik agraria atau perampasan lahan, kriminalisasi petani, dan tidak bebas mempraktikkan model pertanian karena dikuasai korporasi besar,” katanya.
Selain masalah produksi, petani juga masih menghadapi permasalahan rantai distribusi yang sangat panjang. Ini menyebabkan produk yang dijual petani tidak ada nilai tambah yang memadai karena terlalu banyak perantara. Padahal, rantai distribusi yang panjang ini sudah terbukti menjadi penghambat proses pemenuhan kebutuhan pangan saat pandemi.
Afgan pun meminta pemangku kepentingan untuk menggunakan platform kedaulatan pangan yang telah diperjuangkan SPI dan koalisi masyarakat sipil lainnya sejak beberapa tahun lalu. Pemangku kepentingan juga diminta untuk tidak menggunakan sistem kedaulatan pangan yang digaungkan oleh korporasi ataupun KTT sistem pangan global ini.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Anwar Sastro Maruf mengatakan, sistem pangan yang dikuasai korporasi dan didukung negara sudah terbukti gagal dan berdampak pada kesulitan akses pangan sehat. Fakta ini juga ditunjukkan dari masih tingginya kasus tengkes (stunting) di Indonesia akibat kekurangan nutrisi.
”Kita harus kembali ke masalah mendasar bahwa pangan adalah kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, sistem pangan harus dikembalikan pada kedauatan rakyat. Pangan harus dikelola oleh komunitas berbasis koperasi bersama negara. Tata kelola pangan berbasis koperasi akan menjawab kepentingan pendapatan dan penguasan lahan sehingga reforma agraria juga harus dijalankan,” ucapnya.