Tekanan akibat pandemi dialami oleh sebagian besar masyarakat, tidak terkecuali pada usia anak. Karena itu, pendampingan dan dukungan penuh dibutuhkan untuk mencegah gangguan mental pada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak perlu menjalani berbagai aktivitas agar bisa mengeksplorasi banyak hal. Namun, situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini justru membatasi kesempatan tersebut sehingga anak rentan mengalami tekanan secara mental.
Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Elvi Hendrani menyampaikan hal itu dalam Seminar Nasional bertajuk ”Melindungi Kesehatan Jiwa Anak di Tengah Pandemi Covid-19” secara daring, di Jakarta, Jumat (23/7/2021).
Menurut Elvi, setiap keluarga perlu didorong untuk menjaga anak-anak mereka agar tetap sehat secara fisik dan psikis. Sekalipun selalu berada di rumah, anak tetap bisa aktif melakukan banyak aktivitas.
”Keluarga bisa mengajarkan anak-anak untuk aktif melakukan banyak kegiatan, termasuk permainan tradisional. Ini penting untuk menjaga anak agar gembira dan bisa bergerak, tetapi tetap aman dari penularan Covid-19,” ujarnya.
Elvi menambahkan, waktu istirahat anak juga tetap harus diperhatikan dengan lama tidur berkisar 6-8 jam dalam sehari. Pengelolaan stres juga penting untuk diajarkan ke anak. Itu meliputi antara lain menyajikan beragam aktivitas yang dapat mengembangkan kreativitas anak.
Sesekali, anak bisa diajak untuk membantu ibu mempersiapkan masakan atau menanam tanaman bersama keluarga. Edukasi untuk bisa menjalankan protokol kesehatan dan prinsip hidup bersih sehat pun perlu disampaikan secara baik agar anak mudah menangkap dan menerapkannya dengan baik.
Keluarga bisa mengajarkan anak-anak untuk aktif melakukan banyak kegiatan, termasuk permainan tradisional. Ini penting untuk menjaga anak agar gembira dan bisa bergerak, tetapi tetap aman dari penularan Covid-19.
Psikolog anak, Seto Mulyadi, menambahkan, kondisi pandemi ini telah berdampak pada kondisi mental seorang anak. Anak cenderung menjadi mudah gelisah dan cemas, kesulitan tidur, sulit makan, mudah bosan, sering marah, dan malas belajar.
Mengutip survei yang dilakukan Kementerian PPPA, sebanyak 13 persen anak sudah mengalami depresi akibat pandemi. Kekerasan yang terjadi pada anak juga cukup tinggi.
Padahal, menurut Seto, anak membutuhkan dukungan psikis yang lebih besar untuk menghadapi situasi pandemi Covid-19. Suasana belajar dalam keluarga perlu diciptakan lebih ramah anak. Pembelajaran daring yang dijalani sekarang ini seharusnya dilaksanakan dengan memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi anak tanpa beban kurikulum untuk naik kelas ataupun kelulusan.
”Pastikan menciptakan suasana belajar yang membuat anak gembira dan bahagia. Orangtua memang dituntut untuk lebih kreatif dengan menyuguhkan pembelajaran yang lebih banyak menyertakan hiburan, permainan, dan emosi yang sehat,” tuturnya.
Anak disabilitas
Elvi menambahkan, perhatian lebih juga perlu diberikan terhadap kesehatan mental anak dengan disabilitas. Pemerintah telah mengeluarkan protokol perlindungan terhadap anak dengan disabilitas pada masa pandemi. Orangtua, pendamping, pekerja sosial, perawat, serta konselor fisiologis bisa menyesuaikan penanganan yang diberikan dengan kondisi yang sedang terjadi.
Menurut dia, anak penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan terpapar Covid-19. Mereka amat bergantung pada orangtua dan pendamping dalam memenuhi kebutuhan khususnya, termasuk untuk bergerak dan berkomunikasi. Setiap anak dengan disabilitas juga membutuhkan cara penanganan dan pencegahan yang berbeda sesuai kondisi dan karakter dari masing-masing anak.
”Perbedaan paling mendasar adalah tentang cara menerima informasi mengenai Covid-19. Tidak semua informasi bisa diakses dan diserap oleh anak dengan disabilitas. Kendala ini membuat mereka tidak bisa memahami cara pencegahan secara utuh sehingga membuat mereka rentan tertular,” tutur Elvi.
Ketua Pembina Yayasan Peduli Sindrom Down Indonesia (Yapesdi) yang juga ibu dari anak dengan disabilitas, Dewi Tjakrawinata, menyampaikan, kondisi mental anak dengan disabilitas bisa bergantung pada kondisi mental dan penerimaan orangtuanya.
Tidak semua informasi bisa diakses dan diserap oleh anak dengan disabilitas. Kendala ini membuat mereka tidak bisa memahami cara pencegahan secara utuh sehingga membuat mereka rentan tertular.
Anak dengan disabilitas, terutama dengan disabilitas intelektual termasuk down syndrome memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lebih tinggi mengalami gangguan mental dari anak tanpa disabilitas intelektual.
Anak dengan down syndrome sulit berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan. Itu membuat mereka sulit berbicara tentang masalah yang dialami. Gangguan mental yang biasa terjadi, antara lain, adalah depresi, kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif, dan skizofrenia.
Dewi menuturkan, sejumlah cara bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental anak dengan down syndrome. Cara itu seperti mendukung keterlibatan anak secara aktif untuk membuat keputusan sendiri, memerhatikan periode transisi penting di setiap usia, memerhatikan hubungan sosial, serta mendukung anak untuk mengejar peluang dan minat yang dimiliki.
”Jangan juga berasumsi bahwa perubahan perilaku dan temperamen yang dialami anak hanya bagian dari down syndrome. Perubahan ini bisa menjadi pertanda lain, seperti reaksi terhadap rasa sakit atau stres dan kesehatan mental yang terganggu,” katanya.