Mengungkap Kronologi Tragedi di Rumah Sakit Sardjito
Tragedi kematian puluhan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Sabtu (3/7/2021) hingga Minggu (4/7/2021) jadi alarm krisis oksigen di Indonesia. Kebutuhan oksigen dari pasien Covid-19 amat tinggi.
Sabtu (3/7/2021) siang, salah seorang tenaga kesehatan dari RSUP Sardjito mengirim pesan singkat, mengabarkan bahwa oksigen di rumah sakitnya menipis dan direksi memerintahkan agar dihemat penggunaannya. Dia meminta bantuan untuk disampaikan kepada publik, terutama keluarga korban, agar bersiap.
Dalam waktu tak berselang lama, teman lain yang jadi dokter di RSUP Sardjito juga mengirim kabar serupa. Dokter ini kemudian mengirim surat permintaan bantuan oksigen dari Direktur Utama RSUP Sardjito, Rukmono Siswishanto, kepada Menteri Kesehatan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dan para pihak lain.
Dalam surat nomor SR.04.01/XI.4/26715/2021 itu, Rukmono menyebutkan, menipisnya pasokan oksigen disebabkan peningkatan kasus Covid-19 yang ditangani. ”Direktur RSUP Dr Sardjito telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mendapatkan pasokan oksigen dari penyedia ataupun tempat lain, tetapi sampai saat ini masih mengalami kendala dan pasokan oksigen diperkirakan paling cepat akan datang pada hari Minggu tanggal 4 Juli 2021 pukul 12.00 WIB,” tulis Rukmono.
Padahal, tulis Rukmono, persediaan oksigen sentral di RSUP Dr Sardjito akan mengalami penurunan pada Sabtu (3/6/2021) pukul 16.00 dan persediaan akan habis pada pukul 18.00 sehingga berisiko pada keselamatan pasien yang dirawat, baik pasien Covid-19 maupun non-Covid-19. Rukmono juga menjelaskan sudah berupaya melakukan antisipasi maksimal dan penghematan seoptimal mungkin.
Baca juga : Krisis Oksigen
Informasi ini kemudian kami teruskan ke Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dan Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi serta sejumlah pejabat lain.
Pesan itu juga kami unggah di Twitter, sesuai amanat tenaga kesehatan dari Sardjito. Ternyata saat itu sudah riuh ancaman krisis oksigen di RS Sardjito dari sejumlah sumber lain. Beberapa akun sudah mencuit tentang krisis oksigen di rumah sakit ini.
Minggu (4/7/2021) pagi, kabar duka berdatangan. ”Dari tempat forensik sudah ada 63 jenazah. Yang bisa saya identifikasi, 9 dari ruang intensif, 30 dari bangsal rawat inap, dan 12 IGD,” kata rekan tenaga kesehatan di Sardjito.
Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan, yang dikonfirmasi pagi itu membenarkan adanya 63 pasien yang meninggal di rumah sakit itu sejak Sabtu hingga Minggu pagi. Namun, dia belum bisa memilahnya. ”Sebanyak 63 orang itu data dari Sabtu siang sampai tadi pagi (Minggu). Itu belum dipilah, pasien yang klinis dan pasien yang membutuhkan oksigen,” ujar Banu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui pesan singkat mengatakan, pasokan oksigen di RSUP Sardjito baru kembali normal pada Minggu pukul 05.00 setelah menipis beberapa jam.
Dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada Minggu siang, Rukmono menyebutkan, ”Yang meninggal pasca-oksigen sentral habis pukul 20.00 maka kami sampaikan jumlahnya 33 pasien.” Dia juga menyebutkan bahwa pasien yang meninggal ini sebenarnya masih tetap tersuplai menggunakan oksigen tabung, termasuk di antaranya bantuan dari Kepolisian Daerah DIY.
Dalam rilis berikutnya yang dikeluarkan pada Minggu sore, Rukmono menegaskan bahwa kematian 63 orang karena kehabisan oksigen itu tidak benar. Kematian terjadi bukan karena suplai oksigen sentral tidak mencukupi, melainkan disebabkan kondisi klinis pasien yang buruk.
Yang meninggal pasca-oksigen sentral habis pukul 20.00 maka kami sampaikan jumlahnya 33 pasien.
Berikutnya, sejumlah pejabat beramai-ramai membantah meninggalnya puluhan pasien di RSUP Sardjito ini karena krisis oksigen. Bahkan, polisi kemudian melabeli berita Kompas.id yang pertama kali mengungkap tragedi ini sebagai hoaks walaupun belakangan stempel ini dicabut.
Sementara itu, penjelasan yang kemudian diunggah RS Sardjito di Instagram resmi rumah sakit ini kemudian menuai banyak protes dari keluarga pasien yang meninggal. Mereka ramai-ramai menulis komentar agar RS Sardjito mau jujur dan meminta maaf.
Upaya konfirmasi yang dilakukan dengan menghubungi Rukmono tidak dijawab, hingga kemudian dia dipindahtugaskan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr Soerojo, Magelang, Jawa Tengah, pada 12 Juli 2021. Eniarti, yang menggantikan Rukmono sebagai Direktur Utama RSUP Sardjito, akhirnya menjawab sebagian pertanyaan yang diajukan secara tertulis. Terkait kronologi kejadian, dia menyebutkan sudah dijelaskan pada keterangan tertulis tanggal 4 Juli 2021.
Baca juga : Oksigen Sentral Sempat Habis, RSUP Dr Sardjito Dapat Tambahan Pasokan
Informasi baru yang ditambahkan adalah, sebelum kejadian habisnya oksigen pada 3-4 Juli itu, ”RSUP Sardjito sudah bekerja sama dengan dua penyedia oksigen. Dengan kapasitas tangki oksigen tersedia 10 ton, jika distribusi tidak mengalami gangguan sudah mencukupi kebutuhan.”
Namun, jawaban ini masih menyisakan tanda tanya. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi malam itu dan apa yang kita pelajari dari tragedi ini?
Kesaksian korban
Teka-teki tentang kronologi di RSUP Sardjito sedikit tersingkap berkat kesaksian pasien yang berhasil melalui fase kritis Sabtu malam itu, Surya Hendarta (47). Pendeta dari Gejayan, Yogyakarta, ini pada malam kejadian dirawat sebagai pasien Covid-19 di Ruang Dahlia 4 RSUP Sardjito.
”Sabtu sore itu, suster mendatangi pasien dan menyampaikan adanya krisis oksigen. Pasien mulai dikurangi oksigennya, dari sebelumnya tekanannya 10 jadi 5, dan yang dianggap sudah kuat mulai dilepas untuk menghemat,” kisah Surya, Rabu (7/7/2021).
Surya, yang dianggap sudah mulai pulih, termasuk yang dilepas oksigennya dan diajari pernapasan dalam. ”Saya kemudian tertidur, tiba-tiba tengah malam ribut, orang-orang panik karena oksigen mati semua, terutama yang masih tergantung oksigen. Kan, ada beberapa tingkatan, ada yang pakai oksigen biasa dan ada pakai oksigen dobel. Di kamar saya itu ada dua orang pakai oksigen dobel (nasal cannula/HFNC),” katanya.
Menurut Surya, sebagian pasien itu kemudian menghubungi keluarga supaya dikirimi oksigen. Tak berselang lama, muncul sejumlah tabung oksigen yang kemudian diberikan kepada para pasien, tetapi tidak semuanya kebagian. ”Saya tanya ini inisiatif siapa, kenapa tidak semuanya. Katanya ini inisiatif masing-masing keluarga. Tetapi, sepertinya tidak memadai, karena biasanya kan pakai dobel, tetapi jadinya hanya satu dari tabung,” lanjutnya.
Sekitar pukul 06.00, menurut Surya, oksigen sentral mulai menyala, tetapi masih terbatas. ”Setelah itu saya lihat di ruang kami selamat semua. Namun, di ruang sebelah ada meninggal dua orang. Saya tidak tahu apakah meninggalnya karena oksigen habis atau apa,” ujarnya.
Namun, dia melihat momen kritis saat teman sekamarnya berjuang hidup mati saat oksigen sentral habis. ”Saya lihat dia berjuang dengan napas dalam. Kasihan juga suster-suster yang malam itu kebingungan dan mondar-mandir memantau kondisi pasien yang kritis. Saya bersyukur saat itu sudah membaik dan bisa lepas oksigen. Kalau belum mungkin juga tidak bisa melewatinya,” kata Surya.
Tya (29), salah seorang kerabat pasien, juga memberi kesaksian serupa dengan Surya. Perempuan ini awalnya mengaku mendapat informasi dari media sosial tentang menipisnya stok oksigen di RSUP Dr Sardjito pada Sabtu sekitar pukul 19.00 dari media sosial. ”Kalau tidak ramai di media sosial malah tidak tahu,” ucapnya.
Setelah itu, dia langsung menghubungi suami dari salah seorang temannya yang tengah dirawat karena Covid-19 di RSUP Sardjito. Kebetulan, keluarga sudah memiliki oksigen tabung di rumah sehingga tidak perlu membeli.
Baca juga : Sejumlah Rumah Sakit di Jateng Krisis Oksigen
Tya juga berkomunikasi dengan temannya yang sedang dirawat di RSUP Dr Sardjito melalui aplikasi Whatsapp. Kepada Tya, pasien ini mengisahkan, Sabtu sekitar pukul 20.00, suplai oksigen sentral mulai dikurangi. ”Awalnya dia mengira bahwa tindakan mengurangi suplai oksigen itu karena proses weaning atau penyapihan,” katanya.
Proses weaning biasa dilakukan untuk pasien yang kondisinya membaik dan akan dilepas bantuan oksigennya. ”Sepengetahuan teman saya, dia memang sedang weaning atau proses menuju lepas oksigen. Jadi, sepertinya dia enggak tahu kondisinya seperti apa (stok oksigen di RSUP Dr Sardjito menipis),” ungkap Tya.
Sekitar pukul 22.00, Tya kembali mendapat informasi bahwa suplai oksigen yang diterima temannya itu mengecil. Kemudian, sekitar pukul 23.00, teman Tya mengabarkan bahwa suplai oksigen sudah hampir habis.
”Teman saya bilang, ini oksigennya ternyata krisis dan sudah mau habis. Itu sekitar pukul sebelas malam,” ujar Tya yang tinggal di Sleman.
Setelah itu, pada pukul 00.00, ia mendapat kabar dari temannya bahwa suplai oksigen sentral sudah benar-benar habis. Untungnya, saat itu, suami teman Tya sudah berada di RSUP Dr Sardjito dengan membawa tabung oksigen.
Tabung oksigen yang dibawa sang suami itulah yang kemudian digunakan untuk menyuplai oksigen untuk teman Tya. Teman Tya akhirnya bisa melalui malam itu. Namun, nasib buruk dialami banyak pasien lain.
Minggu sore, Surya yang mulai bisa berjalan kemudian keluar dan mendapati lebih banyak korban. ”Saya kan sudah bisa jalan, ketika saya amati jenazah itu memang meninggalnya malam. Biasanya enam jam sudah diangkat, namun sampai sore tidak diangkat. Saya tanya perawat, kenapa kok tidak diangkat ke forensik. Terus perawat bilang, ’Masih antre Pak, yang ini saja masih antrean ke-37’. Memang ruang forensik penuh,” ujarnya.
Surya kemudian bercakap dengan seorang pasien lain yang selamat di ruang sebelahnya. Pasien itu mengisahkan bahwa mereka terpaksa tidur bersama mayat-mayat sejak Sabtu malam hingga Minggu sore itu. ”Situasi sangat mencekam,” katanya.
Bagi Surya, itu adalah pengalaman paling menakutkan sepanjang hidupnya, namun dia bersyukur bisa selamat. Dia hanya berharap, kejadian serupa tidak pernah dialami orang lain.... (HARIS FIRDAUS)