Sejumlah pihak kembali mengingatkan dan meminta pemerintah untuk mengevaluasi proyek Lumbung Pangan. Persoalan pangan di Indonesia lebih pada keragaman pangan, ketimpangan nasib petani, serta distribusi kebutuhan tani.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Lumbung Pangan atau Food Estate yang akan dilakukan di sejumlah wilayah dinilai terburu-buru dan tidak melalui kajian yang matang. Pemerintah kembali diminta mengevaluasi secara menyeluruh program Lumbung Pangan yang sudah berjalan dan menyampaikan informasi lengkap ke publik.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengemukakan, munculnya kebijakan lumbung pangan dilatarbelakangi oleh peringatan krisis pangan global dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2020. Namun, FAO menyatakan bahwa potensi krisis pangan ini dapat terjadi akibat kebijakan negara-negara dalam menerapkan karantina wilayah sehingga berdampak pada terganggunya rantai pasokan.
”Pada saat itu, FAO menyampaikan belum ada ancaman terhadap ketersediaan pangan pada 2020. Namun, ancamannya itu ada di pergerakan atau distribusinya,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Kamis (22/7/2021).
Urusan distribusi dan perubahan iklim harus diselesaikan terlebih dahulu jika kita ingin memastikan pangan kita tercukupi.
Menurut Iola, peringatan ini justru direspons berbeda oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan rencana pembangunan lumbung pangan di atas lahan bekas proyek pengembangan lahan gambut (PLG) di Kalimantan Tengah. Padahal, hal tersebut tidak ada dalam rekomendasi FAO.
Dalam menghadapi krisis pangan, FAO merekomendasikan lima hal. Rekomendasi tersebut adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang rentan dengan bantuan langsung, menghilangkan tarif impor dan hambatan perdagangan nontarif, melindungi pasokan dalam negeri, mengurangi pajak sementara, serta memastikan kelancaran produksi dan distribusi pangan.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian mencatat, stok beras akhir 2020 masih surplus 7,39 juta ton. Surplus beras juga masih terjadi pada akhir Juni 2021 dengan 10,28 juta ton. Adapun pada akhir Desember 2021 stok beras kembali diperkirakan surplus hingga 9,62 juta ton.
Sementara menurut Global Food Security Index, ketahanan pangan Indonesia memang menurun pada 2020 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang cenderung meningkat. Penurunan disebabkan rendahnya nilai indikator keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan, serta ketahanan sumber daya alam (SDA). Akan tetapi, indikator ketersediaan pangan Indonesia masih di atas rata-rata dunia.
Saat sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional, kata Iola, program lumbung pangan ini justru minim informasi dan keterlibatan publik. Hingga kini, pemerintah tidak transparan dalam merencanakan lokasi lumbung pangan sehingga publik tidak dapat memastikan dampak program ini terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Ia menilai, dibandingkan melakukan program Lumbung Pangan, pemerintah seharusnya memperbaiki poin penilaian Indonesia yang masih kurang dalam hal ketahanan pangan, khususnya aspek distribusi, sumber daya alam, nutrisi, dan keamanannya. Ia pun mendorong pemerintah tidak melalukan alih fungsi kawasan hutan gambut.
Selain itu, alih-alih membuka lahan baru, akan lebih optimal jika pemerintah mengintesifikasi lahan pertanian dan petani yang sudah ada. Sebab, sampai saat ini masih banyak petani kecil di Indonesia yang hanya memiliki lahan kurang dari satu hektar. Intesifikasi bagi petani dapat dilakukan dengan transfer teknologi atau subsidi pupuk.
CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) Bustar Maitar mengatakan, berbagai pemberitaan menyebut sebanyak 20.000 ton beras Bulog dibuang karena rusak pada 2019. Ini menunjukkan cadangan pangan beras terhambat karena faktor distribusi yang buruk.
”Hal lainnya, panen kita gagal disebabkan oleh perubahan iklim. Artinya, urusan distribusi dan perubahan iklim harus diselesaikan terlebih dahulu jika kita ingin memastikan pangan kita tercukupi. Sebab, fakta menunjukkan dua faktor ini menjadi penghambat,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut Bustar, diversifikasi pangan di Indonesia masih lemah karena hanya fokus pada tanaman padi atau beras. Sementara sagu, sorgum, jagung, dan umbi-umbian masih bisa dikembangkan serta diproduksi secara mandiri oleh masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memerhatikan faktor-faktor ini untuk meningkatkan ketahanan pangan dibandingkan dengan harus membuka lahan untuk program Lumbung Pangan.