Peta Jalan Penurunan Emisi di Sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan Ditetapkan
Sebagai tulang punggung sumber penurunan emisi di Indonesia selain energi, sektor kehutanan dan tata guna lahan berperan penting. Indonesia kini memiliki peta jalan penurunan emisinya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Hamparan lahan kritis tampak dari penerbangan komersial di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, Kamis (27/6/2019). Kerusakan daerah tangkapan air Danau Toba disebabkan alih fungsi dan perambahan hutan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan peta jalan penurunan emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Seluruh upaya ini diharapkan dapat mendukung dan mempercepat target penurunan emisi sesuai dokumen kontribusi nasional penurunan emisi atau NDC Kesepakatan Paris 2015.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyampaikan, sektor kehutanan dan tata guna lahan serta energi merupakan tulang punggung untuk mencapai target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030. Penurunan emisi pada sektor kehutanan dan tata guna lahan ditetapkan sebesar 17,2 persen dengan upaya sendiri dan 23 persen dengan bantuan internasional.
Ini bagian dari total komitmen penurunan emisi Indonesia sebesar 29-41 persen. Penurunan emisi ini juga berasal dari industri dan limbah.
Upaya yang dilakukan ini akan memberikan keyakinan kepada pihak internasional jika capaian penurunan emisi dapat dimonitor.
Dalam dokumen NDC, pemerintah telah menetapkan sejumlah upaya mitigasi di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Upaya mitigasi itu di antaranya mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, penanaman di hutan tanaman industri, teknik pemanenan hutan, rehabilitasi, hingga restorasi dan perbaikan tata air gambut.
”Dengan memerhatikan sejumlah upaya ini, pemerintah yakin dan optimistis bahwa kita akan mencapai net sink dari sektor kehutanan dan tata guna lahan pada 2030. Net sink ini berarti emisi yang dikeluarkan di sektor tata guna lahan lebih kecil dari serapannya,” tuturnya dalam diskusi media secara daring, Rabu (21/7/2021).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kawasan hutan adat di Kinpan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (9/9/2020).
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menjelaskan, peta jalan NDC terkait mitigasi perubahan iklim telah disiapkan untuk menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan. Peta jalan ini juga dapat membantu menyelaraskan program dan kegiatan untuk mencapai target NDC yang ditetapkan.
Selain peta jalan tersebut, KLHK juga membuat skenario penurunan emisi dari semua sektor setiap dua tahun sekali mulai tahun 2020 hingga 2030. Pada sektor kehutanan, skenario penurunan emisi yang ditetapkan pada 2022 mencapai 726 juta ton setara karbon dioksida.
Sementara pada 2030, ditargetkan penurunan emisi mencapai 714 juta ton setara karbon dioksida. Target penurunan emisi pada 2030 relatif lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya karena perhitungan persentase ini merujuk emisi data dasar (baseline) yang sudah mengalami penurunan dari tahun 2020.
”Hal-hal yang menjadi aksi prioritas mitigasi di sektor kehutanan didetailkan dalam dokumen peta jalan, misalnya bagaimana pengurangan laju deforestasi lahan mineral dan gambut. Ini diperlukan agar bisa mengukur dan memastikan pencapaiannya,” katanya.
KLHK
Proyeksi emisi tahun 2010-2020
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman menyatakan, upaya yang dilakukan ini akan memberikan keyakinan kepada pihak internasional jika capaian penurunan emisi dapat dimonitor. Salah satu sistem monitoring atau pemantauan yang dilakukan adalah dengan pelaksanaan Revisi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
Moratorium sawit
Alue mengatakan, salah satu kebijakan yang mendukung tercapainya net sink 2030 adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau dikenal dengan istilah moratorium sawit.
Menurut Alue, pemerintah akan mengevaluasi kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir September 2021. Tidak menutup kemungkinan pemerintah akan melanjutan kebijakan ini jika moratorium sawit dinilai efektif dalam mendukung perbaikan tata kelola perkelapasawitan.
”Sebenarnya moratorium sawit relevan dilanjutkan dalam rangka mendukung pencapaian target net sink 2030. Jadi, kebijakan ini diupayakan untuk terus dilanjutkan,” tuturnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Areal perkebunan kelapa sawit PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021).
Ruandha menambahkan, KLHK dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian saat ini masih membahas kelanjutan kebijakan moratorium sawit. Namun, menurut dia, langkah-langkah penyelesaian lahan sawit dalam kawasan hutan sudah tertuang dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil, antara lain Greenpeace, Sawit Watch, The Institute for Ecosoc Rights, dan Kaoem Telapak, mendorong pemerintah untuk memperpanjang kembali moratorium sawit dan memperkuatnya dengan regulasi hingga target yang lebih spesifik. Perpanjangan diperlukan karena selama ini implementasi moratorium sawit ini dinilai masih jauh dari target yang ditetapkan.