Covid-19 Merenggut 712 Pasien Isolasi Mandiri dalam Sunyi
Setidaknya 712 pasien Covid-19 di Indonesia meninggal saat menjalani isolasi mandiri dan sebagian di perjalanan mencari rumah sakit. Jumlah ini merupakan fenomena gunung es karena sebagian besar tak terlaporkan.
”Kapan berakhirnya iki (ini), Mas.... Aku sudah lelah tiap hari melihat jenazah dan kuburan,” tulis Herry Prabowo (41), Koordinator Lapangan Tim Kubur Cepat, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dalam pesan pendek.
Kelelahan itu jelas terdengar dari suara Herry saat dihubungi. ”Sekarang yang meninggal banyak muda. Umur 30-45 tahun, kemarin bahkan ada pengantin baru. Masih 30-an tahun dan seluruh keluarganya kena. Ada juga ibu hamil hingga anak 8 tahun,” ujarnya.
Herry juga kerap menemui kejadian meninggal beruntun selang hari satu keluarga, suami, istri, dan anak-anaknya. ”Bahkan, pernah mengalami serumah jeda berapa jam. Belum selesai kami tangani jenazah suaminya, istrinya sudah meninggal,” lanjutnya.
Setiap hari selama 20 hari terakhir Herry harus mengubur 5-10 orang tetangganya. Mereka mulai bekerja sejak pukul 09.00 WIB dan biasanya baru berakhir dini hari. ”Kemarin sampai pukul 04.00 WIB,” katanya.
Tim Kubur Cepat yang dikomandoi Herry ini hanya satu dari banyak tim lain di seluruh Kabupaten Klaten. Herry membentuk tim sejak akhir Juni 2021 setelah melihat petugas pemakaman kewalahan. Sejak itu timnya telah menguburkan 77 orang.
Secara total, di Klaten ada 70 sampai 90 jenazah pasien Covid-19 yang dikuburkan dengan protokol kesehatan setiap hari. ”Belakangan, semakin banyak yang meninggal saat isolasi mandiri,” katanya.
Lihat juga : Penjemputan Jenazah Covid-19 Saat Menjalani Isolasi Mandiri
Misalnya, pada Jumat (18/7/2021), dari 70 orang yang dikuburkan dengan protokol kesehatan, sebanyak 26 orang atau 37 persen meninggal di rumah. Mereka rata-rata meninggal dengan status positif Covid-19 berdasarkan tes antigen, bahkan sebagian sudah dengan tes polimerase rantai ganda (PCR).
”Di sini rumah sakit penuh, banyak pasien juga sudah cari rumah sakit sampai Yogyakarta dan Solo, penuh semua. Sekarang sudah seperti seleksi alam, yang kuat saja yang bertahan,” ucapnya.
Tragedi serupa dikisahkan Camat Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Fauzan. Sejauh ini sudah 150 orang meninggal karena Covid-19 di kecamatannya. Sebanyak 84 orang meninggal pada bulan Juli dan 35 orang di antaranya atau 41 persen meninggal di rumah.
Banyaknya kematian pasien isolasi mandiri ini, menurut Fauzan, karena warga kesulitan mencari rumah sakit. ”Puskesmas sudah mencoba memantau, tetapi sumber daya mereka terbatas karena kekurangan obat dan oksigen. Apalagi, banyak tenaga kesehatan di puskesmas yang juga positif, bahkan tukang parkir di sana juga,” kata Fauzan yang menjalani isolasi mandiri.
Baca juga : Tekan Potensi Fatalitas, Pasien Isoman di Jabar Diberikan Konsultasi dan Obat Gratis
Puncak gunung es
Kematian pasien yang menjalani isolasi mandiri ini menjadi fenomena baru seiring meluasnya gelombang kasus Covid-19 yang didominasi varian Delta. LaporCovid-19 telah mencatat adanya 712 pasien isolasi mandiri yang meninggal di seluruh Indonesia.
Data ini didapatkan dari laporan keluarga atau kerabat korban pasien isolasi mandiri yang meninggal melalui chatbot dan pemberitaan di berbagai media, termasuk media sosial, yang kemudian diverifikasi identitas dan lokasi kejadiannya. Pendataan dilakukan sejak awal Juni, tetapi penambahan korban mayoritas terjadi pada bulan Juli.
Pasien isolasi mandiri paling banyak meninggal di Jawa Barat, yaitu 248 orang, Daerah Istimewa Yogyakarta 134 orang, Jawa Tengah 114 orang, Jawa Timur 72 orang, Banten 68 orang, dan DKI Jakarta 53 orang, sisanya di luar Jawa. LaporCovid-19 juga mencatat ada dua tenaga kesehatan, yaitu dokter dan perawat, di Tangerang Selatan yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri.
Adapun laporan pasien isolasi mandiri yang meninggal di luar Jawa, seperti Jambi, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Lampung, dan Riau, baru terjadi dalam dua minggu terakhir.
Di sini rumah sakit penuh, banyak pasien juga sudah cari rumah sakit sampai Yogyakarta dan Solo, penuh semua. Sekarang sudah seperti seleksi alam, yang kuat saja yang bertahan.
Data LaporCovid-19 yang berbasis crowdsourching ini bisa dipastikan merupakan puncak gunung es. Namun, inilah satu-satunya pendataan kematian pasien isolasi mandiri yang bisa diakses publik dalam skala nasional. Sejauh ini, belum ada data resmi dari pemerintah daerah ataupun pusat yang melaporkan kematian pasien isolasi mandiri.
Kepala Seksi Survailans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama mengatakan, risiko kematian pasien yang menjalani isolasi mandiri memang sangat tinggi.
Dia menyebutkan, data pada Sabtu (3/7/2021), terdapat 369 pemakaman yang dilakukan dengan prosedur Covid-19 di DKI Jakarta. Dari jumlah itu, ada 45 korban atau 12,1 persen dari total jenazah yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 meninggal di rumah. ”Bahkan, pernah dalam sehari sampai 47 korban yang meninggal saat isolasi mandiri,” lanjutnya.
Butuh pemantauan
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zoebaeri Djoerban mengatakan, isolasi mandiri seharusnya hanya untuk mereka yang tanpa gejala dan gejala ringan. Namun, dengan penuhnya rumah sakit, mereka yang memiliki gejala sedang hingga berat juga terpaksa harus menjalani isolasi mandiri.
”Sebagian besar pasien Covid-19 memang tanpa gejala atau ringan. Namun, tolong dicatat bahwa mereka juga perlu pemeriksaan dan pemantauan,” ucapnya.
Pemeriksaan itu meliputi suhu, saturasi oksigen, dan rontgen dada. ”Kalau suhunya 39 derajat celsius, tentu harusnya rawat inap karena ini bukan ringan. Demikian juga kalau saturasi oksigennya turun kurang dari 93 harus hati-hati karena perlu tambahan oksigen,” lanjutnya.
Baca juga : Perketat Protokol Kesehatan di Lingkungan Rumah
Zoebaeri mengatakan, sebagian pasien tanpa gejala dan gejala ringan ternyata juga kerap memiliki radang paru tanpa disadari dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan ronsen. ”Ini juga harusnya rawat inap karena memerlukan pengobatan dengan antivirus dan heparin profilaksis,” katanya.
Oleh karena itu, banyak pasien Covid-19 yang awalnya terlihat baik dan bergejala ringan bisa mengalami pemburukan dan kemudian tidak tertolong. Pemeriksaan awal, menurut Zoebaeri, menjadi penting, apalagi bagi mereka yang juga memiliki komorbid. ”Jika mereka yang isolasi mandiri tidak terpantau, risiko kematian bakal tinggi,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan pemerintah harus memperbanyak rumah sakit darurat dan pusat-pusat isolasi mandiri yang minimal bisa membantu melakukan pemeriksaan awal terhadap pasien Covid-19. Selain itu, IGD Covid-19 juga harus diperkuat dan bisa memberikan obat-obatan, termasuk antivirus untuk terapi di rumah.
Banyaknya pasien isolasi mandiri ini telah menandai bahwa sistem kesehatan kita tak mampu lagi menampung pasien Covid-19. Mereka terpaksa harus menghadapi sendiri virus ini dengan obat-obatan dan pengetahuan yang terbatas. Selain itu, isolasi mandiri di rumah juga berisiko memicu kluster keluarga, yang bisa menyebabkan seluruh anggota keluarga tertular, bahkan kemudian meninggal, seperti telah banyak terjadi akhir-akhir ini.