Atasi Dampak Limbah Covid-19 Bersama
Satu hal yang tidak boleh diabaikan dari penanganan Covid-19 adalah munculnya limbah medis dari fasilitas kesehatan ataupun rumah tangga pasien isolasi mandiri. Limbah berbahaya ini harus ditangani dengan tepat.
Melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia meningkatkan timbunan limbah medis di setiap fasilitas layanan kesehatan dan menambah beban ganda pada lingkungan. Banyaknya warga terpapar Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri juga menghasilkan limbah medis. Pemahaman dan kesadaran bersama dalam mengelola limbah berbahaya ini jadi salah satu faktor penting untuk mencegah penyebaran Covid-19 kian meluas.
Limbah yang dihasilkan dari penanganan pasien Covid-19 termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan karakteristik infeksius. Kategori limbah ini membutuhkan metode pengelolaan spesifik mulai dari dihasilkan hingga pemusnahannya.
Hasil studi Institute for Global Environmental Strategies (IGES) pada 2020 tentang timbulan limbah medis di sejumlah kota di dunia, termasuk Jakarta, menunjukkan, limbah medis di semua wilayah cenderung naik lima kali lipat setelah pandemi Covid-19.
Menurut studi itu, rata-rata limbah medis yang dihasilkan sebelum pandemi sebanyak 35 ton per hari dan meningkat menjadi 247 ton per hari setelah pandemi Covid-19. Faktor yang memengaruhi besaran timbulan ini, antara lain, jumlah dan jenis penanganan, ketersediaan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), dan tingkat kesadaran masyarakat.
Pada 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis profil pengelolaan limbah medis di Asia Tenggara. Badan dunia itu mencatat, timbunan limbah medis di Indonesia saat itu mencapai 0,68 kilogram per pasien per hari. Sementara informasi dari 536 fasyankes yang mengirimkan data limbah Covid-19 ke Kementerian Kesehatan akhir 2020, rata-rata timbunan limbah Covid-19 sebesar 1,7 kilogram per pasien per hari. Artinya, terdapat peningkatan limbah medis sebesar 1,02 kilogram per pasien per hari (Kompas, 11/12/2020).
Beberapa minggu setelah pandemi Covid-19 terjadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera merespons persoalan limbah medis ini dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19.
Seiring dengan perkembangan situasi pandemi, KLHK memperbaruinya dengan SE Menteri LHK Nomor 3 Tahun 2021 yang menjadi pedoman bagi seluruh kepala daerah di Indonesia. Surat edaran ini berisi arahan teknis untuk dilaksanakan fasyankes, rumah sakit darurat, tempat isolasi mandiri, uji deteksi, dan tempat vaksinasi.
Rata-rata limbah medis yang dihasilkan sebelum pandemi sebanyak 35 ton per hari dan meningkat menjadi 247 ton per hari setelah pandemi Covid-19.
Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 KLHK Achmad Gunawan Widjaksono menjelaskan, penanganan limbah Covid-19 harus memperhatikan proses pemisahan, pengemasan, dan penyimpanan. Limbah Covid-19, baik dari fasyankes maupun rumah tangga, perlu dipisah agar tidak tercampur atau mengontaminasi limbah lain yang masih bisa didaur ulang.
Pada proses pengemasan, limbah Covid-19 dikumpulkan pada wadah berwarna kuning yang tertutup, tidak bocor, dan kedap udara. Setelah itu, limbah harus disimpan pada suhu kamar paling lama dua hari sejak dihasilkan. Namun, penyimpanan bisa sampai 90 hari jika dimasukkan ke pendingin dengan suhu di bawah 0 derajat celsius.
Setiap fasyankes, rumah sakit darurat Covid-19, ataupun tempat vaksinasi dapat melakukan pengolahan limbah B3 jika memiliki fasilitas insinerator atau tempat pembakaran dengan suhu minimal 800 derajat celsius. Penggunaan autoklaf juga dimungkinkan, tetapi harus dipilah jenis limbah yang bisa disterilisasi.
Baca juga : Timbulan Limbah Medis Selama Pandemi Semakin Melebihi Kapasitas
Sementara fasyankes yang tidak memiliki insinerator harus menyerahkan limbahnya ke jasa pengolah limbah B3 dilengkapi bukti dan dokumen serah terima. Namun, apabila jasa pengolah limbah B3 tidak dapat diakses, fasyankes dapat menyerahkan limbah tersebut ke rumah sakit yang memiliki insinerator atau dinas lingkungan hidup di daerah masing-masing.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, KLHK memberikan kebijakan kepada rumah sakit yang telah memiliki insinerator dalam proses pengajuan izin operasional. Sebab, pemusnahan limbah Covid-19 merupakan prioritas, tetapi tetap harus memenuhi kaidah teknis keamanan dalam pelaksanaannya.
”Untuk memastikan fasyankes yang belum berizin dan dapat melakukan pengolahan limbah B3, maka fasyankes tersebut dapat bersurat ke kami untuk dapat diperiksa spesifikasi insineratornya. Diharapkan fasyankes dapat mengoptimalkan insinerator tersebut agar tidak terjadi penumpukan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Data KLHK mencatat, jumlah rumah sakit yang memiliki izin pengelolaan limbah B3 per Februari 2021 sebanyak 120 fasilitas dengan kapasitas 75 ton per hari. Sementara jasa pengolah limbah B3 juga bertambah menjadi 20 perusahaan dengan total kapasitas lebih dari 384 ton per hari. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2018 yang hanya tersedia enam pengolah limbah medis berizin di Indonesia dengan kapasitas produksi 120,48 ton per hari.
Pemahaman masyarakat
Selain fasyankes, limbah Covid-19 juga dihasilkan di tingkat rumah tangga sebagai fasilitas isolasi mandiri. Penyintas dan masyarakat luas harus berperan aktif dan memahami cara mengelola limbah Covid-19, khususnya masker, mulai dari pengemasan, penyimpanan, hingga pengangkutan.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang mengatakan, masyarakat dapat membantu aparatur desa/ kelurahan dalam pendataan keluarga yang berpotensi menghasilkan limbah medis. Warga diharapkan dapat mengorganisasi pengumpulan kantong limbah medis dari rumah warga dan meletakannya di depo yang sudah disediakan pemerintah daerah.
Baca juga : Fasilitas Pemusnah Limbah Medis Diperbanyak
Terkait pengelolaannya, limbah Covid-19 dari rumah tangga terlebih dahulu perlu disterilisasi dengan cara disemprot dengan disinfektan dan dirobek atau digunting. Setelah itu, limbah harus disimpan di dalam plastik tertutup, tidak bocor, kedap udara, dan diikat rapat. Penyimpanan paling lama dua hari sebelum akhirnya diangkut oleh petugas dinas lingkungan hidup ke depo untuk diserahkan ke pengolah limbah B3.
Penarikan limbah Covid-19 ke depo juga akan memudahkan pencatatan dan pelaporan dari pemerintah kabupaten/kota setiap seminggu sekali. Kemudian, pemerintah provinsi melakukan rekapitulasi data pelaporan timbulan limbah dan disampaikan ke KLHK.
Peran peneliti
Permasalahan limbah Covid-19 saat ini juga mendapat perhatian khususnya dari para peneliti. Akhir tahun lalu, peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan mesin penghancur limbah medis atau insinerator sampah infeksius Covid-19 skala kecil untuk pabrik dan perkantoran.
Meski secara khusus insinerator ditujukan untuk penanganan limbah Covid-19 di pabrik dan perkantoran, rumah sakit kecil dan puskesmas juga dapat menggunakan mesin ini. Pada dasarnya, insinerator ini dapat digunakan untuk memusnahkan jenis limbah kimia, sitotoksis, anatomi, dan patologis.
Sementara peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih LIPI juga telah melakukan uji coba daur ulang masker sekali pakai yang tersusun dari material termoplastik polipropilen (PP). Proses yang dilakukan, antara lain, dengan sterilisasi, pengeringan, pemotongan, serta ekstrusi atau pencampuran dan pembentukan komponen baru. Setelah bahan dimasukkan ke mesin ekstruder, akan didapat bijih plastik daur ulang dan dicetak untuk dijadikan produk plastik daur ulang yang baru.
Meski demikian, sebelumnya Vivien menyatakan, KLHK belum memutuskan untuk membuat kebijakan terkait daur ulang masker sekali pakai karena masih dilakukan penelitian dan kajian. Dalam menentukan kebijakan daur ulang limbah medis ini, KLHK perlu melihat sejumlah referensi, baik dari WHO, akademisi, maupun pihak lain.
Di tengah melonjaknya kasus Covid-19, pengelolaan limbah medis sudah sepatutnya tidak bisa dipisahkan dan diabaikan. Pemerintah pusat dan daerah, peneliti, hingga masyarakat dituntut berperan dalam pengelolaan limbah medis Covid-19 yang lebih terkoordinasi dengan baik.
Baca juga : Antisipasi Sampah Pandemi sejak Dini