Penapisan Awal pada Donor Konvalesen
Dari berbagai uji klinis, pemberian terapi plasma konvalesen untuk penderita Covid-19 gejala berat. Namun, uji klinis saat ini sedang dilakukan untuk pemberian pada pasien Covid-19 gejala sedang atau berisiko berat.
Media sosial akhir-akhir ini banyak dipenuhi dengan permintaan donor plasma konvalesen. Meski masih dibuktikan dalam uji klinis, pemanfaatan donor konvalesen bisa menjadi pilihan terapi adjuvan atau terapi tambahan untuk pasien Covid-19.
Plasma konvalesen yang diberikan berasal dari plasma darah yang diambil dari pasien Covid-19 yang minimal 14 hari sudah dinyatakan sembuh serta tidak lagi ada gejala. Namun, tidak semua pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 bisa mendonorkan plasmanya.
Berbagai persyaratan harus diperhatikan. Itu antara lain, berusia 18-60 tahun, tidak memiliki komorbid atau penyakit penyerta, dan diprioritaskan berjenis kelamin laki-laki. Jika berjenis kelamin perempuan, ia belum pernah hamil dan tidak dalam keadaan haid.
“Pada perempuan yang pernah hamil biasanya kandungan antibodi HLA (human leukocyte antigen) akan meningkat. Kandungan HLA ini dikhawatirkan dapat memicu penolakan dari tubuh penerima donor. Sementara pada perempuan yang haid karena sistem metabolismenya sedang tidak optimal,” ujar Dokter Spesialis Patologi Klinik Primaya Hospital Pasar Kemis Jakarta, Wita Prominensa di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Selain itu, donor plasma konvalesen juga sebaiknya tidak memiliki pembuluh darah yang kecil dan tidak teraba. Pembuluh darah yang kecil akan menyulitkan saat pengambilan darah dilakukan.
Pemeriksaan fisik pun perlu dilakukan pada donor. Tekanan darah pada donor harus berada antara 60-160 milimeter air raksa (mmHg). Berat badan pun minimal 55 kilogram dengan kondisi sehat dan bebas gejala penyakit. Penapisan akan adanya infeksi menular lewat transfusi darah, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan sifilis juga diperlukan.
Jika kondisi tersebut sudah memenuhi, Wita menyampaikan, pemeriksaan lanjutan dilakukan untuk melihat kadar antibodi dalam tubuh. Titer optimal antibodi lebih dari 1:320 dan titer antibodi netralisasi lebih dari 1:80. Antibodi yang ada di dalam plasma darah dapat menghambat efek sitopatik (kemampuan merusak sel). Karena itu, semakin tinggi kandungan antibodi netralisasi pada plasma darah akan menekan efek sitopatik dari virus.
“Setelah lolos dari seluruh penapisan, donor bisa mulai diambil plasmanya sekitar 250-350 mililiter selama 15-20 menit sampai 600 mililiter selama 45-60 menit. Selama proses pengambilan plasma dilakukan, donor akan diberikan bola relaksasi agar tidak kram,” ujar Wita.
Setelah plasma dari donor diambil, sejumlah proses masih harus dilakukan. Plasma yang sudah diambil akan dibagi menjadi 2-3 kantong dengan volume sekitar 200 mililiter per kantong. Plasma yang sudah dikemas dalam kantong tersebut kemudian disimpan dalam lemari pendingin khusus dengan suhu 2-6 derajat Celsius selama 24 jam. Apabila ingin disimpan lebih lama, suhu penyimpanan sebaiknya mencapai -18 derajat Celsius.
Sebelum diberikan ke pasien, plasma yang masih dalam keadaan beku perlu dicairkan dalam alat waterbath dengan suhu 30-37 derajat Celsius. Monitor dilakukan saat transfusi dilakukan pada 15-20 menit pertama. Dalam proses ini perlu diperhatikan adanya reaksi transfusi, seperti demam, alergi, dan syok. Selama proses transfusi ini biasanya membutuhkan waktu sekitar 1-4 jam.
“Dalam penelitian menyatakan, donor plasma bisa dilakukan sampai 12 kali donor bila antibodinya bisa bertahan antara 4-6 bulan. Donor bisa dilakukan setiap dua minggu sekali dengan proses penapisan terlebih dahulu,” tutur Wita.
Terapi plasma konvalesen juga telah dimasukkan dalam revisi protokol tata laksana Covid-19 yang disusun oleh lima organisasi profesi, yakni Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam protokol ini disebutkan, indikasi pemberian terapi plasma konvalesen dari berbagai uji klinis untuk penderita Covid-19 dengan gejala berat. Namun, uji klinis saat ini sedang dilakukan untuk pemberian pada pasien Covid-19 dengan gejala sedang atau berisiko menjadi berat.
Baca juga Terapi Plasma Konvalesen Masih Tahap Uji Klinis
Meski begitu, sejumlah telaah sistematik yang dipublikasikan pada Cochrane Library menyatakan tidak yakin apakah kesembuhan pasien semata-mata karena pemberikan plasma konvalesen. Karena itu, sementara ini disimpulkan, terapi plasma konvalesen tidak memiliki keuntungan dalam tata laksana pasien Covid-19 derajat sedang dan berat/kritis. Efek terapi plasma pada pasien Covid-19 derajat ringan ataupun tanpa gejala juga masih belum jelas.
Donor bisa dilakukan setiap dua minggu sekali dengan proses penapisan terlebih dahulu. (Wita Prominensa)
Sementara itu, hasil penelitian uji klinik pemberian plasma konvalesen sebagai terapi tambahan Covid-19 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan, terapi plasma konvalesen masih perlu dilakukan dalam koridor penelitian. Pada analisis sementara, sepertiga dari jumlah sampel didapatkan tidak ada perbedaan mortalitas yang diinginkan. Oleh sebab itu, kelanjutan studi masih harus dilakukan dengan modifikasi desain populasi target serta mengubah hasil penelitian menjadi pencegahan terhadap perburukan klinis bukan pada tingkat mortalitas.
Dalam protokol tata laksana Covid-19 juga disebutkan, dosis plasma konvalesen yang diberikan di berbagai negara sangat beragam. Umumnya, satu unit plasma konvalesen berisi 200 mililiter untuk pasien. Pemberian plasma tambahan harus berdasarkan pertimbangan dokter dan menyesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Pasien dengan gangguan fungsi jantung membutuhkan volume plasma yang lebih kecil dengan waktu transfusi yang lebih panjang.
Pada usia anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan dosis plasma konvalesen yang diberikan untuk anak dengan berat badan lebih dari 40 kilogram sebanyak 200-500 mililiter, sedangkan anak dengan berat kurang dari 40 kilogram dosis pemberian antara 10-15 mililiter per kilogram.
Kontraindikasi
Wita menuturkan, selain syarat pada donor, terapi plasma konvalesen juga harus mempertimbangkan kondisi dari pasien yang akan menerima terapi tersebut. Pasien tidak bisa mendapatkan terapi plasma konvalesen jika memiliki kontraindikasi mutlak, seperti riwayat alergi pada produk plasma, defisiensi immunoglobulin A (IgA), kehamilan, menyusui, memiliki trombosis akut, gagal jantung berat, serta berisiko mengalami kelebihan cairan.
Sementara kontraindikasi relatif berlaku pada pasien yang memiliki syok septik, gagal ginjal dalam hemodialisis, koagulasi intravaskular, dan memiliki komorbid lain yang dapat meningkatkan trombosis pada pasien. Adapun efek samping dalam terapi plasma, antara lain demam, reaksi alergi, hingga reaksi transfusi seperti Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI).
“Monitor terhadap efek samping harus dipantau secara ketat selama dan setelah transfusi plasma konvalesen dilakukan,” ucap Wita.
Secara terpisah, Ketua Bidang Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia Pusat (PMI Pusat) Linda Lukitari Waseso menyampaikan, calon donor plasma konvalesen bisa mendaftarakan diri ke UDD PMI. Registrasi bisa dilakukan melalui aplikasi “Ayo Donor” atau bisa langsung datang ke UDD PMI.
Calon donor perlu membawa surat keterangan hasil positif dari pemeriksaan PCR dan hasil negatif dari pemeriksaan PCR atau surat keterangan sembuh dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Setelah itu, calon donor baru akan dilakukan penapisan dengan pengambilan sampel darah.
Baca juga Plasma Konvalesen dan Harapan Kesembuhan Pasien Covid-19
“PMI berupaya untuk memenuhi kebutuhan plasma konvalesen bagi pasien yang dirawat di RS dengan sistem regionalisasi,” kata Linda.