Sebanyak 545 dokter meninggal hingga hari ini karena Covid-19, sementara 445 perawat meninggal. Perlindungan tenaga kesehatan dan pembenahan sistem pelayanan kesehatan diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia atau PB IDI mencatat ada 545 dokter meninggal akibat Covid-19 hingga Minggu (18/7/2021). Beban kerja tenaga kesehatan yang berlebih jadi salah satu alasannya. Pembenahan manajemen pelayanan kesehatan mendesak agar beban kerja tenaga kesehatan seimbang.
Ada tambahan 44.721 kasus positif Covid-19 di Indonesia per Minggu dengan jumlah kasus aktif sebanyak 542.236 kasus. Adapun jumlah pasien meninggal sebanyak 73.582 kasus.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI M Adib Khumaidi mengatakan, persentase kasus aktif Covid-19 meningkat dari 6 persen menjadi 18 persen dalam sebulan terakhir. Jika lonjakan kasus terjadi terus-menerus, potensi rumah sakit kolaps semakin tinggi.
Setiap dokter yang meninggal, artinya, negara kehilangan satu aset utama dalam sistem ketahanan kesehatan nasional. (Menaldi Rasmin)
”Saat ini kita dihadapkan dengan kapasitas (layanan kesehatan) berlebih, supply dan demand yang tidak seimbang, obat dan alat kesehatan yang terbatas, hingga keterbatasan sumber daya manusia karena paparan Covid-19. Dalam ilmu kesehatan, ini disebut functional collapse,” kata Adib pada konferensi pers daring.
Salah satu faktor penyebab rumah sakit mengalami kolaps fungsional karena banyak tenaga kesehatan terpapar Covid-19. Hingga kini ada 545 dokter meninggal karena Covid-19. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pun mencatat 7.392 perawat positif Covid-19 dan 445 perawat meninggal. Tenaga kesehatan lain, seperti bidan, apoteker, hingga tenaga lab pun turut terpapar Covid-19.
Lonjakan kasus Covid-19 menyebabkan jumlah pasien yang ditangani tenaga kesehatan semakin banyak. Penambahan fasilitas kesehatan, seperti tempat tidur dan ruang perawatan, pun turut menambah beban kerja mereka.
Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi Dokter PB IDI Mahesa Paranadipa Maikel mengatakan, beban kerja yang berlebihan membuat tenaga kesehatan kelelahan. Mereka berpotensi mengalami burnout atau keletihan fisik dan mental jika ini terjadi dalam waktu panjang. Hal tersebut membuat mereka semakin rentan terhadap Covid-19.
”Dokter jadi tulang punggung penanganan Covid-19. Di satu sisi, tidak semua dokter spesialis bisa ditempatkan di ruang perawatan karena menimbang faktor risiko dan (penyakit) komorbid,” ujar Mahesa.
Ia meminta agar masyarakat membantu mengurangi beban tenaga kesehatan dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan. Menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas jadi cara ampuh mengurangi beban tenaga kesehatan.
Selain menjalankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, sistem pelayanan kesehatan perlu dibenahi. Pemerintah daerah dan seluruh rumah sakit diminta untuk segera melakukan identifikasi kemampuan, seperti ketersediaan SDM, ruang perawatan, obat, dan alat kesehatan. Ini penting untuk memetakan fasilitas kesehatan saat ini.
Sistem rujukan pasien berjenjang juga dibutuhkan. Ini untuk mengurangi beban rumah sakit. Sistem rujukan berjenjang bisa dimulai dengan triase berbasis komunitas.
Triase adalah sistem identifikasi dan klasifikasi pasien berdasarkan kondisinya. Satgas Covid-19 di RT/RW bisa ditugaskan untuk identifikasi tingkat keparahan pasien. Tenaga kesehatan kemudian yang menentukan apakah pasien dapat isolasi mandiri di rumah atau perlu dirujuk ke rumah sakit. Penentuan ini juga bisa dilakukan melalui aplikasi telemedicine atau telemedik.
Selanjutnya, rumah sakit dapat menyiapkan rumah sakit lapangan untuk menangani pasien bergejala sedang. Sementara itu, rumah sakit difokuskan untuk menangani pasien bergejala berat hingga kritis.
Adib menambahkan, menambah kapasitas tempat tidur belum menyelesaikan masalah. Penugasan dan penempatan tenaga kesehatan juga harus strategis. Ini sekaligus untuk meminimalkan gugurnya tenaga kesehatan.
”Terlalu banyak dokter yang meninggal. Mereka tidak bisa dilihat dengan angka. Setiap dokter yang meninggal, artinya negara kehilangan satu aset utama dalam sistem ketahanan kesehatan nasional. Ini pukulan berat bagi dunia kedokteran,” ucap Dewan Penasihat Tim Mitigasi Dokter PB IDI Menaldi Rasmin.