Pengobatan tradisional berisi kearifan lokal yang dinilai masih relevan di masa sekarang. Pengobatan tradisional dapat dikembangkan dengan basis ilmiah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi pengobatan tradisional yang kaya, termasuk ramuan herbal seperti jamu. Pengobatan tradisional potensial dikembangkan dengan penguatan basis ilmiah.
Menurut Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Sri Hartati Widyastuti, pengobatan tradisional Indonesia belum dianggap signifikan dibandingkan dengan pengobatan modern. Padahal, potensinya besar. China dan India, misalnya, jadi contoh negara yang pengobatan tradisionalnya berkembang.
Pengobatan tradisional, termasuk jamu, berisi kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Sejarah pengobatan antara lain tampak di relief Candi Borobudur, Prambanan, dan Penataran. Hal itu juga tertulis di sejumlah manuskrip kuno, seperti Serat Munasihati Jati dan Serat Centhini.
”Jamu merupakan warisan budaya yang usianya sudah sangat tua. Jamu dan pengobatan tradisional ini (ditemukan) ketika orang dulu mengalami masalah kesehatan, lalu mereka belajar dan berkreasi agar bisa mengatasi masalah,” kata Sri pada diskusi daring Membedah Serat Munasihati Jati: Tradisi dan Kepercayaan Jawa tentang Penyakit dan Obat Abad 19, Jumat (16/7/2021).
Keyakinan masyarakat masa lampau terhadap pengobatan tradisional didasari pada pengalaman empiris. Selain itu, sumber daya alam untuk pengobatan pun berlimpah. Beberapa di antaranya ialah gambir, sirih, temulawak, adas, dan jahe.
Jamu merupakan warisan budaya yang usianya sudah sangat tua. Jamu dan pengobatan tradisional ini (ditemukan) ketika orang dulu mengalami masalah kesehatan, lalu mereka belajar dan berkreasi agar bisa mengatasi masalah.
Menurut Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2017 yang dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan, di Indonesia ada 11.218 tanaman obat. Dari angka itu, sebanyak 9.516 tanaman telah teridentifikasi.
Ristoja 2017 juga mencatat terdapat 6.193 ramuan tanaman obat. Tanaman yang paling banyak digunakan dalam ramuan ialah kunyit (371 ramuan), jahe (261 ramuan), jambu biji (183 ramuan), sirih (177 ramuan), dan mengkudu (145 ramuan).
Masyarakat pun masih banyak yang menggunakan pengobatan tradisional. Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut bahwa 48 persen penduduk mengonsumsi ramuan jadi dan 31,8 persen penduduk memanfaatkan ramuan buatan sendiri.
Anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Bani Sudardi, mengatakan, setiap suku memiliki tradisi pengobatan masing-masing. Masyarakat China menganggap kesehatan berhubungan dengan keseimbangan yin dan yang. Pengobatan jadi upaya menyeimbangkan penyakit.
Sementara itu, masyarakat Arab memahami kesehatan berhubungan dengan hal di luar tubuh. Terapi bekam, misalnya, dilakukan untuk membuang darah kotor orang yang sakit.
Dalam tradisi Jawa, pengobatan diturunkan melalui tulisan seperti serat dan primbon, serta diturunkan secara lisan melalui cerita rakyat (folklore). ”Dalam tradisi Jawa, hari lahir dihubungkan dengan saat datangnya sakit, asal penyakit, dan cara mengobati penyakit,” kata Bani.
Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang mengatakan, Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk bahan obat alami (natural medicine), baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. IAI pun mendorong pengembangan obat alami.
”Dengan kekayaan tersebut, saya pikir pantas jika kita dorong ke arah situ (pengembangan obat), apalagi karena kemandirian kita di bidang farmasi masih kurang. Kita tinggal galakkan riset-risetnya,” ucap Nurul.
Menurut dia, sekitar 90 persen bahan obat saat ini diimpor. Akibatnya, industri farmasi Tanah Air sangat bergantung pada luar negeri. Padahal, optimalisasi bahan obat alami bisa jadi solusi. Sementara menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), obat berbahan herbal meliputi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Nurul mendorong agar riset obat tradisional semakin banyak dilakukan, bahkan hingga rampung uji klinis menjadi fitofarmaka yang posisinya sejajar dengan obat. Pada 2019, BPOM mencatat ada 23 fitofarmaka di Indonesia. ”Pengembangan obat tradisional mesti dikembangkan dengan basis sains,” kata Nurul.