Lima organisasi profesi kedokteran telah melakukan revisi terkait protokol tata laksana Covid-19. Dalam revisi ini, Oseltamivir dan Azitromisin tidak lagi dimasukkan sebagai standar perawatan pada tata laksana Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Protokol tata laksana Covid-19 telah diperbarui. Revisi terbaru dari protokol tersebut disusun oleh lima organisasi profesi, yakni Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Revisi ini merupakan perubahan dari buku Pedoman Tata Laksana Covid-19 edisi ketiga. Adapun perubahan yang dilakukan antara lain pada tata laksana farmakologis dari pasien dengan derajat ringan. Sebelumnya, pasien perlu mendapatkan terapi Azitromisin, sedangkan pada revisi terbaru obat itu tidak lagi digunakan. Pilihan untuk pemberian antivirus Oseltamivir juga tidak lagi digunakan.
”Pedoman tata laksana dari profesi harus mengikuti perkembangan dari riset-riset di luar negeri, termasuk rekomendasi dari organisasi yang terkualifikasi di dunia, seperti WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dan FDA (Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat). Dan disimpulkan Oseltamivir ataupun Azitromisin tidak dapat dimasukkan sebagai SOC (standar perawatan) pada tata laksana Covid-19,” ujar Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/7/2021).
Selain perubahan pada tata laksana pasien dengan derajat ringan, perubahan juga ditemukan pada tatalaksana pasien dengan derajat sedang dan derajat berat ataupun kritis. Pada pasien dengan derajat sedang perlu dilakukan pengambilan PCR follow up setelah 10 hari dari pengambilan tes usap positif.
Pemberian vitamin D juga dimasukkan, sementara pada pedoman sebelumnya tidak ada. Selain itu, pilihan Azitromisin juga dihilangkan. Untuk tata laksana pasien dengan derajat berat ataupun kritis, Azitromisin tidak lagi diberikan dan ditambah dengan pemberian anti interleukin 6 (IL6).
Dan disimpulkan Oseltamivir ataupun Azitromisin tidak dapat dimasukkan sebagai SOC (standar perawatan) pada tata laksana Covid-19.
Ivermectin
Agus menyampaikan, penggunaan Ivermectin untuk pasien Covid-19 hanya diberikan dalam rangka uji klinis. Ivermectin di Indonesia terdaftar sebagai obat untuk infeksi kecacingan. Penelitian in vitro yang telah dipublikasikan menunjukkan adanya potensi antiviral. Namun, sebagian besar hasil dari uji klinik masih tidak konsisten terkait manfaat Ivermectin untuk pasien Covid-19.
Di Indonesia, penggunaannya pun masih menunggu hasil uji klinis yang sedang dilakukan di beberapa rumah sakit. ”Hingga kini, WHO juga belum merekomendasikan penggunaan Ivermectin pada pasien Covid-19 kecuali dalam rangka uji klinis,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito dalam siaran pers yang disampaikan pada 2 Juli 2021 menyebutkan, Ivermectin untuk Covid-19 hanya dapat dipergunakan dalam kerangka uji klinik. Uji klinik ini diperlukan untuk memperoleh data yang valid untuk memastikan obat ini signifikan dalam mengobati Covid-19.
Saat ini, uji klinik tengah dilakukan di delapan rumah sakit di Indonesia, di antaranya RSUP Persahabatan, RSUP Sulianti Saroso, RSUP Adam Malik, dan RSUD Soedarso. Penggunaan Ivermectin di luar skema uji klinik hanya dapat dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosis dari dokter.
”Jika dokter bermaksud memberikan Ivermectin kepada pasien, penggunaannya harus sesuai dengan protokol uji klinik yang disetujui,” kata Penny.
Vaksin Pfizer
Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/7/2021), Penny mengatakan, BPOM pada Rabu, 14 Juli 2021 telah menerbitkan izin penggunaan darurat untuk vaksin Comirnaty yang diproduksi oleh Pfizer and BioNTech. Vaksin yang dikembangkan dengan platform mRNA (messenger ribonucleic acid) ini digunakan dengan indikasi pencegahan Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 untuk penduduk usia 12 tahun ke atas.
”Jadi, vaksin ini juga bisa diberikan kepada remaja berusia di atas 12 tahun. Diberikan secara injeksi intramuscular dengan dosis 0,3 mili liter dengan dua kali penyuntikan dalam rentang waktu tiga minggu,” ujarnya.
Berdasarkan data uji klinik fase ketiga, efikasi vaksin Pfizer pada usia 16 tahun ke atas menunjukkan keberhasilan sebesar 95,5 persen dan pada remaja usia 12-15 tahun sebesar 100 persen. Data imunogenisitas untuk pemberian dua dosis vaksin ini dalam selang 3 minggu juga menghasilkan respons imun yang baik. Selain itu, hasil pengkajian secara umum telah membuktikan keamanan vaksin dapat ditoleransi pada semua kelompok usia.
Vaksin dengan platform mRNA ini memiliki spesifikasi penyimpanan khusus dengan menggunakan ultra low temperature, yakni dengan suhu antara minus 90 derajat celsius dan minus 60 derajat celsius.
”Vaksin ini tentu perlu dikawal dalam proses pendistribusiannya. PT Pfizer sebagai produsen telah menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sampai ke titik penyuntikan di Indonesia,” ujar Penny.
Terkait pengadaan vaksin dari Pfizer ini, Kementerian Kesehatan telah sepakat bekerja sama dengan PT Pfizer Indonesia dan BioNTech untuk menyediakan 50 juta dosis vaksin Pfizer yang dinamakam BNT 162b2 sepanjang tahun 2021. Vaksin tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi di Indonesia.