Pada saat bagian selatan Indonesia, seperti Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, menuju puncak musim kemarau, potensi hujan akibat variabilitas semimusiman masih ada di Indonesia, terutama di utara ekuator.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur telah memasuki musim kemarau, hujan lebat yang memicu banjir terjadi di wilayah Indonesia sebelah utara ekuator. Selain banjir yang melanda Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat sejak Rabu (14/7/2021), potensi hujan lebat saat ini berpeluang terjadi di Sulawesi Tengah, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Sebanyak 26 desa di empat kecamatan di Kabupaten Sintang, saat ini masih terdampak banjir yang dipicu oleh hujan berintensitas tinggi. Menurut pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, Jumat (16/7), mengatakan, ketinggian banjir di Sintang ini berkisar 2-3 meter. Sebanyak 13 desa terdampak di Kecamatan Kayan Hulu, demikian halnya di Kecamatan Kayan Hilir juga terdapat 13 desa terdampak.
Untuk kondisi terkini, mengacu laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sintang di kawasan hilir tinggi banjir masih 2 meter, sedangkan di hulu setinggi 1 meter. Dua kecamatan lain yang terdampak banjir, yaitu Kecamatan Serawai dan Dedai.
Dua hari kemarin di wilayah Selat Karimata dan Kalbar, terjadi aktivitas konvektif atmosfer cukup masif karena dipengaruhi oleh aktifnya gelombang atmosfer ekuatorial, yaitu gelombang Rossby dan Kelvin.
Sementara itu, BPBD Kabupaten Kapuas Hulu melaporkan sebanyak 6.165 keluarga atau 14.889 warga di 47 desa telah terdampak banjir. Dari keseluruhan warga yang terdampak, ada 398 keluarga harus mengungsi dengan rincian, 127 keluarga di Desa Nanga Luan, 89 keluarga di Desa Entebi dan 182 keuarga di Desa Bongkong.
Beda zona musim
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, pada saat bagian selatan Indonesia, seperti Jawa hingga Nusa Tenggara Timur menuju puncak musim kemarau, potensi hujan akibat variabilitas semi musiman masih ada di Indonesia. ”Terutama di wilayah dekat ekuator atau bagian utaranya akibat pengaruh dari gelombang tropis ekuator ini,” kata Siswanto.
Menurut Siswanto, hampir seluruh wilayah Kalbar memiliki tipe iklim berpola hujan ekuatorial, yaitu memiliki dua puncak musim hujan. ”Umumnya puncak hujan terdapat pada April dan November. Bulan Juli, secara klimatologis, memang bukan merupakan puncak hujan. Namun, data iklim di Kalbar menunjukkan banyak wilayah yang curah hujan bulanannya cukup tinggi di sepanjang tahun, yaitu di atas 150 mm per bulan,” katanya.
Siswanto menambahkan, dari analisis dinamika atmosfer, dua hari kemarin di wilayah Selat Karimata dan Kalbar, terjadi aktivitas konvektif atmosfer cukup masif karena dipengaruhi oleh aktifnya gelombang atmosfer ekuatorial, yaitu gelombang Rossby dan Kelvin. ”Gelombang tropis ekuatorial ini yang umumnya menjadi faktor nonmusim atau skala semimusiman yang memicu peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, dari analisis sirkulasi angin, juga didapati pusaran di atas wilayah Kalbar sebagai akibat belokan dari angin monsun Australia yang menguat dari arah tenggara. ”Saat ini, kluster awan terpantau sudah bergerak ke tengah di wilayah Kalimatan Timur dan Selat Makassar,” katanya.
Dengan perkembangan ini, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem hingga 18 Juli 2021. Status waspada hujan lebat yang berpeluang menyebabkan banjir atau banjir bandang bisa terjadi di Sulawesi Tengah, Maluku, Papua Barat, dan Papua.