Indonesia Genting, Perkuat Tes dan Lacak Selama PPKM Darurat
Dua hal yang masih kurang dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat adalah tes dan pelacakan kasus. Padahal, dua hal ini bisa membantu menurunkan laju penularan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia saat ini berada di fase genting dan situasi bisa lebih buruk lagi seiring dengan lonjakan kasus dan kematian karena Covid-19 yang juga terjadi di luar Pulau Jawa. Perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat diharapkan diikuti dengan peningkatan tes dan pelacakan kasus guna menurunkan laju penularan, selain penguatan perawatan untuk mengurangi kematian.
”PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) darurat memang harus diperpanjang karena memenuhi target untuk menurunkan kasus,” kata epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan, di Jakarta, Jumat (16/7/2021).
Pergerakan penduduk yang terpantau oleh Facebook Data for Good dan Tim Mahadata UI menunjukkan, mobilitas penduduk di Pulau Jawa masih fluktuatif. Mobilitas penduduk yang turun pada tanggal 3 Juli meningkat lagi sehari setelahnya. Setelah itu, turun kembali di akhir pekan, tetapi meningkat pada hari kerja.
Iwan mengatakan, berdasarkan data tersebut, mobilitas penduduk tertinggi terjadi di Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat, Banten, Yogyakarta, baru Jakarta. Akan tetapi, mobilitas di seluruh Jawa cenderung meningkat kembali setelah tanggal 10 Juli.
Menurut Iwan, pembatasan mobilitas penduduk ini sangat penting karena berdasarkan serosurvei SARS-CoV-2 yang dilakukan FKM-UI, prevalensi penduduk di Jakarta yang pernah terinfeksi virus ini mencapai 45,5 persen pada Maret, tetapi sebagian besar tidak terdeteksi. Jika mobilitas masih tinggi, risiko penularan akan sangat besar.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus baru Covid-19 di Indonesia pada Jumat (16/7/2021) bertambah 54.000 dan kasus aktif bertambah 24.716 sehingga total menjadi 504.915. Adapun korban jiwa bertambah 1.205, yang berarti setiap 1,2 menit terdapat penambahan satu korban jiwa karena Covid-19.
Seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (16/7/2021) malam, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang penerapan PPKM darurat hingga akhir Juli 2021. ”Dalam rapat kabinet terbatas yang saya ikuti waktu saya di Sukoharjo (Jawa Tengah), sudah diputuskan Presiden, PPKM dilanjutkan sampai akhir Juli ini,” kata Muhadjir.
Tak terkendali
Epidemiolog kolaborator ahli LaporCovid-19, Iqbal Elyazar, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengatakan, laju penularan Covid-19 di Indonesia semakin sulit dikendalikan jika terus membesar.
”Tingkat positivity rate kita terlalu tinggi, 30-40 persen, menunjukkan tes yang sangat kurang. Yang dites yang sakit, belum untuk mencari kasus,” ujarnya.
Selain memperketat pembatasan, yang harus dilakukan juga adalah penguatan tes dan lacak. Sebagai perbandingan, saat mencapai puncak kasus, India melakukan 2,5 juta tes per hari sebelum akhirnya berhasil menurunkan kasus. Dengan populasi seperempat India, Indonesia minimal membutuhkan 600.000 tes per hari dan peningkatan pelacakan.
”Jumlah kasus yang dilaporkan hari ini bukan yang sesungguhnya, ini juga terlambat, bisa dua minggu ke belakang karena lamanya waktu pemeriksaan dengan PCR (polimerase rantai ganda),” kata Iqbal.
Menurut Iqbal, estimasi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga penelitian menunjukkan, kasus Covid-19 harian di Indonesia bisa lima hingga 10 kali lebih banyak dari yang ditemukan. Pemodelan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), misalnya, memperlihatkan penambahan kasus Covid-19 di Indonesia sudah di atas 580.000 per hari.
Tingkat positivity rate kita terlalu tinggi, 30- 40 persen, menunjukkan tes yang sangat kurang. Yang dites yang sakit, belum untuk mencari kasus. (Iqbal Elyazar)
Iqbal menambahkan, jika laju penularan ini terus melonjak tinggi dan semakin tak terkendali, semakin banyak pasien yang tidak bisa dirawat di rumah sakit. ”Setelah ketersediaan tempat tidur, pasokan oksigen juga menjadi masalah besar. Krisis oksigen ini sudah dialami India dan Brasil saat alami lonjakan kasus. Kita tidak mempersiapkan dengan baik,” ujarnya.
Iqbal mengingatkan, penambahan fasilitas kesehatan memang dibutuhkan. Akan tetapi, tetap tidak akan bisa menampung jumlah pasien jika laju penularan tidak bisa ditekan. Berdasarkan data Provinsi DKI Jakarta, tingkat keterisian rumah sakit telah mencapai 92 persen untuk ruang rawat dan 95 persen untuk ICU.
Di lapangan, pasien Covid-19 banyak yang ditolak masuk rumah sakit dan harus antre di IGD untuk bisa masuk ruang perawatan atau ICU sampai ada yang sembuh atau meninggal. Hal ini karena tidak semua tempat tidur rumah sakit yang tersisa bisa dikonversi menjadi tempat perawatan Covid-19. Bahkan, jika semua jadi tempat perawatan Covid-19 pun, tetap tidak cukup.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, saat ini setidaknya ada 3.400 orang sakit yang tidak tertampung di rumah sakit di Jakarta. Sebanyak 1.900 di antaranya tertahan di IGD menunggu kamar dan 1.400 antre masuk ke IGD. Pasien yang menunggu antre ini berada di selasar RS, puskesmas, hingga di rumah.
Kondisi tersebut menyebabkan kematian pasien di luar fasilitas kesehatan meningkat. Data LaporCovid-19 per Jumat (16/7/2021) menyebutkan, sudah ada 625 pasien isolasi mandiri meninggal. Laporan terbanyak berasal dari Jawa Barat, disusul Yogyakarta, Jateng, Banten, Jatim, dan Jakarta. Ini berarti situasi fasilitas kesehatan daerah lain di Jawa bisa jadi lebih parah atau setidaknya separah Jakarta.
”Belum lagi kita menghadapi tingkat kematian tenaga kesehatan sangat tinggi di bulan Juni dan Juli ini,” ujarnya.
Berdasarkan data LaporCovid-19, terdapat 194 tenaga kesehatan yang meninggal selama 16 hari pertama di bulan Juli. Jumlah ini sudah jauh di atas rekor kematian tenaga kesehatan sepanjang Januari, yaitu 160 orang.
Situasi luar Jawa
Iqbal juga mengingatkan, saat ini lonjakan kasus mulai terjadi di luar Jawa. ”Kita sudah melihat gelombang varian Delta ini di Kalimantan dan Papua. Rumah sakit di Jayapura dan Timika sudah penuh dan kesulitan oksigen,” ujarnya.
Lonjakan kasus di luar Jawa ini akan sangat sulit diatasi karena keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan. Sementara mobilitas sumber daya akan sulit dilakukan karena situasi di Jawa juga memprihatinkan.
Berdasarkan laporan WHO pada Rabu (14/7/2021), dalam sepekan terakhir, secara rata-rata nasional telah terjadi peningkatan kasus 44 persen dan peningkatan kematian 69 persen. Sebanyak 15 provinsi mengalami peningkatan 50 persen atau lebih.
Bahkan, ada lima provinsi dengan peningkatan lebih dari 100 persen, yaitu Nusa Tenggara Barat (200 persen), Gorontalo (194 persen), Maluku (169 persen), Sulawesi Utara (139 persen), dan Kalimantan Utara (107 persen).