Revisi UU Penanggulangan Bencana yang telah berumur 14 tahun masih belum kunjung dilakukan. Ini karena perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR, khususnya terkait kelembagaan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini Revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana masih belum dapat disahkan karena adanya perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah dalam aspek kelembagaan. DPR secara tegas ingin mengatur keberadaan kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sebaliknya, pemerintah tidak mau menyebutkan lembaga tersebut secara eksplisit dalam revisi undang-undang.
Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Bencana Ace Hasan Syadzily mengatakan, RUU ini menjadi sebuah perwujudan komitmen dan kesungguhan DPR dalam melakukan penataan serta perbaikan manajemen penanggulangan bencana di Indonesia. Hal ini diharapkan membuat pemangku kepentingan dapat bekerja secara efektif dan efisien.
Menurut Ace, implementasi UU Penanggulangan Bencana sebenarnya telah menunjukkan banyak kemajuan dan capaian. Capaian itu antara lain terbitnya berbagai kebijakan dan kelembagaan penanggulangan bencana serta meningkatnya pemahaman risiko dan sistem peringatan dini. Kesiapsiagaan terhadap bencana juga dipandang telah terbangun.
Fleksibilitas ketentuan yang tertuang dalam RUU Penanggulangan Bencana akan memberikan keleluasaan bagi Presiden untuk melakukan pembenahan dan penataan organisasi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
”Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu dan kompleksitas penanganan bencana, setelah dievaluasi memang diperlukan adanya kebijakan baru sehingga dapat melaksanakan manajemen kelembagaan yang lebih terarah dan terpadu,” ujarnya dalam dialog nasional kebencanaan yang diselenggarakan secara daring, Kamis (15/7/2021).
Meski demikian, Ace mengakui, sampai saat ini DPR dan pemerintah masih berbeda pendapat terkait beberapa materi yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM), khususnya pada aspek kelembagaan. DPR secara tegas ingin mengatur keberadaan kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sebaliknya, kata Ace, pemerintah tidak mau menyebutkan secara eksplisit tentang BNPB dan hanya ingin menuangkan kata badan untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana. Dalam DIM, pemerintah beralasan untuk memberikan fleksibiltas pengaturan sehingga memudahkan dalam melakukan perubahan sesuai kondisi dan perkembangan.
”RUU Penanggulangan Bencana sudah selesai jika DPR dan pemerintah menemukan kesepakatan soal kelembagaan ini. DPR tegas menginginkan penyebutan ini karena BNPB berfungsi tidak hanya sekadar saat darurat bencana, tetapi juga diarahkan pada mitigasi,” katanya.
Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan mengatakan, adanya fleksibilitas ketentuan yang tertuang dalam RUU Penanggulangan Bencana akan memberikan keleluasaan bagi Presiden untuk melakukan pembenahan dan penataan organisasi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Abetnego menegaskan, perubahan nomenklatur harus melakukan penyesuaian dalam revisi undang-undang dan hal ini bisa memperpanjang proses penerbitan aturan turunannya. Disebutkannya nama lembaga BNPB atau tidak dalam RUU juga dianggap tidak menjadi sesuatu yang esensial bagi pemerintah.
”Yang menjadi esensial adalah bagaimana dalam RUU tersebut dijelaskan dengan baik tugas dan fungsi serta tanggung jawab kelembagaan yang mengurusi kebencanaan. Artinya, dengan adanya UU ini, bisa dipastikan ada badan atau lembaga yang mengurusi kebencanaan. Ketiadaan penyebutan langsung bukan berarti menghapus kelembagaannya,” tuturnya.
Materi pokok
Ace menjelaskan, terdapat materi pokok dan krusial dalam RUU Penanggulangan Bencana. Pertama, terkait dengan aspek kelembagaan, RUU ini memberikan penguatan kepada BNPB untuk membentuk satuan kerja (satker) di daerah. Tujuan pembentukan satker ini adalah mempercepat penanggulangan bencana dan memangkas alur birokrasi.
Materi kedua terkait dengan aspek anggaran atau pengalokasian dana untuk penanggulangan bencana. RUU ini mengamanatkan alokasi anggaran penanggulangan bencana oleh pemerintah pusat sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta APBD. Sementara dalam aturan sebelumnya hanya dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana secara memadai.
Menurut Ace, aturan ini dirumuskan mengingat kerawanan bencana yang sering terjadi dan membutuhkan anggaran besar. Pengaturan ini juga dimaksudkan sebagai pengeluaran negara yang diatur UU (mandatory spending) untuk mendorong pemda agar tidak selalu bergantung pada pemerintah pusat.
Materi krusial ketiga dalam RUU ini berkaitan dengan aspek tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. RUU ini menetapkan tahapan penanggulangan bencana terdiri dari prabencana, darurat bencana, dan pascabencana. Dalam aspek ini, RUU juga menguatkan BNPB baik dalam fungsi koordinasi, komando, maupun pelaksana.
Materi keempat terkait dengan aspek kebijakan. RUU ini akan memaksa pelaksana proyek besar dan strategis dari pemerintah yang berpotensi menimbulkan bencana untuk melengkapi dokumen analisis risiko bencana. Ini bertujuan agar pemerintah dapat mengontrol langkah mitigasi bencana ke depan.
Sementara materi terakhir, RUU ini akan menambahkan beberapa jenis bencana baik alam maupun non-alam. Pada jenis jenis bencana alam ditambahkan likuefaksi, gerakan tanah, rob, iklim ekstrem, cuaca ekstrem, gelombang laut berbahaya, abrasi, dan benda angkasa. Sementara jenis bencana non-alam meliputi pandemi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebakaran kawasan permukiman, hama, dan kecelakaan transportasi.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati memandang, semua pembangunan fisik dan infrastruktur di Indonesia tampak sia-sia karena kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya antisipasi dan mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah. Ia pun menyoroti masih lemahnya perlindungan terhadap korban akibat bencana ekologis dan industri akibat pembangunan tersebut.
Selain itu, dalam situasi kebencanaan seperti pandemi saat ini, pemerintah perlu memperjelas rantai komando yang akan memimpin upaya tanggap darurat. ”Ketidakjelasan institusi akan menyulitkan koordinasi. Kejelasan mengenai badan yang menanggulangi bencana menjadi sesuatu yang penting,” ucapnya.
Nur Hidayati menambahkan, peran militer perlu dibatasi dalam upaya penanggulangan bencana dan supremasi sipil harus tetap dikedepankan. Peran militer bisa dibatasi, seperti hanya terlibat saat tanggap darurat atau dalam fase yang membutuhkan mobilisasi untuk respons cepat. Namun, dalam upaya mitigasi secara berkelanjutan harus ada batasan yang jelas antara pihak militer dan sipil.