Perkuat Penanganan Pasien Isolasi Mandiri lewat Puskesmas
Puskesmas merupakan layanan kesehatan terdepan bagi masyarakat yang sangat penting diperkuat dalam menangani pasien isolasi mandiri.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puskesmas menjadi ujung tombak dalam penanganan Covid-19, baik terkait pemeriksaan, pelacakan, vaksinasi, maupun penanganan, terutama pada pasien isolasi mandiri. Karena itu, dukungan penuh diperlukan untuk memperkuat kapasitas puskesmas di setiap daerah.
Penasihat Senior Urusan Jender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekaligus Pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah S Saminarsih, di Jakarta, Senin (12/7/2021), menyampaikan, puskesmas punya peran penting untuk menekan angka kematian pada pasien isolasi mandiri. Dari analisis yang dilakukan CISDI, kematian pada pasien isolasi mandiri terjadi karena, antara lain, terlambat ditemukan karena pemeriksaan tidak cepat akibat alat tes yang habis di puskesmas.
Penyebab lainnya, tidak mendapatkan pertolongan karena rumah sakit penuh, datang ke fasilitas kesehatan ketika kondisi sudah buruk, serta ketidakmampuan puskesmas dalam memberikan pertolongan. Keterbatasan ini seperti tidak adanya sumber daya manusia, tempat perawatan, serta perlengkapan pendukung, seperti tabung oksigen.
”Komitmen pemerintah bahwa menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak penanganan pandemi itu sudah tepat. Namun dengan kondisi sekarang dengan adanya varian baru juga pasien isoman yang meningkat serta BOR yang naik, puskesmas harus diperkuat,” kata Diah.
Merujuk pada program Puskesmas Terpadu dan Juara (Puspa) yang diinisiasi CISDI bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Diah mengatakan, sejumlah cara bisa dilakukan untuk memperkuat kapasitas puskesmas di setiap daerah. Hal pertama yang perlu dipastikan adalah perbaikan pada pendataan dan pelaporan. Pendataan ini seperti data orang yang sudah diperiksa, data kasus isolasi mandiri, serta data kematian.
Selain itu, pengadaan tempat isolasi terpusat berbasis wilayah juga diperlukan. Itu karena rendahnya kelayakan rumah tinggal untuk melakukan isolasi mandiri serta banyak rumah tangga yang tinggal bersama dengan kelompok rentan.
”Kebutuhan shelter (tempat sementara) saat ini sangat urgent. Adanya shelter ini juga penting untuk memudahkan petugas puskesmas memonitor pasien isolasi mandiri. Dengan keterbatasan saat ini akan sangat sulit jika harus mendatangi satu per satu rumah pasien,” kata Diah.
Tidak jarang, pasien yang meninggal ini tidak mau dibawa ke rumah sakit karena merasa hanya sakit biasa.
Ia menambahkan, pelibatan mahasiswa dan kader pun bisa diperluas sebagai relawan di puskesmas. Relawan dari mahasiswa dapat berperan sebagai tenaga pencatatan kontak erat, edukator, pemantauan konsultasi, serta tele-edukasi. Sementar kader bisa berperan untuk membantu pencatatan detil dari laporan kasus serta memantau pasien isolasi.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menuturkan, mayoritas kasus aktif yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Jawa Barat merupakan pasien isolasi mandiri. Dari 89.000 kasus, ada sekitar 70.000 kasus yang menjalani isolasi mandiri dengan 60.000 kasus dirawat di rumah pribadi dan 10.000 kasus di tempat isolasi terpusat.
Karena itu, pemantauan pada pasien isolasi mandiri menjadi penting. Berbagai inovasi pun telah dilakukan, antara lain dengan menyediakan layanan telekonsultasi serta pengiriman obat gratis. Selain itu, Pemerintah Jawa Barat juga telah bekerja sama dengan 10 perusahaan farmasi untuk menjamin ketersediaan obat dengan harga yang terjangkau.
”Dalam pengendalian pandemi ini kita tetap berpegang dengan lima prinsip, yakni selalu proaktif, transparan, saintifik, inovatif, dan kolaboratif,” ujar Ridwan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan LaporCovid-19 per 12 Juli 2021 setidaknya ada 451 kematian pada pasien isolasi mandiri. Jumlah itu tersebar di 62 kabupaten/kota di 12 provinsi. Adapun jumlah kasus terbanyak dilaporkan di Provinsi Jawa Barat, yaitu 160 kasus.
Co-inisiator LaporCovid-19, yang juga wartawan harian Kompas, Ahmad Arif, menyampaikan, jumlah data yang dilaporkan tersebut merupakan fenomena gunung es karena tidak semua kasus kematian pada pasien isolasi mandiri tidak diberitakan dan dilaporkan. Meski begitu, kewaspadaan tetap perlu ditingkatkan karena dari data yang terkumpul, kasus kematian yang dilaporkan sudah tersebar sampai di luar Pulau Jawa.
”Laporan mengenai kematian isoman sudah mulai terjadi di luar Jawa, seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Ini jadi satu indikasi bahwa penyebarannya sudah melintas di luar Jawa sehingga harus menjadi perhatian bersama,” katanya.
Arif mengatakan, sebagian pasien isoman yang meninggal karena terlambat diperiksa dan baru dikonfirmasi positif setelah meninggal. Tidak jarang, pasien yang meninggal ini tidak mau dibawa ke rumah sakit karena merasa hanya sakit biasa. Namun, ada juga pasien isoman yang baru ditemukan setelah meninggal.
Kondisi ini semakin memperkuat bahwa pendataan, pemantauan, dan dukungan bagi pasien isolasi mandiri sangat diperlukan. Dukungan ini tidak hanya terkait medis, tetapi juga dukungan sosial serta ekonomi.
”Keterlibatan pemerintah hingga level terkecil, seperti aparat desa, juga krusial. Dari beberapa laporan di fasilitas primer menyebutkan keterlibatan dari aparat desa amat minim. Ini terutama dalam hal edukasi masyarakat,” ucapnya.