Ketahanan Psikis Masyarakat di Masa Pandemi Cenderung Rendah
Resiliensi yang tinggi pada masyarakat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tekanan dan ketidakpastian yang terjadi selama masa pandemi Covid-19. Namun, tingkat resiliensi dari sebagian besar masyarakat justru rendah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memberikan banyak tekanan dan ketidakpastian bagi masyarakat. Karena itu, resiliensi atau ketahanan psikis yang tinggi amat diperlukan oleh setiap orang.
Namun, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terkait resiliensi orang Indonesia yang dilakukan pada 26 Mei-2 Juni 2021 menunjukkan, tingkat resiliensi orang Indonesia cenderung rendah. Riset yang dilakukan secara daring dengan melibatkan 5.817 partisipan tersebut memperlihatkan daya tahan psikis dari sebagian besar responden turun dengan cepat setelah mengalami peristiwa emosional yang signifikan. Sebagian besar responden juga tidak tahan akan stres ataupun sakit.
Peneliti utama dalam riset itu yang juga Ketua Laboratorium Cognition, Affect, and Well-Being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Bagus Takwin mengatakan, responden yang diteliti kebanyakan sulit membuat strategi untuk kembali ke keadaan normal setelah mengalami situasi sulit dan terpukul. Tidak sedikit yang pesimistis dalam memandang masa depan. Kondisi itu menggambarkan tingkat resiliensi masyarakat cenderung rendah.
”Padahal, sekarang yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menghadapi dan bertahan pada situasi pandemi ini. Pandemi memberikan tekanan baru dan tak terduga. Masyarakat diharapkan pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Untuk itu, kita butuh resiliensi yang tinggi,” katanya dalam acara rangkaian webinar Dies Natalis Ke-61 Fakultas Psikologi UI yang diikuti dari Jakarta, Sabtu (10/7/2021).
Padahal, sekarang yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menghadapi dan bertahan pada situasi pandemi ini. Pandemi memberikan tekanan baru dan tak terduga. Masyarakat dihadapkan pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Untuk itu, kita butuh resiliensi yang tinggi. (Bagus Takwin)
Resiliensi merupakan kapasitas psikologis individu untuk bangkit kembali dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, ataupun kegagalan. Resiliensi ini pula menunjukkan kualitas personal yang bisa menyebabkan seseorang tumbuh dan berkembang meski berada di tengah situasi yang sulit. Dengan adanya kemampuan tersebut, seseorang akan lebih mudah menjaga keseimbangan dan menjaga diri dari masalah kesehatan mental.
Bagus menuturkan, tingkat resiliensi yang rendah ini ditemukan di berbagai generasi pada kelompok usia, mulai dari generasi Z usia 16-24 tahun, generasi milenial usia 25-40 tahun, generasi X usia 41-56 tahun, generasi baby boomer usia 57-75, sampai generasi silent usia 76 tahun ke atas. Sebagian besar responden menyampaikan, kondisi resiliensi yang terbangun paling banyak dipengaruhi oleh tingkat kepuasan terhadap diri sendiri. Kemudian, baru dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pada kehidupan sosial, pertemanan, rumah atau tempat tinggal, harta benda yang dimiliki, kesehatan, dan kehidupan spiritual.
Apabila berbagai faktor tersebut tidak dapat tercapai, itu menyebabkan tingkat resiliensi seseorang menjadi rendah. Banyaknya keterbatasan yang dialami selama masa pandemi menyebabkan muncul kerentanan pada resiliensi seseorang.
Biasanya, kata Bagus, resiliensi yang rendah ini mengakibatkan gangguan depresi yang kian berat, meningkatnya emosi negatif, emosi positif yang menurun, kesehatan mental yang terganggu, stres dan gangguan fisik yang meningkat, serta kepuasan hidup dan kebahagiaan yang menurun.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang juga Tim Pakar Bidang Perubahan Perilaku Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Turro S Wongkaren menyebutkan, hasil penelitian tersebut memang menunjukkan kemampuan masyarakat untuk menghadapi persoalan atau yang ia sebut sebagai daya lenting cukup rendah.
Sementara itu, kemungkinan terkait daya lentur masyarakat untuk menghadapi persoalan justru bisa tinggi. Itu karena pengaruh latar belakang budaya dan agama yang cenderung membuat masyarakat lebih mudah pasrah pada keadaan.
”Masyarakat biasanya lebih mudah nerimo jika menghadapi suatu masalah. Terkadang juga melihat situasi sebagai cobaan dari Tuhan. Ini juga yang membuat masyarakat sulit untuk berubah,” kata Turro.
Tanda bahaya
Menurut Bagus, sejumlah tanda bahaya perlu diperhatikan pada orang yang memiliki resiliensi yang rendah. Tanda bahaya itu pula yang tergambar dari sebagian besar responden yang diteliti. Sebanyak 96,2 persen responden mengaku sulit berkonsentrasi, 92,6 persen juga mengaku sulit menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Tidak hanya itu, banyak pula yang mengatakan mulai kehilangan peran di lingkungannya, tidak merasa puas dan bahagia atas yang dimiliki, serta sulit mengambil keputusan. Selain itu, tanda bahaya lain yang juga perlu diwaspadai yakni kesulitan memperoleh emosi positif, seperti rasa senang, bangga, kagum, dan semangat, tidak mampu merasakan perbedaan emosi di setiap kondisi, serta kehilangan hubungan dan dukungan sosial karena hambatan ruang dan jarak.
Jika sudah ada tanda bahaya yang dialami, orang perlu segera mengambil tindakan, salah satunya dengan melakukan kegiatan fisik, seperti olahraga. Selain itu bisa juga melakukan aktivitas merajut untuk mengurangi stres. Dukungan antarteman untuk saling menguatkan pun amat diperlukan.
”Resiliensi tidak hanya berperan pada konteks pandemi, tetapi juga bisa berperan pada berbagai konteks. Pemaknaan dan pengalaman yang membangkitkan emosi positif perlu ditingkatkan agar resiliensi pun meningkat. Ini penting agar kita dapat menghadapi segala tantangan dengan cara yang positif,” kata Bagus.
Pengajar dan peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Retno Pudjiati, menambahkan, resiliensi seseorang terbentuk secara dinamis dan multisistem. Jika secara individu seseorang memiliki resiliensi yang rendah, bisa saja tingkat resiliensinya meningkat ketika berada di tengah kelompok di dalam keluarga.
Ia berpendapat, resiliensi ini bisa dikembangkan dengan cara mengenal karakteristik dan kekuatan diri sendiri. Seseorang juga harus tahu apa yang dimiliki, seperti kekuatan eksternal atau hubungan jejaring yang dimiliki. Dengan begitu, ia pun dapat meningkatkan resiliensinya serta meningkatkan kapasitasnya dalam menghadapi suatu kondisi.