Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Masih Berjalan
Pandemi Covid-19 jangan sampai membuat upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan mengendur. Kemarau yang segera tiba di sejumlah daerah rawan karhutla perlu diantisipasi sedini mungkin.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Musim kemarau yang akan tiba di sejumlah daerah rawan kebakaran hutan dan lahan agar terus diperhatikan. Di tengah upaya pengendalian pandemi Covid-19, antisipasi kebakaran agar terus berjalan.
Sejumlah antisipasi yang dilakukan itu di antaranya melangsungkan hujan buatan (teknologi modifikasi cuaca) hingga sosialiasasi di tingkat tapak. Keberpihakan politik di daerah pun perlu ditingkatkan.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo menyatakan, tren kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini belum banyak yang bisa dilaporkan karena baru memasuki tahapan peralihan cuaca. Kondisi lapangan juga belum bisa dipastikan karena tingkat kekeringan bahan-bahan yang mudah terbakar (fine fuel moisture code/FFMC) masih labil dan terus berubah.
Korporasi juga perlu melakukan audit kepatuhan pengendalian karhutla untuk mendapatkan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Dari tinjauan langsung Bambang ke sejumlah lokasi selama dua bulan terakhir, ia memang melihat belum tampak ada kejadian karhutla besar seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, hal ini juga ditunjang oleh kondisi cuaca yang kondusif karena sering terjadi hujan.
Menurut Bambang, secara umum memang terjadi perbaikan dalam mengantisipasi ancaman bahaya karhutla meski tidak merata di semua daerah. Beberapa daerah telah menyiapkan pra-kondisi menghadapi ancaman bahaya karhutla. Sementara sebagian daerah lainnya masih menunggu saat yang tepat dalam mencegah dan menangani karhutla.
”Hal ini terjadi karena tidak semua daerah menyediakan anggaran yang memadai untuk mengantisipasi terjadinya karhutla di samping memang tidak tersedia dananya. Kemudian sebagian lainnya menyatakan bahwa karhutla bukan merupakan prioritas daerahnya meski kebakaran itu terjadi setiap tahun,” ujarnya.
Ia mengakui bahwa anggaran menjadi kendala klasik penanganan karhutla di setiap daerah. Beberapa daerah sudah mengajukan permohonan dewan untuk mendapatkan dana pengendalian karhutla. Namun, tidak semua daerah mendapatkan persetujuan tersebut.
Guna mengantisipasi karhutla di setiap daerah, Bambang berharap agar Manggala Agni mendapatkan prioritas untuk menambah jumlah peralatan dan kualitasnya serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Sementara untuk korporasi juga perlu melakukan audit kepatuhan pengendalian karhutla untuk mendapatkan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Terkait dengan strategi menghadapi musim kemarau tahun ini, kata Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna Safitri, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) terus mengadakan program pelatihan sekolah lapang pertanian tanpa bakar kepada para petani. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman petani yang ada di kawasan gambut untuk melakukan aktivitas pertanian tanpa harus membakar lahan.
Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) lainnya juga telah dilakukan BRGM di sejumlah daerah. Di Riau pada Maret lalu, BRGM melakukan operasi pembasahan gambut rawan kekeringan (OPGRK) dan operasi pembasahan cepat lahan gambut terbakar (OPCLGT).
Sementara pada bulan Juni, BRGM telah memberikan pelatihan kepada petugas pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur pembasahan gambut (IPG) di Jambi dan perbaikan sekat kanal kayu dengan kanvas beton di Kalimantan Barat. Hingga 2020, BRGM telah membangun 15.594 sumur bor, 7.136 sekat kanal, dan 431 titik penimbunan kanal.
Di sisi lain, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca kembali menerapkan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau hujan buatan guna menekan potensi kejadian bencana karhutla di Provinsi Riau sejak 3 Juli 2021, hingga 15 hari kegiatan.
Restorasi mangrove
Terkait rehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak, BRGM sampai saat ini telah merestorasi seluas hampir 9.000 hektar di sembilan provinsi prioritas. Rehabilitasi dilakukan secara padat karya sekaligus untuk menguatkan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Total luas mangrove yang telah direhabilitasi BRGM di sembilan provinsi prioritas hingga 1 Juli 2021 yakni 8.998 hektar. Rehabiltasi terluas tercatat di Riau dengan 3.955 ha, disusul Bangka Belitung 1.868 ha, Sumatera Utara 1.837 ha, Kepulauan Riau 989 ha, Papua Barat 238 ha, Papua 100 ha, dan Kalimantan Timur 11 ha. Adapun dua provinsi lainnya, yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara, tercatat belum mulai dilakukan rehabilitasi.
Myrna menyampaikan, penanaman mangrove dilakukan bertahap sepanjang tahun dan pelaksanaannya bergantung pada ketersediaan bibit atau propagul. Penanaman mangrove di lokasi target intervensi yang telah ditetapkan akan melibatkan lebih dari 200.000 orang.
”Rehabilitasi juga dilakukan dengan metode pendekatan padat karya sebagai upaya untuk menguatkan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional. Realisasi tenaga kerja yang terlibat dalam rehabilitasi mangrove sampai 1 Juli sebanyak 170.962 orang,” ujarnya di Jakarta, Jumat (9/7/2021).
BRGM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan seluas 83.000 ha mangrove dapat direhabilitasi tahun ini. BRGM melaksanakan rehabilitasi seluas 43.000 ha dan 40.000 ha di 23 provinsi lainnya dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis KLHK yakni Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di setiap provinsi.
Sementara dalam merestorasi gambut, BRGM tetap menerapkan pendekatan 3R, yakni pembasahan (rewetting), penanaman kembali (revegetation), dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (revitalization). Pendekatan ini diharapkan mampu mendukung target restorasi 1,2 juta ha lahan gambut di tujuh provinsi prioritas hingga 2024.