Pembebasan Warga Kenanga Momentum Penegakan Anti-SLAPP
Warga Kenanga di Bangka Belitung sempat ditahan sebagai buntut mempersoalkan bau busuk limbah pabrik tapioka di sekitar permukiman mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan enam warga Kelurahan Kenanga, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, dari jerat hukum menandai kemenangan pertama masyarakat melawan tindakan pembalasan di ranah pidana. Ini juga dapat menjadi harapan baru bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait implementasi aturan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP.
Anggota tim penasihat hukum warga Kenanga, Muhnur Satyahaprabu, menyampaikan, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat digunakan untuk mencegah dan menangani tindakan pembalasan kepada orang atau kelompok yang memperjuangkan lingkungan hidup (anti-SLAPP).
Dalam Pasal 66, kelompok masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Pasal ini juga digunakan dalam perkara yang menimpa enam warga Kenanga yang memperjuangkan lingkungan bersih dan sehat.
Tindakan SLAPP seharusnya digugurkan sedini mungkin sejak penyidikan karena bertentangan dengan konstitusi dan Pasal 66. (Raynaldo Sembiring)
”Ketentuan anti-SLAPP menjadi hal baru di daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengacara dan lembaga lingkungan di daerah agar perlu lebih memahami ketentuan ini,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (6/7/2021).
Muhnur mengatakan, eksepsi soal anti-SLAPP awalnya tidak dipertimbangkan dengan serius oleh hakim. Ini karena hakim belum memahami seluruh ruang lingkup kegiatan dari pejuang lingkungan. Di sisi lain, eksepsi anti-SLAPP juga tidak cukup kuat digunakan tanpa adanya pembuktian.
”Pembelajaran dari proses hukum warga Kenanga ini adalah masih rawannya kriminalisasi pejuang lingkungan di daerah dan tidak ada proteksi yang maksimal. Akses antar-penegakan hukum dari penyidikan hingga penuntutan juga sangat kuat sehingga membuat melemahkan kontrol masyarakat dan memperkuat penyalahgunaan wewenang,” ucapnya
Sebelumnya pada pertengahan Mei lalu, Pengadilan Tinggi (PT) Bangka Belitung memutuskan untuk membebaskan enam warga Kenanga dari segala tuntuan dan memulihkan seluruh haknya. Putusan pengadilan ini mempertimbangkan asas anti-SLAPP yang tertuang dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Enam warga tersebut sempat mendapat perkara hukum setelah mempersoalkan bau busuk dan mencemari lingkungan dari aktivitas pabrik tepung tapioka yang terletak tidak jauh dari permukiman warga. Mereka sempat divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sungailiat dan ditahan selama 22 hari dan akhirnya dibebaskan melalui putusan PT Bangka Belitung.
Heti Rukmana, salah satu warga Kelurahan Kenanga, mengatakan, pendirian pabrik tepung tapioka tidak pernah melibatkan masyarakat dan menyosialisasikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pada 2017, bau busuk dari aktivitas pabrik sudah mulai tercium warga dan puncak konflik terjadi pada Desember 2019.
Setelah itu, enam warga berstatus mantan ketua RT termasuk Heti memutuskan untuk melakukan gugatan kelompok (class action) kepada pabrik tersebut karena tidak kunjung mendapat jawaban dan penyelesaian meski sudah ada mediasi hingga aksi. Namun, enam warga tersebut dilaporkan dan dijerat Pasal 228 KUHP terkait penyalahgunaan kewenangan dan pemalsuan. Laporan dilakukan bukan oleh perusahaan, melainkan warga Kenanga lainnya.
Momentum perbaikan
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring mengatakan, putusan PT Bangka Belitung mempertimbangkan dengan baik bahwa Pasal 66 UU Lingkungan Hidup memiliki kaitan erat dengan Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945. Pasal itu mengatur tentang hak masyarakat untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.
”Seharusnya kita bisa menjadikan putusan ini sebagai momentum untuk mengatur kebijakan yang lebih baik terkait dengan anti-SLAPP. Tindakan SLAPP seharusnya digugurkan sedini mungkin sejak penyidikan karena bertentangan dengan konstitusi dan Pasal 66 (UU Lingkungan Hidup),” katanya.
Selain itu, putusan ini juga menjadi momentum bagi para penyidik untuk meningkatkan koordinasi penegak hukum terpadu. Ketentuan tersebut telah tertuang dalam Pasal 95 UU Lingkungan Hidup, di mana institusi lingkungan dapat berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian.