Isi Mantel Bumi Bantu Jelaskan Letusan Gunung Berapi di Indonesia
Setiap lingkungan geologi memiliki komposisi magma yang sangat bervariasi. Komposisi magma juga berpengaruh pada jenis letusan gunung berapi. Magma bereaksi secara kimia dengan batuan sekitarnya saat menembus kerak bumi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Sebagai negara yang masuk dalam kawasan cincin api pasifik, Indonesia memiliki puluhan gunung api aktif yang bisa meletus setiap saat. Mengetahui penyusunan mantel bumi dan perubahan magma dapat menjelaskan proses letusan gunung berapi.
Para peneliti dari Uppsala University, Swedia, sekarang lebih memahami bagaimana mantel bumi tersusun di wilayah tertentu dan perubahan magma sebelum letusan. Hal ini diketahui dengan melakukan analisis kimia mineral kecil di lava dari Bali dan Jawa. Laporan studi ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications, 24 Juni 2021.
Frances Deegan, penulis pertama studi tersebut dan peneliti di Departemen Ilmu Bumi Uppsala University, mengemukakan, magma yang merupakan salah satu komponen dari letusan gunung api terbentuk di mantel bumi. Namun, sampai saat ini belum banyak pengetahuan tentang komposisi mantel di bawah permukaan daratan Indonesia.
Komposisi oksigen mineral piroksen dari Bali hampir tidak terpengaruh sama sekali selama melintasi kerak bumi.
”Memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang mantel bumi di wilayah ini memungkinkan kami untuk membuat permodelan. Permodelan ini terkait perubahan kimia dalam magma ketika menembus kerak setebal 20 hingga 30 kilometer sebelum letusan terjadi,” ujarnya dikutip dari laman resmi Uppsala University, Rabu (7/7/2021).
Menurut Frances, setiap lingkungan geologi memiliki komposisi magma yang sangat bervariasi. Komposisi magma juga berpengaruh terhadap jenis letusan gunung berapi. Magma bereaksi secara kimia dengan batuan sekitarnya ketika menembus kerak bumi sebelum pecah di permukaan.
Pada kasus di Indonesia, setiap kepulauan terbentuk dari proses vulkanisme yang disebabkan oleh dua lempeng tektonik benua Bumi yang bertabrakan. Dalam tumbukan ini, lempeng Indo-Australia meluncur di bawah lempeng Eurasia dengan kecepatan sekitar 7 sentimeter per tahun. Proses tersebut dikenal sebagai subduksi dan dapat menyebabkan gempa bumi dengan getaran yang kuat.
Vulkanisme juga muncul di zona subduksi. Ketika lempeng tektonik yang tenggelam turun ke dalam mantel, magma akan mulai memanas dan melepaskan kandungan air hingga menyebabkan batuan di sekitarnya mulai mencair. Proses ini meningkatkan intensitas letusan gunung berapi dan seiring waktu akan menciptakan gugusan pulau berbentuk busur.
Beberapa letusan gunung berapi dahsyat juga telah terjadi sepanjang Busur Sunda yang terdiri atas kepulauan selatan Indonesia, di antaranya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, Gunung Tambora pada 1815, dan Toba yang pernah mengalami letusan supermasif sekitar 72.000 tahun lalu.
”Indonesia berpenduduk padat. Segala sesuatu yang memberi kita pemahaman tentang bagaimana gunung berapi ini bekerja akan sangat berharga. Ini juga dapat membantu kita untuk lebih siap ketika gunung berapi meletus,” ungkap Frances.
Komposisi magma
Untuk lebih memahami asal usul vulkanisme di Indonesia, para peneliti mengidentifikasi dan menganalisis komposisi magma primer yang berasal dari mantel bumi. Karena sampel tidak dapat diambil langsung dari mantel, para ahli geologi mempelajari mineral dalam lava yang baru saja dikeluarkan dari empat gunung berapi, yakni Merapi dan Kelud di Jawa serta Agung dan Batur di Bali.
Para peneliti kemudian memeriksa kristal piroksen atau kelompok mineral inosilikat yang banyak ditemukan pada batuan beku dan batuan metamorf. Dalam memeriksa kristal itu, peneliti menggunakan berkas ion kuat dari instrumen spektrometri massa ion sekunder (SIMS) untuk menentukan rasio isotop oksigen dan mengungkap sumber serta evolusi magma.
”Lava terdiri dari sekitar 50 persen oksigen. Kerak dan mantel bumi sangat berbeda dalam komposisi isotop oksigennya. Jadi, isotop oksigen sangat berguna untuk melacak berapa banyak materi yang telah diasimilasi oleh magma dari kerak setelah meninggalkan mantel,” kata Frances.
Para peneliti menemukan bahwa komposisi oksigen mineral piroksen dari Bali hampir tidak terpengaruh sama sekali selama melintasi kerak bumi. Komposisi masih cukup dekat dengan keadaan aslinya dan menunjukkan bahwa sedimen minimum telah ditarik ke dalam mantel selama subduksi. Pola yang sama sekali berbeda ditemukan pada mineral dari Jawa.
Profesor dari Departemen Ilmu Bumi Uppsala University Valentin Troll menambahkan, peneliti melihat bahwa Gunung Merapi di Jawa menunjukkan tanda isotop yang sangat berbeda dengan gunung berapi di Bali. Hal ini karena magma Merapi berinteraksi secara intensif dengan kerak bumi sebelum meletus. Interaksi ini juga yang membuat letusannya menjadi lebih eksplosif.
”Mungkin itu sebabnya Merapi sangat berbahaya. Merapi sebenarnya salah satu gunung berapi paling mematikan di Indonesia karena telah menewaskan hampir 2.000 orang dalam 100 tahun terakhir dan letusan terbaru merenggut 400 nyawa,” ucapnya.