Mewaspadai Alat Oksigen Buatan Berbahan Aerator Akuarium
Hasil penelitian menunjukkan, alat bantu pernapasan berbahan aerator tidak bisa menghasilkan oksigen sebagaimana terkandung dalam tabung oksigen.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Meningkatnya kasus Covid-19 dan menipisnya stok tabung oksigen mendorong masyarakat berinovasi membuat alat bantu pernapasan dengan peralatan sederhana berbahan aerator atau mesin penghasil gelembung udara dalam akuarium. Namun, eksperimen yang dilakukan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, alat oksigen tersebut tidak bisa meningkatkan fraksi oksigen.
Sebuah video tutorial pembuatan alat oksigen dengan aerator akuarium dan bahan sederhana lainnya beredar luas di media sosial. Seseorang dalam video berdurasi 5 menit 13 detik itu mengklaim alat tersebut berfungsi untuk menghasilkan oksigen bagi orang yang sedang sesak napas dan sudah dipakai oleh keluarganya yang terjangkit Covid-19.
Pembuatan alat tersebut juga hanya membutuhkan bahan-bahan atau material sederhana sekitar Rp 120.000. Material itu antara lain botol air mineral berukuran 330-500 mililiter, selang kecil sepanjang dua meter, dan dua alat aerator akuarium. Selang digunakan untuk menyalurkan oksigen langsung ke hidung pasien.
Terkait langkah-langkah pembuatannya, terlebih dahulu selang dipasang di dua alat aerator akuarium. Setelah itu, ujung selang tersebut disambungkan ke botol yang sudah diisi tiga perempat air. Selang dan botol juga perlu dipastikan agar kedap atau tidak bocor untuk mengoptimalkan oksigen yang keluar saat aerator dihidupkan.
Inovasi alat serupa dengan aerator akuarium dan botol air mineral juga pernah dimuat dalam infografik Harian Kompas yang terbit pada 27 Oktober 2015. Namun, alat tersebut berfungsi untuk menyaring udara dan bukan meningkatkan saturasi oksigen. Alat tersebut dibutuhkan karena saat itu banyak korban sesak napas akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Guna menguji fraksi oksigen yang dihasilkan, peneliti dari Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan eksperimen dengan membuat alat tersebut. Seluruh material dan proses pembuatan dilakukan sesuai dengan langkah-langkah dari video tersebut.
Ketua Kelompok Penelitian Otomasi Industri Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, Hendri Maja Saputra mengemukakan, material alat oksigen tersebut sangat mudah didapatkan dan proses pembuatannya tidak membutuhkan waktu lama. Peneliti hanya membutuhkan waktu kurang dari satu hari untuk mencari bahan, perakitan, hingga uji coba.
Tidak meningkat
Setelah alat tersebut selesai dibuat, peneliti kemudian menguji dan mengukur fraksi oksigen yang dihasilkan dengan menggunakan alat pengukur oksigen. Dari hasil pengukuran, udara yang dihasilkan alat tersebut tidak menunjukkan adanya peningkatan fraksi oksigen yakni masih sekitar 21 persen. Sedangkan untuk oksigen murni, fraksi oksigennya seharusnya mencapai di atas 90 persen.
“Jadi hasil pengujian kami, cara tersebut tidak bisa digunakan untuk alternatif menghasilkan (oksigen) sebagaimana tabung oksigen. Inovasi ini perlu dibuktikan secara ilmiah,” ungkap Hendri.
Meski demikian, Hendri mengaku kurang memahami aspek keamanan dari alat oksigen berbahan aerator akuarium ini. Tetapi secara umum, proses mengalirkan udara melalui air memungkinkan temperatur udara yang keluar bisa lebih dingin dan lembab.
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Prasenohadi menyampaikan, aerator sebenarnya alat yang digunakan di akuarium dan berfungsi untuk menghasilkan gelembung udara untuk pernapasan ikan di dalam air. Sedangkan alat bantu pernapasan untuk manusia telah tersedia dan diproduksi dengan kualitas yang terstandar.
“Oksigen ada yang berbentuk tabung, gas, dan cair. Tabung tersebut berisi konsentrasi oksigen 100 persen. Sementara alat yang dibuat ini tidak bisa diukur berapa konsentrasi oksigennya. Lalu yang dihasilkan benar-benar oksigen atau bukan juga tidak bisa dipastikan. Jadi, alat ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ucapnya.
Meski belum ada kajian ilmiah, ia menduga alat tersebut hanya menghasilkan udara yang lebih dingin dan lembab. Kelembaban tersebut penting agar saluran napas tidak kering atau terjadi iritasi.
“Mungkin dampak negatif penggunaan alat ini tidak ada dan masih harus dibuktikan. Tetapi, jika alat ini digunakan oleh orang normal, maka saluran pernapasannya akan menjadi lebih lembab. Bahkan, mungkin akan timbul infeksi atau penyakit tertentu lainnya,” katanya.
Kebutuhan oksigen
Pras menjelaskan, setiap orang atau pasien yang menderita sesak napas bisa mengukur kebutuhan oksigen dengan melakukan analisis gas darah. Dengan mengetahui kebutuhan oksigen tersebut, tenaga kesehatan dapat memberikan terapi yang cocok sesuai kondisi pasien. Setelah itu, terapi dapat dipantau dengan melihat dan menilai saturasi oksigen.
“Kita menghirup oksigen di lingkungan dengan kadar 21 persen. Ketika masuk ke dalam paru-paru dan beredar di seluruh tubuh maka saturasinya 100 persen. Jika ada gangguan di paru-paru contohnya pada penderita Covid-19, maka saturasi oksigennya bisa turun sehingga pasien perlu menaikannya kembali,” ujar Pras yang juga pengajar di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pras menekankan, kebutuhan oksigen setiap pasien berbeda-beda tergantung kondisi masing-masing. Menaikan saturasi oksigen untuk pasien yang masih dalam kondisi sadar bisa dilakukan dengan bantuan nasal cannula atau masker wajah. Sedangkan untuk pasien yang sudah tidak sadar dan dengan saturasi oksigen rendah perlu menggunakan ventilator atau high flow nasal cannula (nasal cannula bertekanan tinggi).
Sementara dalam kondisi penuhnya fasilitas kesehatan dan kelangkaan tabung oksigen saat ini, lanjut Pras, pasien sesak napas dapat menerapkan posisi tengkurap (prone position) secara rutin setiap dua jam sekali. Posisi ini akan menyebabkan oksigenasi atau distribusi oksigen di paru-paru semakin merata.
Pada pasien Covid-19 dengan gejala berat, kelainan ada di bagian samping dan belakang paru-paru. Menerapkan posisi tengkurap akan membuat bagian belakang paru-paru teraliri oksigen dengan baik dan merata sehingga membantu mengurangi sesak napas.
“Jika pasien masih mampu bergerak bisa melakukan fisioterapi dengan berolahraga ringan sehingga membantu pergerakan udara dan otot-otot pernapasan,” tuturnya.
Mengingat saluran pernapasan maupun organ dalam lainnya membutuhkan ilmu khusus, Pras pun mengimbau masyarakat untuk tidak mengembangkan alat kesehatan dari pemahaman sehari-hari. Hal ini penting untuk mencegah efek samping atau dampak negatif dari pengembangan alat kesehatan tanpa riset dan kajian ilmiah.