Orang-orang Resah di Tengah Kegelapan Digital
Setua peradaban, kebohongan tak akan hilang selama manusia ada. Di era digital ini, kebohongan membesar mengaburkan kebenaran ibarat kegelapan yang mengacaukan tatanan akal sehat, sopan santun dan akhlak.
Orang-orang resah tak bisa tinggal diam melihat kebohongan merajalela. Gerakan menangkal berita bohong pun muncul di
berbagai daerah. Ibu rumah tangga, akademisi, dokter, hingga kiai di pondok pesantren bergerak dengan caranya masing-masing.
“Dalam tradisi Islam, literasi atau memahami informasi secara kritis sudah diajarkan sejak dulu. Sampai ada ungkapan laisal khobar kal muayyanah yang artinya tidak semua kabar berita itu sesuai kenyataannya,” kata Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Wakaf Literasi Islam Indonesia (Wali) KH Anis Maftukhin (45), di rumahnya di Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (13/6/2021).
Siang itu, ruang tamunya ramai oleh tamu. Seorang guru SMP setempat yang datang bersama putrinya. Ada juga keluarga besar seorang ustadz dari Demak, Jawa Tengah. Mereka terlihat khusyuk mendengarkan penjelasan Anis tentang periwayatan haditz yang mengedepankan literasi atau kemampuan membaca, menulis dan memahami secara kritis.
Dengan bahasa yang akrab, alumnus Pondok Pesantren Gontor dan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu menjelaskan hoaks dari perspektif tradisi Islam yang ia kaitkan dengan dunia digital sekarang. “Hoaks itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hanya saja sebutannya dulu berbeda. Disebut desas-desus, fitnah, ya itu hoaks,” katanya.
Anis mengatakan, pendirian Ponpes Wali salah satunya karena keprihatinan atas maraknya hoaks dan banjir informasi. Setelah belasan tahun tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai penulis dan penerjemah literasi Islam Indonesia kuno, ia pulang kampung untuk mewakafkan diri pada literasi.
Ponpes Wali resmi berdiri pada 21 Januari 2016 di perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Peresmiannya dilakukan oleh Dr Syeh Adnan al-Afyouni, Mufti Besar, dari Damaskus, Suriah.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/06/20210613_120900.mp4"][/video]
Baca juga: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/03/02/mengidentifikasi-akun-bot-dan-hoaks/
Sejak berdiri, Ponpes itu berulangkali mendeklarasikan gerakan santri melawan hoaks. Selai itu juga memberikan pelatihan pada ponpes-ponpes lain terkait bagaimana menghadapi serangan hoaks.
Sehari-hari, kegiatan di Ponpes Wali dilandaskan pada tradisi membaca dan berdiskusi. Tujuannya menumbuhkan literasi sehingga santri kritis terhadap naskah apapun yang ia baca. Sebut saja sejumlah kegiatan, seperti tadarus pemikiran setiap bulan Ramadhan, ngaji jurnalistik, hingga media monitoring media. Anis juga mengajak santrinya untuk menonton film dokumenter “The Social Dilemma” yang mengkaji sisi gelap media social.
Menurut Anis, Ponpes dengan 400-an santri itu memang tak melakukan pemeriksaan fakta secara khusus. Tujuannya lebih pada jangka panjang, yaitu menumbuhkan literasi digital pada generasi muda sehingga ke depan tidak saja mampu menangkal hoaks namun juga berdaya menjadi pembuat konten.
Kemerosotan adab
Kebohongan yang lebih dipercaya daripada kebenaran dapat menjadi awal kemerosotan peradaban. Hoaks telah terbukti memicu kekerasan, diskriminasi hingga pembangkangan aturan seperti sudah terjadi di berbagai belahan dunia beberapa tahun ini.
Cukup memprihatinkan, Laporan Digital Civility Index (Derajat Keadaban Digital) 2021 yang dilakukan Microsoft menobatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat adab digital terburuk di kawasan Asia Tenggara. Adab digital ini mencakup sopan santun, akhlak dan akal sehat.
Dalam laporan berbasis survei itu, Indonesia memperoleh poin 76, lebih buruk dibanding Thailand dengan skor 69, Filipina 66, dan Malaysia 63. Adab digital Indonesia dinilai merosot 8 poin dari tahun sebelumnya.
Buruknya poin ini diukur dari banyaknya kabar bohong yang beredar di negeri ini. Poin terburuk dari banyaknya hoaks sebanyak 47 persen, diikuti ujaran kebencian 27 persen dan diskriminasi 13 persen.
Menarik dicermati, adab digital di kalangan dewasa merosot lebih buruk dari remaja, yaitu sebesar 83 persen untuk dewasa, sementara remaja 68 persen. Artinya, adab remaja Indonesia di media sosial lebih positif dari kalangan dewasa.
Kebebasan di media sosial memang seperti pedang bermata dua. Dalam kajiannya berjudul Freedom to Hate (Kebebasan untuk Membenci), Merlyna Lim, Peneliti Jurnalisme dan Komunikasi Universitas Carleton, Kanada, mengatakan, media sosial mendorong orang bebas berekspresi, namun juga membuat orang merasa bebas untuk membenci dengan menyatakan opini sembari membungkam orang yang berbeda pendapat.
Pegiat di Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Gilang Parahita mengatakan, Indonesia mengalami tantangan ganda terkait kebebasan berekspresi. Awal tumbuhnya revolusi digital datang bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru yang represif. Dua kondisi ini membuka ruant kebebasan berpendapat yang belum pernah dimiliki masyarakat Indonesia sebelumnya.
“Dalam waktu singkat, secara bersamaan, kita harus belajar dua hal sekaligus. Bagaimana kita belajar menjadi anggota masyarakat di negara demokratis dan bagaimana kita menggunakan teknologi digital dengan kebebasannya,” kata Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
[video width="720" height="576" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/06/VID-20210621-WA0002.mp4"][/video]
Resmi terbentuk pada 2017 di DI Yogyakarta, Japelidi adalah komunitas yang terbentuk didorong keresahan merajalelanya hoaks di 2016. Komunitas itu beranggotakan dosen, peneliti dan pegiat yang perduli pada isu-isu literasi digital.
Saat ini Japelidi beranggotakan 168 pegiat dari 78 universitas dan lembaga yang tersebar di 30 Kota, dalam dan luar negeri. Salah satu kegiatannya adalah kampanye melawan hoaks Covid-19 dalam 42 bahasa daerah pada April-Juni 2020.
Hoaks masif
Kendati banyak orang mulai bergerak menangkal, kualitas dan kuantitas hoaks terus bertambah. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sebuah komunitas yang fokus pada pemeriksaan fakta kabar bohong, mencatat, tercatat 2.298 konten hoaks sepanjang 2020.
Jumlah ini merupakan jumlah hoaks tahunan terbanyak sepanjang sejarah media digital di Indonesia. Konten menyesatkan di 2020 didominasi konten Covid-19.
Sejak terbentuk secara 1 Desember 2016, Mafindo sudah melakukan cek fakta pada sekitar 4.000 konten. “Jumlah tepatnya sulit dipastikan, karena ternyata banyak hoaks itu berulang. Hoaks itu seperti ada jadwalnya, ada hoaks tahunan, hoak bulanan, bahkan hoaks yang berapa hari kemudian sudah diulang lagi,” kata Direktur Pemeriksa Fakta Mafindo Aribowo Sasmito (43).
[video width="720" height="576" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/06/VID-20210621-WA0001.mp4"][/video]
Mafindo bermula dari Forum Facebook FAFHH (Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax) yang dibuat oleh Harry Sufehmi pada tahun 2015. Komunitas ini muncul dari keresahan terhadap munculnya fitnah, hasutan, hoaks, juga ujaran kebencian di media sosial saat itu.
Baca juga: https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2021/03/02/hoaks-merajalela-di-masa-pandemi/
Aribowo mencatat, jumlah kabar bohong di Indonesia biasanya meningkat di sekitar peristiwa politik. Salah satunya sekitar kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang memaksa pemeriksa fakta Mafindo bekerja keras meluruskan.
Untuk satu kabar bohong, Aribowo membutuhkan waktu, dari 2 jam hingga sehari. Pemeriksaan fakta harus menyertakan kajian dan bukti valid, termasuk menemukan foto dan video asli dari konten hasil sunting (edit).
Salah satu hoaks terbaru yang proses verifikasinya cukup membuatnya repot adalah kabar bohong soal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerima gratifikasi rumah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Itu memakan waktu karena saya harus cek lokasi, menemukan nomor kontak perantara rumah. Dan saat menemukan, si perantara tidak mau dikutip. Ya kami menghormati,” kata Aribowo.
Verifikasi hoaks kemudian diunggah di situs Turnbackhoax.id dan disebarkan melalui beberapa kanal media sosial (medsos), yaitu forum Fac3book FAFHH serta page @MafindoID di Facebook. Selain itu juga di akun @turnbackhoax di Twitter dan @turnbackhoaxid di Instagram.
[video width="720" height="576" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/06/VID-20210621-WA0000.mp4"][/video]
Komunitas ini juga mengembangkan aplikasi Hoax Buster Tools serta kanal percakapan di Whatsapp bernama Kalimasada. Keduanya dimaksudkan untuk membantu masyarakat umum melakukan cek fakta mandiri.
Sekarang, jaringan Mafindo sudah demikian luas dengan lebih kurang 700 relawan di 18 kota. Para relawan terdiri dari ibu rumah tangga, pengemudi ojek daring (ojol), hingga wartawan. Kerjasama terjalin dengan pemerintah, organisasi jurnalis dan media.
"Tapi hoaks selalu menyebar lebih banyak dari verifikasinya. Katakanlah hoaks yang tersebar 10.000 kali, verifikasi dibagikan 1.000 kali saja itu sudah Alhamdullilah tiga kali, karena jarang sekali sampai sebanyak ini," kata Aribowo.
Di luar komunitas, sejumlah orang bergerak sendiri. Dari Jepang, Adam Prabata (29), kandidat PhD di Kobe University, tak lelah menyuarakan kebenaran terkait Covid-19. Tanpa dibayar, Dokter yang pernah bertugas di RS Permata Depok itu aktif membuat konten meluruskan informasi menyesatkan serta edukasi kesehatan soal Covid-19 di akun media sosialnya, salah satunya di Instagram @adamprabata.
Ia memulai pada 4 Maret 2020, atau dua hari setelah ada kasus positif perdana di Indonesia. Hingga Juni 2021, akun Instagram miliknya sudah memuat 659 konten dengan pengikut mencapai 206.000 akun.
Adam hanyalah satu satu dari banyak tenaga kesehatan lain yang selain berjibaku menangani pasien di dunia nyata, juga berlaga menangkal hoaks di medan maya.
Namun saat ini, seberapa pun banyak orang berusaha menangkal hoaks, kabar bohong lebih banyak menyebar daripada kebenaran. Kebohongan masih lebih banyak dipercaya dari kebenaran. Perjuangan orang-orang resah itu sepertinya masih akan panjang.