Musibah dan Berkah Banjir Informasi
Mereka yang memiliki kemampuan berpikir untuk mengolah informasi yang melimpah itu tidak hanya akan terhindar dari cemas, tetapi juga bisa menjadi penguasa dunia sesuai bidang kompetensinya.
"Pengetahuan adalah kekuatan. Informasi itu membebaskan. Pendidikan adalah premis kemajuan, di setiap masyarakat, di setiap keluarga." (Kofi Annan)
Siapa yang menguasai informasi, dia akan menguasai dunia. Namun di era banjir informasi saat ini, banyaknya informasi nyatanya justru bisa membuat kebingungan, kecemasan, tidak berdaya, hingga lelah mental. Banyaknya informasi yang harusnya bisa membantu membuat keputusan lebih baik, justru membuat sebagian orang makin sulit membuat keputusan.
Sejak awal pandemi Covid-19, jauh sebelum kasus positif korona merebak luas dan mengganas di berbagai negara, ahli kesehatan jiwa sudah lebih dulu mengkhawatirkan terjadinya pandemi kecemasan global. Banjir informasi tentang korona dari berbagai jenis media ditakutkan menimbulkan kecemasan dan stres hingga memicu depresi dan berbagai gangguan mental.
Sebagai suatu hal yang baru, segala infromasi terkait korona berkembang dengan dinamis. Di berbagai media massa maupun media sosial, informasi yang benar dan terkonfirmasi harus bersaing dengan kabar yang tidak tepat dan juga hoaks.
Paparan informasi yang bertubi-tubi dan tak terkontrol itu memberi tekanan besar bagi mental dan kognitif masyarakat hingga membuat mereka kepayahan berpikir, lelah jiwa dan memicu berbagai emosi negatif. Pembatasan sosial dan karantina wilayah yang mengurangi ruang gerak dan mengisolasi masyarakat makin membuat masyarakat stres, takut, cemas, hingga depresi.
"Kecemasan memicu amigdala (bagian otak yang mengatur emosi) terlalu aktif dan memblok korteks prefrontal (otak bagian depan yang mengatur logika) hingga membuat seseorang sulit berpikir rasional," kata dokter spesialis kedokteran jiwa di Klinik Psikosomatik Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang Selatan, Andri, Rabu (23/6/2021).
Di awal berlangsungnya pandemi Covid-19 di Indonesia, banyak pasien yang ditangani Andri ketakutan dengan gejala-gejala Covid-19. Mereka yang batuk kering atau demam, sudah menduga-duga terkena Covid-19. Ketika itu, informasi tentang gejala Covid-19 memang tersebar bombastis, khususnya melalui jalur grup percakapan pertemanan dan keluarga.
Saat pembatasan sosial berskala besar diberlakukan, kecemasan yang dialami masyarakat sudah menimbulkan gejala fisik, seperti sulit tidur atau insomnia. Mereka yang mengalami gangguan ini umumnya berumur lebih dari 40 tahun, kelompok dengan risiko terpapar Covid-19 tinggi dan memiliki penyakit penyerta.
Kelompok populasi ini umumnya memang masih beradaptasi dengan besarnya paparan informasi melalui gawai yang mereka gunakan. Akibatnya, mereka lebih mudah mempercayai informasi yang diterima tanpa mengecek terlebih dahulu. Mereka juga lebih mudah menyebar informasi yang belum jelas validitasnya, tanpa melakukan pengecekan ulang terlebih dulu.
Situasi itu diperparah dengan turunnya ekonomi masyarakat. Berkurangnya pendapatan, matinya usaha konvensional dan kesulitan mereka berpindah ke pola ekonomi digital membuat beban kecemasan yang dialami masyarakat makin tinggi. "Dari sekitar 100 pasien setiap minggunya, 75 persennya mengeluhkan kecemasan terkait Covid-19," tambah Andri.
Pemrosesan informasi
Otak manusia sejatinya tidak mengenal banjir informasi. Apapun bentuknya dan seberapa banyak informasi yang di terima pancaindera manusia, semua bisa ditampung dan disimpan. Otak manusia bukanlah gudang atau memori gawai yang punya kapasitas tertentu. Makin banyak informasi diterima otak, justru membuat jumlah sel saraf di otak bertambah banyak.
Meski otak bisa menampung semua informasi, namun tidak semua informasi itu dibutuhkan. Proses pemanggilan informasi yang akan menentukan. "Otak hanya akan memanggil informasi yang sesuai kebutuhan, yaitu informasi yang jadi perhatian," kata ahli neurosains yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Taufiq Pasiak.
Perhatian itu menurut ahli psikologi kognitif yang juga Ketua Program Studi Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Galang Lufityanto menjadi mekanisme penyaring informasi yang akan kita olah. Sebuah informasi akan menarik perhatian jika dia relevan dengan kebutuhan kita atau mencolok.
"Saat sebuah informasi mencolok, meski tidak relevan dengan kebutuhan kita, maka mau tidak mau perhatian kita akan meloloskan informasi tersebut," katanya.
Setelah lolos dalam proses penyaringan, bagian otak yang dinamakan thalamus akan memilih-milih kembali informasi tersebut dan menghubungkannya ke bagian otak lain yang terkait. Informasi yang tidak relevan tidak akan diproses otak meski tetap tersimpan di otak. Dari pemrosesan itu akan memunculkan berbagai respons, mulai dari mencari informasi lanjutan atau justru menyangkalnya.
Saat seseorang memanggil sejumlah informasi berbeda secara bersamaan guna membuat keputusan, maka disitulah bisa menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran hingga memicu terjadinya kecemasan. Walau otak manusia mampu menyimpan informasi sebanyak apapun, tapi otak memiliki keterbatasan dalam memproses informasi.
Sebagai gambaran, seseorang yang disodorkan puluhan menu makanan di restoran akan lebih sulit membuat keputusan dibanding rumah makan yang hanya menawarkan beberapa menu makanan saja. Akibatnya, seseorang yang tak berdaya akibat banyaknya pilihan itu cenderung akan sulit membuat keputusan atau kualitas putusan yang diambil buruk.
"Otak tidak memproses informasi satu per satu, tetapi mengelompokkannya dalam kategori tertentu," tambah Galang. Informasi yang memiliki tingkat ambiguitas atau ketidakpastian tinggi akan lebih sulit diketagorisasikan hingga proses pengolahan informasi menjadi tidak efisien. Kondisi itu justru memicu lonjakan beban kognitif atau overload cognitive hingga menimbulkan kepayahan dan kecemasan.
Di sisi lain, dalam neurosains sejatinya tidak mengenal istilah
multitasking atau kemampuan memikirkan banyak hal secara sekaligus. Otak hanya bisa fokus memikirkan satu hal pada satu waktu. Orang yang dianggap
multitasking sebenarnya adalah orang yang bisa berpindah fokus dengan cepat. Saat harus harus memikirkan banyak hal bersamaan itulah bisa terjadi kecemasan.
Baca juga: Beban Ganda Pers akibat Infodemi
Respons
Meski demikian, tidak semua orang akan cemas saat harus memikirkan banyak hal bersamaan. Paparan informasi yang diterima oleh orang yang berbeda bisa saja sama, tapi respons tiap orang yang akan menentukan apakah mereka akan mengembangkan kecemasan atau tidak.
Respons itu ditentukan oleh seberapa besar perhatian seseorang terhadap informasi yang akan mereka ambil. "Seseorang yang telah memiliki referensi untuk memilih sesuatu akan berpeluang lebih besar terhindar dari kecemasan," kata Taufiq.
Referensi itu dibuat berdasarkan pengalaman, wawasan, maupun preferensi sebelumnya yang tersimpan di memori otak. Preferensi membuat otak seseorang sudah dikondisikan untuk memikirkan lebih dulu apa yang akan dipilih. Karena itu, orang yang memiliki banyak referensi akan lebih percaya diri mengambil putusan.
Dengan demikian, makin banyak informasi seharusnya membuat seseorang bisa mengambil putusan dengan lebih baik. Syaratnya, "Orang tersebut harus tahu cara mengelola informasi dalam otaknya," tambahnya.
Namun, Taufiq mengingatkan dalam mengambil putusan yang krusial tidak bisa hanya didasarkan pada preferensi yang merupakan kecenderungan seseorang dan dibentuk oleh pendidikan, pola asuh hingga lingkungan. Preferensi hanya boleh dijadikan rujukan dengan memperhatikan preferensi lain dan memperluas cara pandang, tidak boleh mengarahkan pada keputusan yang akan diambil.
Galang menambahkan beberapa orang memang memiliki kecenderungan kepribadian yang membuatnya lebih mudah cemas. Orang dengan intoleransi terhadap ambiguitas atau ketidakpastian yang tinggi alias orang yang tidak suka dengan ketidakjelasan akan lebih rentan mengalami gangguan cemas. Namun, intoleransi terhadap ambiguitas itu bukanlah gangguan psikologis.
Orang dengan intoleransi terhadap ambiguitas memiliki kecenderungan kognitif yang melebih-lebihkan ancaman. Mereka juga cenderung melakukan penghindaran kognitif (cognitive avoidance), yaitu mengindari atau menolak hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dipahaminya. Sikap itu membuat mereka menjadi tidak realistis karena hanya memandang kemungkinan negatif dari setiap ancaman dan mengabaikan fakta-fakta postif dibalik ancaman yang sebenarnya bisa diberdayakan.
Sebaliknya, orang yang memiliki toleransi terhadap ambiguitas atau ketidakpastian adalah orang yang mampu menyeimbangkan informasi yang dia peroleh. Orang-orang ini mampu melihat sisi positif dan negatif dari setiap informasi. Setiap informasi yang datang juga tidak langsung dipercaya, tetapi dicek dulu kebenarannya. Ketidakpastian juga tidak dipandang sepenuhnya sebagai ancaman, tetapi ada peluang yang menyertainya.
"Anak yang dididik dengan kebebasan namun tetap dikontrol dan diajarkan bertanggung jawab, diberi kesempatan mengambil putusan sendiri, serta bisa menerima kesalahan atau merasakan konsekuensi dari setiap tindakannya cenderung memiliki toleransi terhadap ketidakpastian," tambahnya. Sikap toleran terhadap ambiguitas itu banyak dimiliki wirausahawan sukses.
Kritis
Kecemasan akibat banjir informasi sebenarnya bisa dicegah. Salah satu upaya mendasar yang bisa dilakukan adalah mengontrol atau memilah informasi yang akan kita konsumsi. Jika menyangkut informasi tentang Covid-19, pilih informasi yang bersumber dari lembaga resmi. Jika ragu dengan informasi yang kita peroleh, tanyakan kepada orang yang kompeten dan bisa dipercaya.
Keseimbangan informasi juga perlu diterapkan. Meski informasi negatif lebih mencolok dan menarik, tetapi imbangilah dengan informasi positif dari hal yang sama. Hadirnya informasi positif ditengah banyaknya informasi negatif itu bisa membantu membuat keputusan lebih baik.
Pemerintah pun bisa ikut andil mengatasi banjir informasi. "Bukan dengan membatasi akses terhadap sumber informasi, tetapi mengontrol informasi yang salah hingga lebih banyak informasi terpercaya yang beredar di masyarakat," kata Galang.
Upaya menghindari kecemasan dalam mengambil putusan akibat banjir informasi, lanjut Taufiq, juga bisa diatasi dengan meningkatkan kemampuan seseorang dalam memilih dan memilah informasi apa yang akan dicari atau digunakan. Kemampuan ini merupakan bagian dari berpikir kritis guna menyaring, mengelaborasi hingga mencari relevansi sebuah informasi dengan informasi lain yang sedang kita butuhkan.
Untuk bisa menyaring setiap informasi yang akan digunakan dalam mengambil keputusan dibutuhkan nalar kritis. Sikap skeptis harus jadi pegangan. Seseorang harus berani menyangsikan informasi apapun dari sumber siapapun dan manapun meski sumber itu terpercaya.
Keberanian mengkritisi itu bukan berarti tidak percaya atau meragukan integritas narasumber yang membawa informasi. Sikap itu merupakan bagian dari proses validasi atas informasi yang kita terima hingga bisa memberi timbangan secara tepat dalam membuat putusan. Tindakan itu juga bisa melindungi diri dari informasi yang salah serta melindungi orang yang dikritisi dari jebakan informasi keliru.
"Sayangnya, pola berpikir kritis dan kreatif itu tidak diajarkan di bangsa ini," kata Taufiq. Padahal secara budaya, orang Indonesia punya kecenderungan untuk mudah percaya pada orang lain yang membuat daya kritisnya tak berkembang.
Pada batas tertentu, sikap mudah percaya pada orang lain itu baik karena bisa memperkuat solidaritas. Namun di era globalisasi dan banjir informasi, keberanian dan kemampuan meragukan semua informasi yang kita peroleh menjadi penting.
Howard Gardner dalam Five Minds for The Future (2007) telah mengingatkan salah satu kemampuan otak yang diperlukan di masa depan adalah menyintesis informasi. Di tengah banjir informasi saat ini, kemampuan ini makin dibutuhkan. Namun jika menentukan informasi yang penting, kurang penting dan tidak penting saja masih sulit dilakukan akibat glorifikasi menghapal, maka upaya menyintesis informasi yang menggabungkan berbagai informasi sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan akan makin sulit dilakukan.
Baca juga: Harapan Sekaligus Tantangan Media Tepercaya
Karena itu, Taufiq yakin ungkapan \'Siapa yang menguasai informasi, dia akan menguasai dunia\' justru semakin relevan di tengah era banjir informasi seperti sekarang. Mereka yang memiliki kemampuan berpikir untuk mengolah informasi yang melimpah itu tidak hanya akan terhindar dari cemas, tetapi juga bisa menjadi penguasa dunia sesuai bidang kompetensinya.