Kasus Marsinah, Udin, dan Kambing Hitam dari Masa ke Masa
Sejumlah peristiwa yang menarik perhatian publik diwarnai munculnya sosok-sosok tertuduh yang cuma kambing hitam. Ini bukti berita bohong bukan hanya fenomena kekinian, karena sejak dulu sudah ada berbagai kepentingan.
Telaah soal kambing hitam bisa dimulai dari kasus terbunuhnya aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur, 1993. Marsinah yang menjadi ikon gerakan pekerja, diduga tewas karena dibunuh oknum tentara. Namun, tentu saja dugaan ini tidak pernah muncul ke permukaan, karena kala itu pemerintahan Orde Baru tengah kuat-kuatnya.
Maka dihadirkan Yudi Susanto, pimpinan PT Catur Putra Surya (CPS), tempat Marsinah bekerja, sebagai tersangka. Hanya saja, pembuktian atas keterlibatan Judi dalam persidangan, sangat lemah karena ada beberapa kejanggalan.
Kejanggalan-kejanggalan itu, seperti ditulis pakar forensik Mun’im Idris dalam bukunya, “Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir”, salah satunya terkait keterangan visum et repertum (VR) tubuh Marsinah yang sangat sederhana. Mengapa sangat sederhana? Salah satunya karena hanya satu halaman.
Baca juga: 28 Tahun Menghidupkan Perjuangan Marsinah
Menurut Mun’im dalam bukunya, “Kejanggalan paling mencolok dari VR, yang pertama terlihat dalam kesimpulan yang dibuat, yaitu: korban meninggal akibat pendarahan dalam rongga perut. Padahal, menurut penulis, yang seharusnya diutarakan adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas). Karena, ‘pendarahan’ itu tidak bisa memberi petunjuk perihal alat atau benda yang menyebabkan korban tewas.”
Seiring bergulirnya waktu, sidang kasus Marsinah selalu menyita perhatian. Mun’im yang dihadirkan sebagai saksi meringankan bagi terdakwa Yudi Susanto, oleh pengacara Trimoelja D Soerjadi, pun dihujani pertanyaan koleganya sesama dokter, karena dinilai melawan arus. Ada kekuatan besar waktu itu yang hendak membelokkan fakta dari pertanggungjawaban pembunuh sebenarnya.
Di ujung, kasus ini berakhir dengan pembebasan sembilan terdakwa, termasuk Yudi. Seperti diberitakan harian ini pada 24 September 1997: “Kasus pembunuhan Marsinah terjadi pada awal Mei 1993, dan diungkapkan kembali pada 1995 karena PK (peninjauan kembali) sembilan terdakwa, yang dikabulkan Mahkamah Agung. Semua terdakwa kemudian dibebaskan.”
Lantas, siapa pembunuh Marsinah? Masih misterius hingga kini, 28 tahun sejak peristiwa terjadi. Trimoelja, dalam wawancara dengan Kompas akhir September 1997 menuturkan, ada dua persoalan yang dimintakan konfirmasi kepada Polri, dan belum terjawab. Pertama, fakta penemuan Marsinah di hutan jati (Madiun) sebelum dia tewas. Kedua, pencabutan keterangan dua pembantu Yudi, yang makin menguatkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Polri hasil rekayasa.
Dalam kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, juga dimunculkan kambing hitam. Terbunuhnya Udin pada 13 Agustus 1996, diduga kuat terkait berita-berita yang ditulisnya, di masa pemerintahan Bupati Bantul (waktu itu) Sri Roso Soedarmo.
Namun, yang menjadi tersangka justru Dwi Sumaji alias Iwik, yang disebut punya motif balas dendam bermotif asmara. Keberatan atas status tersangka pada diri Iwik muncul dari berbagai sumber, mulai dari istri Iwik, Sunarti, hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Jufri Taufik, salah satu pengacara Iwik sejak awal ragu kliennya terlibat dalam pembunuhan Udin. bukti yang mendukung DS sebagai tersangka, kurang kuat dan banyak kejanggalannya.
Lihat juga: Pameran Memorabilia Wartawan Udin untuk Memperingati Hari Kebebasan Pers di Yogyakarta
Di antaranya, menurut Jufri, tersangka kurang bisa menjelaskan secara lancar peristiwa itu, walau pemeriksaan berjalan tanpa tekanan. "Jelas terlihat tersangka tidak tahu masalahnya," ujar Jufri, seperti diberitakan Kompas, 24 Oktober 1996. Barang bukti berupa tongkat besi berdiameter tiga sentimeter juga meragukan.
Jufri dan Sunarti menyatakan, setelah tertangkap di perempatan Beran, Sleman, tersangka dibawa putar-putar ke Parangtritis. Di sanalah Iwik diajak masuk Hotel Queen dan di ajak "minum-minum". Baru tersangka dibawa ke Mapolda dan diperiksa.
Jufri menyatakan, pengakuan Iwik sebagai pelakunya, seperti pengakuan tak sadar. "Tersangka mengakui, seperti ada yang menuntun, hingga segala pertanyaan yang diajukan, diiyakan," ujar Jufri. Namun menurut beberapa sumber, tersangka sempat mencabut pengakuannya itu. "Jadi pemeriksaan tersangka sempat buntu," tegas Jufri, yang menjadi penasihat hukum bersama Triyandi Mulkan dan Eko Widyanto.
Upaya pembuktian yang lemah itu membuat pada akhirnya, Iwik dituntut bebas oleh jaksa penuntut umum Amrin Naim. Pada sidang 3 November 1997, Amrin menyatakan Iwik tidak terbukti membunuh Udin. Tuntutan bebas ini seiring dengan janji Amrin untuk bersikap fair dan obyektif. (Kompas, 4/11/1997)
Pertanyaan senada dengan kasus Marsinah: siapa sebenarnya pembunuh Udin? Masih gelap gulita juga hingga kini, hampir 25 tahun setelah peristiwa itu terjadi.
Penyesatan informasi
Selain kasus Marsinah dan Udin, banyak peristiwa lain diwarnai penyesatan informasi yang disengaja, sebagian dilandasi kepentingan politis. Di era Orde Baru, sejumlah kasus seperti kematian aktivis HAM Munir, dan kerusuhan 27 Juli 1996 di kantor PDI Jl Diponegoro, Jakarta, sarat dengan nuansa serupa.
Bahkan, di era sebelum kemerdekaan, sebagai satu misal, beredar ujaran kebencian yang menyebarkan informasi bahwa dwitunggal Soekarno dan Mohammad Hatta adalah semata pejuang Indonesia yang piaraan Jepang. Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Buya Ahmad Syafii Maarif menyampaikan fakta ini dalam artikelnya berjudul Lumpuhnya Pancasila, yang dimuat di harian ini pada 31 Mei 2021.
Dalam artikel itu Buya menulis, “Namun, dalam pidato Soekarno tentang Pancasila 1 Juni 1945 dalam bacaan saya, “bau” Jepang itu tidak tercium. Soekarno-Hatta pernah bekerja sama dengan penguasa Jepang, semata karena keharusan sejarah. Dengan demikian, adanya ejekan bahwa keduanya adalah anjing Jepang bukanlah fakta, melainkan ujaran kebencian yang tak terkendali.”
Baca juga: Lumpuhnya Pancasila
Berbagai fenomena ini membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa banjir informasi yang di dalamnya termasuk penyesatan informasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, juga telah terjadi jauh sebelum era digital. Bahwa yang semacam ini kemudian akhir-akhir ini meluas dan menimbulkan miskomunikasi bahkan keterbelahan di masyarakat, salah satunya dipengaruhi kemajuan teknologi informasi berikut sejumlah aplikasi percakapan dan media sosial.
Literasi masyarakat menjadi kata kunci akan penerimaan persepsi publik terhadap informasi yang beredar, sehingga publik mampu mencerna, melakukan verifikasi dan konfirmasi, serta mengambil keputusan secara benar.
Verifikasi, konfirmasi dan pengecekan ulang ini secara hakiki dimiliki pers, yang sejak dulu mengemban tanggung jawab menyiarkan informasi seakurat mungkin. Peristiwa yang dinilai oleh lembaga pers, berdasar pengecekan dan verifikasi ternyata tidak terjadi, atau sudah terjadi tetapi sangat lampau, atau terjadi tetapi tidak sedramatis informasi yang beredar, tidak akan dipublikasikan.
Dalam bukunya Berkomunikasi dengan Masyarakat Tidak Tulus, tokoh pers nasional Jakob Oetama menulis, “Di samping untuk mengecek dan melengkapi, datangnya pers kepada sumber pemerintah juga untuk menjalankan peranan kontrolnya. Keterangan dan data dari pemerintah akan dibandingkan dengan keadaan nyata ataupun data dari lapangan.”
Dari pernyataan ini terkandung maksud, sebelum meminta konfirmasi kepada nara sumber pemerintah, jurnalis idealnya sudah mengecek kondisi di lapangan. Suasana di lapangan dan keterangan nara sumber di lokasi, ibarat menjadi “amunisi” bagi wartawan saat bertanya kepada pejabat pemerintah.
Potensi hegemoni kebenaran informasi oleh pemerintah, seperti dalam telaah kasus di awal tulisan ini, juga dimungkinkan seiring kelahiran teori masyarakat massa, sebagai kritik Hannah Arendt atas kemunculan fenomena masyarakat.
Agus Sudibyo dalam bukunya Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media menyatakan, “Masyarakat massa identik dengan rezim totaliter yang menuntut loyalitas total individu tanpa syarat terhadap kehendak negara atau partai berkuasa, tak peduli betapa tidak rasionalnya tindakan atau keputusan pemimpin.”
Negara demokrasi modern, lanjut Agus, juga mengondisikan warganya untuk memperagakan perilaku seragam dan menjadi hamba hukum yang taat. Perilaku politik warga, salah satunya tercermin dalam motivasi publik menaati peraturan, yang dilakukan sekadar untuk selamat dari label “tidak taat hukum” “subversif” atau asal diakui sebagai hamba hukum yang baik. Bukan dengan motivasi demi makna untuk hidupnya.
Yang disuarakan Agus Sudibyo itu mirip dengan situasi ketika pihak-pihak tertentu menyesatkan informasi. Jika publik tidak berdaya dan berusaha diberdayakan, maka informasi-informasi tidak valid yang dipaksakan, bakal dipercaya dengan serta merta diterima sebagai kebenaran.
Di sinilah urgensi pemberdayaan masyarakat sipil, yang dengan kemampuan literasinya, tak cuma asal menerima dan meyakini kebenaran informasi yang beredar. Kaya referensi, tak hanya memercayai informasi dari satu sumber, menjadi salah satu karakter publik yang mumpuni dalam literasi.
Jika sebelum era digital, kambing hitam seperti Yudi Susanto dan Iwik terendus sebagai bukan pelaku sebenarnya, sepatutnya penyesatan informasi di era digital, ketika teknologi informasi sudah lebih maju, lebih gampang tercium. Jangan sampai kemajuan teknologi membuat kita makin tersesat.
Baca juga: Melangkah di Tengah Labirin Informasi