Melawan Stigma dan Diskriminasi, Upaya Indonesia Mencapai Bebas AIDS 2030
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan pencapaian Indonesia bebas AIDS pada 2030. Dengan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan, tantangan tersebut diharapkan bisa teratasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pandemi Covid-19 telah mengganggu sistem pelayanan kesehatan bagi orang dengan HIV dan AIDS. Meski begitu, optimisme untuk mencapai Indonesia bebas AIDS pada 2030 diharapkan terjaga. Komitmen dan dukungan semua pihak diperlukan, terutama dalam melawan stigma dan diskriminasi di masyarakat.
Aktivis Advokasi HIV/AIDS, Nafsiah Mboi yang juga Menteri Kesehatan periode 2012-2014 mengatakan, upaya pencegahan penularan HIV perlu lebih ditekankan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tanpa upaya pencegahan yang kuat, pengendalian penyakit tersebut menjadi lebih berat.
“Kita jangan hanya berfokus pada upaya penemuan kasus baru dan pengobatan. Pencegahan itu juga penting. Sayangnya, stigma dan diskriminasi masih tinggi pada populasi kunci sehingga akses pada pelayanan pun terhambat,” ujarnya dalam webinar Kompas Talks, di Jakarta, Rabu (23/6/2021).
Acara bertajuk “Akankah Indonesia Menghentikan AIDS pada Tahun 2030” tersebut merupakan kerja sama Harian Kompas, USAID (Lembaga Pemerintah Amerika Serikat yang berfungsi menyalurkan bantuan bidang pembangunan ekonomi, dan kemanusiaan), UNAIDS (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penanggulangan AIDS, serta Jaringan Indonesia Positif.
Nafsiah menambahkan, upaya pencegahan penularan bisa dilakukan dengan memperkuat peran konselor yang berasal dari bagian dari populasi kunci. Para konselor ini juga perlu dilatih dan dipermudah dalam mengakses sumber dana dan sumber daya yang diperlukan.
Kita jangan hanya berfokus pada upaya penemuan kasus baru dan pengobatan. Pencegahan itu juga penting. Sayangnya, stigma dan diskriminasi masih tinggi pada populasi kunci.
Adapun populasi kunci yang dimaksud, antara lain pekerja seks, pengguna jarum suntik, LSL (lelaki yang berhubungan sesk dengan lelaki), serta LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transpuan).
Komitmen pemerintah daerah pun dinilai penting untuk bisa menjangkau populasi kunci di masing-masing wilayah. Kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu kesehatan dan hak asasi manusia juga perlu diperkuat. Penyuluhan pun diharapkan tidak sekadar menyampaikan sosialisasi satu arah melainkan tepat sasaran pada populasi yang rentan.
Populasi kunci
Ketua Jaringan Indonesia Positif Meirinda Sebayang menuturkan, stigma dan diskriminasi sering luput dalam merespons penanggulangan HIV/AIDS. Padahal hal ini menjadi penghambat populasi kunci serta orang dengan HIV dalam mengakses layanan kesehatan terkait pemeriksaan HIV ataupun layanan kesehatan umum lainnya.
Menurut dia, stigma dan diskriminasi termasuk kekerasan yang dialami oleh populasi kunci, baik kekerasan berbasis jender maupun kekerasan dari pasangan, menjadi penghalang besar upaya pengendalian HIV. “Strategi untuk mengakhiri HIV-AIDS pada 2030 yakni bagaimana kita bisa memberi perlindungan hukum dan memastikan akses terhadap layanan bisa tercapai,” kata Meirinda.
Indonesia telah berkomitmen mencapai target 90-90-90, yakni 90 persen ODHA tahu status HIV- nya, 90 persen ODHA yang tahu statusnya menjalani terapi, dan 90 persen yang menjalani terapi tak lagi terdeteksi virus di tubuhnya. Dengan target tersebut diharapkan pada 2030, tujuan 3 zero HIV bisa terwujud. Tujuan itu meliputi tidak ada lagi infeksi baru HIV, tidak ada lagi kematian akibat HIV/AIDS, dan tak ada lagi diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan sampai Maret 2021 menunjukkan, dari estimasi 543.100 orang dengan HIV-AIDS di Indonesia sebanyak 427.201 atau 78,7 persen di antaranya yang ditemukan. Dari jumlah yang ditemukan tersebut, sebanyak 26,6 persen atau 144.632 orang dengan HIV-AIDS dalam pengobatan dan baru 7,7 persen ODHA yang viral loadnya tersupresi atau virus di tubuhnya tidak lagi terdeteksi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi R Rondonuwu menyampaikan, sejumlah upaya telah disiapkan untuk mencapai percepatan capaian Indonesia besar HIV/AIDS. Upaya itu meliputi upaya penyuluhan, penemuan, pengobatan, dan pertahanan.
Penyuluhan dilakukan dengan mengubah cara pandang masyarakat pada HIV/AIDS sekaligus untuk menurunkan stigma dan diskriminasi. Kampanye promosi ARV (antiretroviral) yang menjadi obat untuk HIV juga ditingkatkan disertai dengan penemuan dini dan pengobatan dini.
Sementara itu, upaya penemuan dilakukan, antara lain dengan perluasan penjangkauan berbasis komunitas, percepatan pemeriksaan dan penanganan kasus, serta pemeriksaan dini pada ibu hamil. Pada upaya pengobatan dilakukan dengan memberikan ARV bagi semua orang dengan HIV serta menyederhanakan pemberian ARV.
Untuk pertahanan akan dilakukan dengan menambah dan memperluas akses pemeriksaan dan mengembangkan aplikasi pengingat minum obat bagi ODHIV. Penguatan sistem rujukan untuk kelompok komunitas juga akan dilakukan.
Maxi menuturkan, Kemenkes telah mengeluarkan protokol pemberian layanan HIV AIDS selama pandemi Covid-19. Protokol itu dengan cara menjamin kelangsungan ART bagi ODHIV dengan pemberian ARV selama dua sampai tiga bulan dan menawarkan pengiriman ARV ke rumah untuk mengurangi kunjungan fasilitas kesehatan.
Komitmen serta dukungan pemerintah dan pemerintah daerah bersama seluruh lapisan masyarakat, termasuk komunitas, mitra pembangunan, kalangan swasta dan dunia usaha berpengaruh dalam capaian untuk mengakhiri AIDS. "Karena itu, komitmen kuat, kemampuan bekerjasama, bekerja keras, dan bekerja cerdas dibutuhkan agar Indonesia bisa menghentikan AIDS pada tahun 2030,” tuturnya.
Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden RI, Abetnego Tarigan menuturkan, pemerintah akan memastikan keberlanjutan program pengendalian HIV/AIDS melalui dukungan pendanaan. Selain itu, penggalangan dana publik akan ditingkatkan agar tidak bergantung pada pendanaan dari donor asing.