Situasi Semakin Genting, Presiden Diminta Bersikap
Situasi pandemi Covid-19 makin genting. Di tengah tingginya penularan penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru tersebut, jumlah pasien di sejumlah daerah telah melebihi kapasitas ruang perawatan di rumah sakit.
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 di Indonesia semakin mengkhawatirkan dengan terus bertambahnya jumlah pasien, melebihi ketersediaan rumah sakit. Presiden Joko Widodo dan para kepala daerah diminta segera menginjak rem darurat guna menekan penularan.
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia pada Minggu (20/6/2021) mencapai 13.737 orang. Sementara jumlah korban jiwa bertambah 371 orang. Penambahan kasus dan korban jiwa per hari ini nomor tiga tertinggi selama pandemi Covid-19.
Jumlah kasus dan korban jiwa di komunitas diperkirakan jauh lebih tinggi. Estimasi dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington, penularan Covid-19 di komunitas sebanyak sepuluh kali lipat dari yang terkonfirmasi, yaitu mendekati 140.000 kasus per hari.
Tingginya penularan di komunitas ini juga tecermin dari rasio tes positif atau test positivity rate nasional dari pemeriksaan polimerase rantai ganda (PCR) yang mencapai 42,2 persen. Itu berarti hampir setiap dari dua orang yang diperiksa dengan PCR satu di antaranya positif Covid-19.
Dengan laju penularan seperti ini, rumah sakit dan pusat isolasi di berbagai wilayah telah penuh dengan pasien. Antrean panjang terjadi di IGD berbagai rumah sakit karena ruang perawatan dan ICU telah penuh.
Baca juga: Kapasitas Rumah Sakit Hampir Penuh
”Tiga minggu terakhir ada lonjakan kasus dua sampai tiga kali lipat. Bila dipantau dari akhir Mei, rata-rata puskesmas bisa mendapatkan kasus konfirmasi baru empat sampai lima kasus. Minggu-minggu terakhir ini terjadi lonjakan 3-4 kali lipat, yaitu 12 sampai 13 kasus per hari kalau kita bisa pukul rata dari 100 puskesmas di Jawa Barat," kata Anita Siti Fatonah, Regional Technical Advisor Puskesmas Terpadu dan Juara, dalam konfrensi pers daring, Minggu.
Konferensi pers yang diselenggarakan LaporCovid-19 dan Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) ini memaparkan kondisi kegawatdaruratan penularan Covid-19 di Indonesia dan kolapsnya layanan rumah sakit. LaporCovid-19 dan CISDI membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, mendesak agar memprioritaskan keselamatan rakyat.
Surat terbuka ini diedarkan secara daring sejak Jumat (18/6/2021) dan telah ditandatangani lebih dari 2.468 orang hingga Sabtu. Mereka terdiri dari akademisi, profesional, peneliti, tokoh nasional, hingga kelompok kaum muda dan individu yang memiliki perhatian kuat atas ledakan kasus yang terjadi di sejumlah daerah yang berimbas pada kolapsnya rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Windyah Lestari, sukarelawan LaporCovid-19, menuturkan, dalam beberapa hari terakhir ini, permintaan bantuan untuk mencarikan rumah sakit dan ruang isolasi sangat banyak, terutama di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta Jawa Barat.
”Beberapa dari mereka alami gejala cukup berat sehingga perlu dibawa ke IGD. Lambatnya penanganan karena menipisnya bed bisa terjadi di daerah lain. Kalau di Jabodetabek dengan pelayanan kesehatan baik saja kesulitan menghadapi lonjakan kasus, bisa dibayangkan bagaimana di daerah lain,” katanya.
Beberapa dari mereka alami gejala cukup berat sehingga perlu dibawa ke IGD. Lambatnya penanganan karena menipisnya bed bisa terjadi di daerah lain.
Dokter spesialis paru yang bertugas di RSUD Pasar Rebo dan RS Harapan Bunda Jakarta Timur, Eva Sri Diana, yang juga menjadi pembicara, mengaku kewalahan dengan lonjakan jumah pasien Covid-19. Antrean di IGD makin panjang dan sebagian harus duduk di kursi roda, bahkan berdiri karena tidak ada lagi tempat tidur tersedia.
Baca juga: Pasien Meninggal Tak Tertangani Fasilitas Kesehatan
”Pasien yang datang umumnya sudah dengan hasil positif dan gejala berat setelah sebelumnya mencoba melakukan isolasi mandiri, tetapi mereka tidak semua terlayani karena tempat tidur dan tenaga kesehatan terbatas,” tuturnya. Apalagi, sebagian tenaga kesehatan juga terpapar Covid-19.
Di tengah situasi ini, saat ini dana rumah sakit menipis. ”Ini karena klaim dari rumah sakit selama perawatan Covid-19, khususnya rumah sakit negeri, belum dibayar pemerintah. Jangankan untuk membeli peralatan dan obat-obatan, untuk menggaji tenaga kesehatan saja banyak yang kesulitan. Pada saat bersamaan, sukarelawan tenaga kesehatan berkurang karena insentif tertunda pembayarannya, padahal itu satu-satunya pendapatan sehingga mereka mencari pekerjaan lain,” ujarnya.
Pembatasan optimal
Ahli kesehatan masyarakat dari Ikatan Ahli Kesematan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Sulistyo, mengatakan, dibutuhkan langkah segera dan tegas dari pemerintah pusat untuk menghentikan penularan. ”Fenomena Covid-19 di Indonesia sudah menjadi fenomena puncak gunung es karena keterbatasan tes dan lacak, serta kesalahan strategi rem dan gas yang tidak bisa menekan kasus. Itu hanya menciptakan bom waktu,” katanya.
Di sisi lain, menurut Hermawan, Indonesia juga bukan produsen vaksin sehingga pasokannya terbatas. Oleh karena itu, menyandarkan strategi penanganan pandemi melalui vaksin saja tidak akan bisa diandalkan. ”Ini terlihat dari kenyataan, dari target vaksin di bulan Juni yang harusnya 1 juta per hari, saat ini rata-rata hanya 100.000-200.000 per hari. Vaksin bukan solusi jangka pendek saat ini, padahal kita masih jauh dari puncak kasus,” katanya.
Baca juga: Bahan Baku 10 Juta Vaksin Tiba, Total Indonesia Sudah Punya 104 Juta Dosis
Hermawan mengatakan, harus ada langkah tegas dan luar biasa untuk mengatasi situasi saat ini. ”Semua negara yang berhasil mengendalikan Covid-19 ini adalah melakukan pembatasan optimal atau bahasa lainnya lockdown. Negara-negara tetangga kita, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia, juga melakukan ini. Demikian juga Eropa dan Asia Timur. Untuk Indonesia, pilihannya tinggal dua, PSBB nasional seperti sebelumnya atau lockdown regional per pulau,” katanya.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, kegagalan penanganan wabah di Indonesia terjadi karena hilangnya figur pemimpin ”perang”. ”Dibutuhkan panglima perang yang jelas hadir dalam penanganan pandemi ini. Kalau panglima tertinggi Presiden, panglima perang yang saat ini adalah Menko Perekonomian. Jadi, yang diurus adalah ekonomi semata sehingga apa-apa yang dibicarakan tentang ekonomi. Padahal, menurut Faisal, seharusnya masalah kesehatan diatasi dahulu agar pemulihan ekonomi bisa dilakukan,” katanya.
Sementara itu, Iqbal Elyazar, epidemiolog dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, mengatakan, perlu konsistensi yang tegas dalam implementasi kebijakan oleh pemerintah daerah dan pusat. ”Sangat penting surat terbuka ini juga diberikan kepada para gubernur di sejumlah daerah. Regulasi yang dikeluarkan banyak, tetapi level ketidakpedulian juga terjadi di daerah-daerah,” ujarnya.
Menurut Iqbal, masyarakat jangan diiming-imingi bahwa beberapa daerah sudah berkurang zona merahnya, tetapi data testing tidak pernah dibuka. ”Padahal, data testing seharusnya menentukan pewarnaan zonasi. Sampai saat ini, kita tidak tahu data testing di kabupaten/kota lain, selain DKI Jakarta. Para wali kota dan gubernur perlu menampilkan data testing dan menghilangkan narasi zona hijau,” katanya.
Senior Advisor on Gender and Youth to the WHO Director General sekaligus pendiri CISDI, Diah Saminarsih, mengatakan, pemerintah perlu memprioritaskan pada penguatan layanan kesehatan primer yang memberdayakan kader kesehatan sebagai penunjang layanan. Selain itu, perlu memanfaatkan dan pendistribusian tes antigen di seluruh daerah dengan ledakan kasus tertinggi untuk memperkuat deteksi dan lacak kasus.