Sulit Memutus Penularan, Kasus Covid-19 seperti Puncak Gunung Es
Kesenjangan antara kasus Covid-19 yang dilaporkan dan penularan di komunitas tinggi. Hal itu menjadikan upaya memutus rantai penularan menjadi sulit.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan tes dan lacak menyebabkan kasus Covid-19 di Indonesia seperti puncak gunung es yang terus membesar karena penularan terus terjadi tanpa terdeteksi. Sekalipun Jakarta memiliki cakupan tes tertinggi di Indonesia, orang yang terinfeksi mencapai 12 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Direktur Kebijakan Centre for Indonesia\'s Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (17/6/2021), mengatakan, tingginya kesenjangan antara kasus yang dilaporkan dan yang telah terinfeksi Covid-19 ini ditemukan melalui survei seroprevalensi di Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Survei dilakukan menggunakan tes antibodi untuk memperkirakan persentase orang dalam populasi yang memiliki antibodi SARS-CoV-2 atau pernah terinfeksi Covid-19 pada November 2020-Februari 2021.
”Wilayah ini merupakan yang paling terdampak Covid-19 di periode awal. Responden berusia 15-65 tahun dan analisis dilakukan bekerja sama dengan laboratorium Prodia,” ujarnya.
Dari 3.196 responden yang diperiksa, 956 responden di antaranya reaktif. Ini berarti ada 29,91 persen penduduk usia 15-65 tahun di Kecamatan Tanjung Priok yang telah terinfeksi Covid-19. Padahal, pada periode itu, tingkat infeksi Covid-19 di Tanjung Priok yang terlaporkan sebesar 2,4 persen dari populasi.
”Infeksi ini 12 kali lebih besar dari yang terlaporkan pada periode yang sama,” katanya.
Survei juga menemukan, responden perempuan 1,2 kali lebih banyak terinfeksi Covid-19. Sementara usia 45- 65 tahun 1,5 kali lebih banyak terinfeksi, diikuti 19-24 tahun. Dari segi profesi, pekerja informal 0,8 kali lebih sedikit yang terinfeksi dibandingkan kelompok pekerja lain. Selain itu, 70 persen orang yang telah terinfeksi tidak bergejala.
”Untuk limitasi riset, alat tes serologi yang digunakan tidak dapat menentukan reaktivitas berdasarkan IgM dan IgG. Hal ini menyebabkan kita tidak bisa mengetahui periode infeksinya,” katanya.
Tanpa gejala
Menanggapi hasil survei ini, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DKI Jakarta Lies Dwi mengakui ada kesenjangan antara kasus Covid-19 yang ditemukan dan dilaporkan dibandingkan yang telah terinfeksi. Hal ini karena banyak orang yang tertular tidak bergejala.
”Covid-19 memang menjadi gunung es. Pasti banyak kasus yang tidak terindentifikasi, terutama karena tidak mengalami gejala, sehingga tidak diperiksa walaupun tes di Jakarta sudah masif,” katanya.
Menurut Lies, dari kapasitas tes, DKI Jakarta rata-rata cakupannya 6-9 kali lipat lebih banyak dari dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 per 1.000 penduduk per minggu. ”Kalau dari data tes kami, sampai saat ini sudah ada 450.793 orang di DKI Jakarta yang positif Covid-19, di mana 30 persen adalah kasus asimptomatik (tanpa gejala),” katanya.
Menurut laporan WHO pada 16 Juni 2021, mayoritas provinsi di Indonesia belum memenuhi syarat tes minimal. Selain Jakarta, yang cakupan tesnya sudah memenuhi standar minimal hanya Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Riau sehingga kemungkinan tingginya kesenjangan antara kasus yang dilaporkan dan di masyarakat bisa lebih tinggi.
Covid-19 memang menjadi gunung es. Pasti banyak kasus yang tidak terindentifikasi, terutama karena tidak mengalami gejala, sehingga tidak diperiksa walaupun tes di Jakarta sudah masif.
Berdasarkan survei seroprevalensi secara nasional yang dilakukan WHO dan Kementerian Kesehatan dalam periode Juli 2020-Januari 2021 ditemukan, jumlah kasusnya mencapai 37,5 kali lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan. Survei ini dilakukan terhadap 10.200 sampel.
”Kami juga sedang melakukan survei seroprevalensi bersama FKM UI (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) secara nasional. Saat ini masih finalisasi, tetapi secara umum saya kira sama, angka kejadian Covid-19 di masyarakat lebih tinggi dari yang dilaporkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
Epidemiolog FKM UI, Iwan Ariawan, mengatakan, tingginya kesenjangan antara kasus yang dilaporkan dan penularan di komunitas ini menjadikan upaya memutus rantai penularan menjadi sulit. ”Survei ini menunjukkan di masyarakat banyak yang tertular Covid-19 yang tidak terdeteksi, tetapi bisa menularkan. Padahal, ini jumlahnya paling banyak,” katanya.
Menurut Iwan, banyaknya kasus tidak bergejala tetapi terus menularkan ini menjadi tantangan terbesar kita saat ini. ”Ketika kasus kita masih sedikit, kita masih punya kesempatan untuk melacak kasus. Namun, kalau kasusnya sudah sebesar sekarang, akan sangat sulit karena kapasitas sumber daya kita terbatas,” kata Iwan.
Selain meningkatkan tes dan lacak, menurut Iwan, upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Upaya lain adalah mempercepat vaksinasi.