Kasus Bertambah 12.990 Orang, Desakan Pembatasan Ketat Menguat
Lonjakan kasus Covid-19 yang tak terkendali membuat sistem pelayanan kesehatan terancam kolaps. Sejumlah organisasi profesi kedokteran mendesak pemerintah memperketat pembatasan mobilitas warga, terutama di Pulau Jawa.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus baru Covid-19 yang dilaporkan terus melonjak. Pada Jumat (18/6/2021), jumlah kasus yang terkonfirmasi positif bertambah 12.990 orang dan 290 penderita meninggal. Kondisi penularan tahun ini dikhawatirkan lebih buruk daripada tahun lalu.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Jumat (18/6/2021), mencatat, jumlah kasus baru yang dilaporkan bertambah 12.990 orang dengan 290 kasus kematian. Adapun kasus aktif juga bertambah 4.793 kasus sehingga total kasus aktif yang masih dalam perawatan sebanyak 130.096 kasus.
Adapun jumlah orang yang diperiksa 73.805 orang dalam sehari. Hal itu berarti tingkat kepositifan (positivity rate) atau tingkat penularan harian 17,6 persen. Sementara tingkat kepositifan mingguan periode 6-12 Juni 2021 mencapai 11,48 persen.
Menyikapi lonjakan jumlah kasus Covid-19 tersebut, sejumlah organisasi profesi kedokteran mendesak pemerintah untuk segera membatasi pergerakan masyarakat secara ketat. Kondisi penularan pada tahun ini dikhawatirkan lebih buruk dari tahun lalu. Layanan di rumah sakit sudah terancam kolaps sehingga sejumlah pasien tidak dapat ditampung di rumah sakit.
”Laporan saat ini banyak rumah sakit yang melebihi kapasitas perawatannya, terutama di Pulau Jawa. Ditambah lagi antrean pasien yang masuk di instalasi gawat darurat. Jangan sampai kondisi di India dengan pasien yang bergelimpangan di luar rumah sakit terjadi di Indonesia,” kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, di Jakarta, Jumat (18/6/2021).
Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) Syafri Kamsul Arif. Di sejumlah wilayah, pasien sudah tidak dapat ditampung di ruang perawatan unit pelayanan intensif (ICU) karena layanan yang penuh. Padahal, pasien yang membutuhkan pelayanan ICU sangat berkaitan dengan tingkat mortalitas atau kematian.
Ketua Kelompok Kerja Infeksi PDPI Erlina Burhan menuturkan, kekhawatiran menguat setelah ada laporan temuan varian dari mutasi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19 di Indonesia. Mutasi tersebut, terutama pada varian Delta atau B.1.617.2, berpotensi meningkatkan transmisi atau penularan serta memperberat tingkat keparahan penyakit.
”Peningkatan kasus saat ini sangat cepat dibandingkan dengan tahun lalu. Kita lihat dari tingkat okupansi (keterisian tempat tidur) pada bulan Mei 2021 berkisar 20-30 persen, sekarang meningkat tiba-tiba menjadi 80 persen, bahkan ICU lebih dari itu. Jika pasien yang dirawat semakin banyak dengan kondisi berat, kami khawatir sistem kesehatan akan semakin kolaps,” tuturnya.
Selain terganggunya layanan untuk pasien Covid-19, Ketua Umum Perhimpunan Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sally Aman Nasution menuturkan, pasien dengan penyakit lain, terutama penyakit kronis, juga dikhawatirkan tidak tertangani. Pelayanan yang tertunda pada satu tahun awal pandemi membuat kondisi pasien lebih berat.
Bahkan, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia (Perki) Isman Firdaus menyampaikan, beberapa pasien jantung, termasuk pasien dengan serangan jantung, kesulitan mendapat perawatan di rumah sakit karena layanan yang tersedia sudah terisi penuh oleh pasien Covid-19.
”Karena itu, sekarang harus mulai mengerem mobilitas penduduk, mobilitas masyarakat. Pergerakan masyarakat harus dikurangi dan bila perlu distop sampai kondisi kondusif,” kata Isman.
Pembatasan ketat
Berdasarkan kondisi penularan kasus yang tidak terkendali dan kekhawatiran akan sistem pelayanan kesehatan yang kolaps, lima perhimpunan profesi kedokteran mendorong pemerintah pusat untuk segera menjalankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara menyeluruh dan serentak, terutama di seluruh wilayah di Pulau Jawa. Pemerintah dan pihak berwenang diminta untuk memastikan implementasi serta penerapan PPKM tersebut dijalankan secara maksimal.
”Problematikanya, jika tidak dilakukan PPKM secara serentak dan ketat, penumpukan pasien yang dirawat semakin banyak sehingga pelayanan kesehatan akan kolaps,” ujar Agus.
Adapun lima perhimpunan profesi kedokteran yang mendesak diberlakukan PPKM secara serentak dan ketat tersebut adalah PDPI, Papdi, Perdatin, Perki, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Selain desakan itu, perhimpunan profesi juga mendorong percepatan vaksinasi di masyarakat. Kewaspadaan terhadap varian baru Covid-19 perlu ditingkatkan karena berpotensi meningkatkan penularan, memperberat gejala, meningkatkan risiko kematian, dan menurunkan efek vaksin. Karena itu, pelacakan dan pemeriksaan harus lebih masif.
Problematikanya, jika tidak dilakukan PPKM secara serentak dan ketat, penumpukan pasien yang dirawat semakin banyak sehingga pelayanan kesehatan akan kolaps. (Agus Dwi Susanto)
Covid-19 pada anak
Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan menyebutkan, kasus penularan Covid-19 pada anak sangat tinggi. Data nasional menunjukkan, kasus Covid-19 pada anak usia 0-18 tahun mencapai 12,5 persen dari total kasus yang dilaporkan. Artinya, satu dari delapan kasus Covid-19 di Indonesia merupakan usia anak.
”Angka kematian akibat Covid-19 pada anak 3 persen hingga 5 persen. Jumlah kematian ini yang paling banyak di dunia,” tuturnya.
Aman mengimbau agar orangtua menjaga anak-anaknya dengan baik. Sebaiknya hindari membawa anak keluar rumah kecuali dalam keadaan mendesak. Pastikan pula ruangan memiliki ventilasi yang baik. Protokol kesehatan juga perlu dijalankan secara disiplin, termasuk ketika berada di dalam rumah. Imunisasi pun tetap diberikan secara lengkap untuk menghindari risiko penyakit lainnya.
Terkait sekolah tatap muka, Aman menuturkan, pembukaan sekolah baru bisa dilakukan jika angka kasus baru positif (possitivity rate) sudah di bawah 5 persen. Adapun angka kasus positif harian yang dilaporkan satuan tugas Penanganan Covid-19 per 17 Juni 2021 sebesar 15,91 persen.
”Penerapan sekolah berdasarkan zona juga tidak bisa diberlakukan. Pergerakan masyarakat saat ini tidak ada batasnya sehingga setiap wilayah memiliki risiko yang sama. Wilayah yang kasusnya terlihat rendah bisa disebabkan karena pemeriksaan yang kurang,” katanya.