Pameran virtual Program Kampung Iklim diharapkan dapat mendorong masyarakat di tingkat tapak mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di daerahnya masing-masing.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak perubahan iklim yang kian nyata membuat masyarakat di tingkat tapak melakukan sejumlah upaya mitigasi dan adaptasi dengan membentuk Program Kampung Iklim. Melalui pameran yang dilakukan secara virtual, diharapkan program ini dapat turut diimplementasikan oleh daerah lainnya untuk mengurangi skala risiko dari dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim.
Pameran virtual yang disiarkan melalui akun Youtube Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menampilkan lima Program Kampung Iklim (Proklim) di sejumlah daerah. Lima wilayah tersebut ialah Kelurahan Kampung Bugis (Tanjung Pinang, Kepri), Desa Mensiau (Kapuas Hulu, Kalbar), Kelurahan Purwantoro (Malang, Jawa Timur), Desa Salassae (Bulukumba, Sulawesi Selatan), dan Kelurahan Ahusen (Ambon, Maluku).
Lurah Kampung Bugis Rio Reynaldy menuturkan, sejumlah kegiatan Proklim yang telah dilakukan masyarakat di wilayahnya antara lain optimalisasi bank sampah. Inovasi bank sampah di Kampung Bugis berupa pengelolaan sampah menjadi paving blok, bahkan telah mendapat juara 1 teknologi tepat guna di tingkat Kota Tanjung Pinang.
”Kampung Bugis juga mengembangkan ekowisata berupa tur mangrove. Melalui kerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove), kami melaksanakan penanaman 22.000 bibit mangrove di wilayah seluas 7 hektar,” ujarnya dalam pameran virtual Proklim, Kamis (17/6/2021).
Rio mengatakan, kegiatan Proklim ini telah membangkitkan semangat dan kesadaran masyarakat khususnya nelayan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan masyarakat selama 2020 ini juga dinilai bisa menekan tinggi muka air laut di wilayah pesisir Kampung Bugis.
Kepala Seksi Perubahan Iklim Balai Pengendalian Perubahan dan Karhutla Wilayah Sumatera Syamsuddin menyatakan, sama halnya dengan daerah lain, wilayah Sumatera telah mengalami dampak perubahan iklim. Sejumlah dampak itu, di antaranya, kenaikan muka air laut di pantai timur Sumatera yang mayoritas merupakan ekosistem gambut dan menyebabkan terjadinya abrasi.
”Selain keanekaragaman hayati, dampak perubahan iklim ini juga memengaruhi mata pencarian masyarakat pesisir. Ekosistem gambut yang berfungsi sebagai habitat ikan dan satwa liar juga terganggu. Fungsi sebagai pelindung dan penahan gelombang tsunami menjadi menurun,” katanya.
Selain keanekaragaman hayati, dampak perubahan iklim ini juga memengaruhi mata pencarian masyarakat pesisir. Ekosistem gambut yang menjadi habitat ikan dan satwa liar juga terganggu.
Menurut Syamsuddin, masyarakat Sumatera yang terdampak sudah mulai mencari dan mengetahui dampak perubahan iklim ini. Pengetahuan masyarakat terhadap perubahan iklim akan mendorong mereka melakukan upaya adaptasi dan mitigasi sehingga dapat mengurangi skala risiko dari dampak yang ditimbulkan.
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawaty mengatakan, saat ini dampak perubahan iklim sudah dirasakan, yakni peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin puting beliung.
Guna mengatasi memburuknya dampak perubahan iklim ini, terutama saat pandemi, kata Emma, masyarakat secara konsisten sudah melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Beberapa upaya itu meliputi perubahan gaya hidup ramah lingkungan dengan bersepeda, diet kantong plastik, gerakan mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah atau 3R, serta pemasangan panel surya.
”Dengan kemajuan teknologi digital, kita diuntungkan untuk lebih menyebarluaskan upaya-upaya tersebut menjadi suatu inisiatif atau gerakan yang dapat bermanfaat lebih besar. Pameran virtual yang dimulai hari ini merupakan salah satu pemanfaatan teknologi yang menjadi terobosan,” ujarnya.
Kerentanan desa
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi menyampaikan, langkah dalam menghadapi perubahan iklim telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Adaptasi Perubahan Iklim pada Januari 2021. Dalam acara tersebut, Presiden juga menyampaikan pentingnya menggerakkan potensi dan keterlibatan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat di tingkat tapak sangat penting. Sebab, menurut catatan KLHK yang diambil dan diolah dari data potensi desa Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, terdapat 6.885 desa atau 8,20 persen desa di Indonesia yang kerentanannya sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Sementara 293 desa atau 0,35 persen masuk kategori kerentanan tinggi.
Data tersebut juga menunjukkan, 75.687 desa (90,18 persen) berada pada tingkat kerentanan sedang. Sementara 882 desa (1,05 persen) masuk kategori kerentanan rendah dan 184 desa lainnya (0,22 persen) dikategorikan sangat rendah.
Salah satu keterlibatan masyarakat dalam mengatasi perubahan iklim dilakukan melalui Proklim. Sebanyak 20.000 desa Proklim ditargetkan dapat dibentuk hingga 2024. Untuk mencapai target tersebut, Proklim akan bersinergi dengan program strategis lainnya di lingkup KLHK atau kementerian/lembaga lainnya, serta pemerintah daerah.