Perlindungan Lingkungan dari Aktivitas Industri Petrokimia Hulu Masih Lemah
Regulasi industri petrokimia hulu dan antara perlu diperketat. Hal itu untuk memastikan tidak ada pencemaran plastik dari setiap kegiatan industri tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri petrokimia hulu dan antara dinilai menjadi sumber pencemaran plastik yang belum dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sampah. Regulasi perlindungan lingkungan dari industri itu lemah. Karena itu, aturan terkait petrokimia hulu perlu diperketat untuk memastikan tak ada pencemaran plastik dari kegiatan industri.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring mengemukakan, industri petrokimia hulu dan antara memiliki potensi dan terus berkembang setiap tahun. Akan tetapi, aspek perlindungan lingkungan industri ini tidak pernah berkembang sejak dulu.
”Aspek perlindungan lingkungan ini sangat penting untuk mengatur dan memonitor industri petrokimia hulu dan antara,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Industri Petrokimia Hulu: Menilik Sumber Pencemaran Plastik yang Tidak Terlihat”, di Jakarta, Senin (14/6/2021).
Raynaldo mencontohkan, beberapa kasus pencemaran bijih plastik dari industri petrokimia hulu dan antara di sejumlah negara sangat berdampak pada lingkungan. Beberapa kasus itu, di antaranya pencemaran biji plastik yang dilakukan Formosa Plastics Corp di Amerika Serikat dan kebakaran kapal X-Press Pearl di Sri Lanka hingga mencemari ekosistem laut setempat.
Kasus Formosa Plastics Corps bahkan telah sampai ke meja pengadilan. Dalam perkara yang berakhir dengan putusan perdamaian tersebut, Formosa Plastics Corps sepakat untuk melakukan berbagai perbaikan proses produksi dan pengelolaan lebih ketat serta melakukan sejumlah pembayaran. Hal itu untuk menjamin tidak ada plastik yang lepas kembali ke lingkungan.
”Kita bisa melihat dari berbagai kasus ini bahwa potensi pencemaran dari proses produksi plastik sangat tinggi. Jadi, penting untuk membicarakan konteks regulasi yang ketat agar kita bisa menata kepatuhan dan instrumen lainnya bagi pelaku usaha petrokimia hulu dan antara,” tuturnya.
Menurut Raynaldo, regulasi untuk menjamin kepatuhan kegiatan industri sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Namun, UU itu dinilai hanya fokus kepada pembangunan sektor industri dan sangat sedikit menyinggung perlindungan lingkungan hidup.
Penting untuk membicarakan konteks regulasi yang ketat agar kita bisa menata kepatuhan dan instrumen lainnya bagi pelaku usaha petrokimia hulu dan antara.
Sementara UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum memiliki ketentuan yang secara khusus mengatur baku mutu industri petrokimia hulu dan antara. Hal lain yang belum diatur dalam UU ini adalah berbagai polutan spesifik yang muncul akibat rantai produksi plastik.
Raynaldo menilai, salah satu cara memperketat regulasi industri petrokimia hulu dan mencegah pencemaran plastik adalah dengan mengoptimalkan materi dalam UU No 32/2009. Optimalisasi materi itu, antara lain, pada aspek asas kehati-hatian, asas pencemar membayar, instrumen pencegahan, serta pengawasan kepatuhan dan sanksi.
Pengajar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung, Retno Gumilang Dewi, menekankan pentingnya tidak mengimpor plastik kualitas rendah dalam proses industri petrokimia karena hanya akan menambah beban limbah plastik. Upaya ramah lingkungan harus dilakukan dengan meningkatkan permintaan plastik daur ulang.
”Pemanfaatan plastik daur ulang harus diimbangi dengan pembatasan limbah plastik. Kemudian arah pengembangan produk turunan berbasis sawit dan minyak nabati lainnya serta bio-based material atau bioplastic harus ditingkatkan,” ucapnya.
Peran produsen
Pengampanye Senior Center for International Environmental Law (CIEL) Jane Patton menegaskan, 99 persen plastik dibuat dari bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Plastik tersebut juga diproduksi oleh perusahaan yang bergerak di sektor bahan bakar fosil. Namun, belum semua orang mengetahui hal ini sehingga perlu mengaitkan antara plastik dan produsen asalnya.
”Perusahaan-perusahaan ini berkontribusi menumpuk sampah plastik karena pada tahun 2025 mereka justru berencana meningkatkan kapasitas produksi, terutama jenis ethylene dan propylene. Ini berarti akan ada ekspansi besar-besaran untuk membuat produksi plastik selama beberapa dekade ke depan,” ujarnya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan CIEL, emisi yang dihasilkan dari proses produksi plastik setara dengan emisi dari 189 pembangkit listrik tenaga batubara. Jika ekspansi terus berlanjut, diperkirakan emisi dan limbah plastik pada 2050 akan setara dengan 615 pembangkit listrik tenaga batubara.
Meski demikian, Jane memandang selama ini kampanye tentang plastik baru mencakup dampak bagi lingkungan dan perubahan iklim. Sementara dampak plastik bagi kesehatan belum banyak dibahas oleh sejumlah pihak. Padahal, masyarakat, khususnya di sekitar lokasi pabrik, terancam kesehatannya, baik karena proses pembakaran maupun limbah dari pembuatan plastik.
”Masyarakat dan pelaku kampanye harus banyak memahami produksi plastik sehingga bisa menghentikan penimbunan plastik. Jadi, kita harus mengetahui rantai pasok plastik secara keseluruhan,” tuturnya.