Manusia Kerdil di Manggarai karena Genetik dan Lingkungan
Keberadaan populasi orang pendek di desa-desa sekitar Liang Bua di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ternyata secara genetika tidak terkait dengan Homo floresiensis yang fosilnya ditemukan di gua Liang Bua.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelainan genetik yang dipicu oleh adaptasi terhadap kondisi lingkungan menjadi faktor utama keberadaan orang pendek yang ditemukan di desa-desa sekitar Liang Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Genom orang kerdil ini dipastikan tidak memiliki bauran dengan genetika manusia hobit purba Homo floresiensis yang fosilnya ditemukan di goa Liang Bua.
”Keberadaan populasi pendek atau pigmi modern (Homo sapiens) di desa dekat goa Liang Bua, tempat ditemukannya fosil Homo floresiensis atau hobit, telah lama menjadi tanda tanya. Apakah mereka memiliki kaitan genetik,” kata ahli genetika populasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo, di Manggarai, Rabu (9/6/2021).
Menurut Herawati, selain di Manggarai, manusia kerdil juga ditemukan di Papua. Sementara di luar Indonesia bisa dijumpai di Afrika, Filipina, dan Andaman. ”Mitos warga sekitar Liang Bua menunjukkan adanya kaitan itu. Namun, riset kami memberikan hasil berbeda, manusia kerdil modern di Manggarai tidak terkait dengan Homo floresiensis,” katanya.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah tim peneliti Eijkman, bekerja sama dengan tim ilmuwan internasional, melakukan pengurutan dan menganalisis genom dari 32 orang kerdil dari Desa Rampasasa, di sekitar Liang Bua. Sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Human Genomics pada 2018.
Serena Tucci, ahli evolusi biologi dari Princeton University, yang menjadi penulis pertama paper itu menyebutkan, analisis genomik ini menunjukkan tidak adanya keterkaitan genetik antara manusia kerdil modern dan Homo floresiensis. ”Tidak ada indikasi gene flow (aliran gen) dari hobit (Homo floresiensis) ke orang yang ada sekarang ini,” sebut Tucci dan tim.
Kajian arkeolog MJ Morwood di jurnal Nature pada 2004 menyebutkan, fosil Homo floresiensis di Liang Bua berumur sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun lalu. Keberadaan mereka lebih awal dibandingkan dengan kedatangan manusia modern tertua di Indonesia yang jejaknya ditemukan di sejumlah daerah sekitar 50.000 tahun lalu.
Sebagai perbandingan, Homo floresiensis rata-rata memiliki tinggi 106 sentimeter (cm), sedangkan tinggi rata-rata orang kerdil di Rampasasa 145 cm.
Data lebih rinci tentang status antropometri, hematologi, biokimia dan endokrin pada populasi pigmi yang tinggal di Rampasasa dilaporkan Aman Pulungan dari Departemen Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Journal of Pediatric Endocrinology and Metabolism pada April 2021. Disebutkan, tinggi rata-rata untuk pria dewasa adalah 144,7 cm, sedangkan wanitanya rata-rata 139,3 cm.
Mitos warga sekitar Liang Bua menunjukkan adanya kaitan itu. Namun, riset kami memberikan hasil berbeda, manusia kerdil modern di Manggarai tidak terkait dengan Homo floresiensis.
Seleksi alam dan evolusi
Menurut Herawati, tim peneliti juga membandingkan genom orang kerdil di Rampasasa dengan populasi lain. Hasilnya ditemukan orang Rampasasa memiliki bauran DNA manusia purba lainnya, yakni Neanderthal dan Denisovan, sebagaimana populasi lain di Asia Tenggara. ”Tidak ditemukan gen purba lain di luar Neanderthal dan Denisovan sehingga bisa dikatakan tidak ada aliran gen dari Homo floresiensis,” ujarnya.
Dari komposisi genetikanya, orang pendek di Manggarai ini memiliki bauran dari Asia Timur, Asia Tenggara, dan Oseanik (Papua). Mereka memiliki gen Papua 23,2 persen dan Denisovan 0,8 persen. Komposisi gen Denisovan mereka lebih tinggi dari rata-rata populasi di Asia Tenggara lainnya, tetapi lebih kecil dari rata-rata orang Papua yang sekitar 3 persen.
Komposisi genetika di Manggarai ini relatif sama dengan populasi lain di Nusa Tenggara Timur yang rata-rata juga memiliki bauran dengan Papua. Perbedaan manusia pendek di Manggarai dengan populasi modern lain hanya dalam gen yang berhubungan dengan tinggi badan dan makanan.
Tinggi badan diketahui merupakan sifat yang diwariskan. Ahli genetika telah mengidentifikasi banyak gen dengan varian tertentu yang berasosiasi dengan perawakan yang lebih tinggi atau lebih pendek.
Herawati mengatakan, analisis genomik yang dilakukan juga mengungkapkan bahwa perubahan evolusioner populasi di Manggarai sehingga menjadi kerdil berasosiasi dengan pola makan. Evolusi perawakan pendek pada orang kerdil Flores merupakan hasil seleksi alam yang bekerja pada variasi genetik yang sudah ada sebelumnya.
”Ada bukti seleksi pada gen untuk enzim yang terlibat dalam metabolisme asam lemak yang disebut dengan enzim FADS (asam lemak desaturase). Gen-gen ini telah dikaitkan dengan adaptasi diet pada populasi lain, termasuk Inuit di Greenland,” kata Herawati.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa pernah ada peristiwa di masa lalu yang dialami oleh leluhur orang pendek di Rampasasa ini yang menyebabkan pola makan mereka berubah secara dramatis. Perubahan ini diadaptasi oleh seleksi alam yang mendukung varian tertentu dari gen-gen itu.
Untuk mengetahui peristiwa alam itu di masa lalu, menurut Herawati, diperlukan studi lebih lanjut dan multidisiplin, termasuk ilmu lingkungan dan geologi untuk memahami evolusi yang khas di pulau kecil. Selain temuan fosil manusia hobit, di sekitar Liang Bua dan Lembah Soa, Kabupaten Ngada, juga ditemukan fosil stegodon kerdil.
Sebaliknya, di beberapa pulau kecil di sekitar Flores ditemukan komodo, reptil terbesar. Selain itu, di Flores juga ditemukan tikus raksasa (Papagomys armandvillei) dengan panjang tubuh hingga 45 cm.