Makian Mengubur Catatan Kelam
Di balik ketidakpopuleran Pulau Makian karena ada potensi bencana abadi dari Gunung Kie Besi, terdapat “harta karun” yang kini mencoba digali dan dikenalkan oleh masyarakat lokal.
Pulau Makian selama ini bukan destinasi wisata utama masyarakat yang singgah di Maluku Utara. Pamornya kalah jauh dengan Pulau Bacan yang masih satu wilayah Kabupaten Halmahera Selatan. Namun, di balik ketidakpopuleran Pulau Makian karena ada potensi bencana abadi dari Gunung Kie Besi, terdapat ”harta karun” yang kini mencoba digali dan dikenalkan oleh masyarakat lokal.
Gelombang laut yang tenang mengiringi perjalanan rombongan birokrat dan wartawan yang mengikuti kunjungan ke Desa Sebelei, Makian Barat, Pulau Makian, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara, Kamis (3/6/2021). Sekitar dua jam perjalanan tampak tidak ada gelombang besar yang menerjang. Rombongan pun tiba di pesisir Desa Sebelei setelah melintasi empat pulau dari titik pemberangkatan di Pelabuhan Bastiong, Ternate.
Berbeda dengan beberapa pulau lainnya di wilayah Ternate, Tidore, maupun Halmahera Selatan, Desa Sebelei di Pulau Makian tidak memiliki dermaga khusus untuk menambatkan kapal. Penumpang kapal harus turun dengan jarak 2-3 meter dari pesisir pantai.
Penumpang tidak merasakan air terlalu tinggi saat menuruni kapal jika air laut tengah surut. Namun, saat pasang dan gelombang tinggi, penumpang butuh upaya lebih untuk turun atau naik ke kapal. Setelah turun, penumpang harus berjalan menaiki tangga agar sampai ke rumah warga. Bahkan, perlu waktu 10-15 menit berjalan atau jarak 2-3 kilometer untuk sampai ke rumah kepala desa.
Baca juga : Akses Legal Pengelolaan Hutan bagi Masyarakat Sekitar Hutan Dikuatkan
Di Pulau ini, hanya satu operator jaringan yang dapat menerima sinyal. Itu pun tidak di semua wilayah, tetapi hanya di titik-titik tertentu. Beruntung, jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah masuk wilayah Desa Sebelei.
Namun, menurut Kepala Desa Sebelei, Samiun Ibrahim, masyarakat baru bisa menikmati jaringan listrik dari PLN sejak tiga tahun yang lalu. ”Sebelum adanya listrik dari PLN, masyarakat menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan listriknya,” tuturnya.
Berdasarkan data terakhir tahun 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halsel, wilayah Pulau Makian terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Pulau Makian dan Makian Barat. Wilayah kecamatan Pulau Makian terdiri dari 15 desa dan 7 desa di Makian Barat.
Selain itu BPS mencatat, sarana pendidikan di Pulau Makian sebanyak 12 sekolah dan Makian Barat 6 sekolah. Akan tetapi, mayoritas sarana pendidikan di Pulau Makian ini sudah rusak dan tidak layak pakai. Beberapa sekolah dengan kondisi memprihatinkan, khususnya di Desa Sebelei ini, yaitu SD Negeri 26 Halmahera Selatan dan SMP Negeri 37 Halmahera Selatan.
Kegiatan belajar mengajar di SMP 37 Halsel tidak bisa berjalan maksimal karena sejumlah ruangan kelas beserta meja, kursi, serta papan tulis rusak dan hancur termakan usia. Menurut pengakuan warga, lokasi sekolah yang berada di tengah hutan menjadi tempat babi hutan berkeliaran pada malam hari. Ini diperparah dengan hancurnya tembok yang membatasi sekolah dengan area hutan.
Baca juga : Perhutanan Sosial Didorong untuk Minimalkan Konflik
Kondisi SDN 26 Halsel lebih memprihatinkan. Guru dan murid harus dihantui oleh ancaman longsor akibat abrasi. Tembok pembatas sekolah bahkan hancur diterjang abrasi sejak tahun lalu. Kondisi ini sangat berbahaya bagi para siswa ketika beraktivitas di luar ruangan karena kini sekolah hanya berjarak kurang dari 3 meter dari bibir pantai.
Nuraini Abdullah, guru di SDN 26 Halsel, menyebut guru sudah mengajukan perbaikan sekolah kepada pemerintah daerah sejak tahun lalu. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kepastian kapan sekolah akan diperbaiki atau dipindah ke daerah lebih aman. ”Semua bangunan, meja, dan kursi juga tak layak pakai,” ujarnya.
Sejarah bencana
Kurangnya sejumlah infrastruktur di Pulau Makian beralasan lantaran wilayah ini memiliki potensi bencana abadi berupa letusan gunung api Kie Besi yang masih aktif sampai saat ini. Wilayah kepulauan Maluku Utara juga masih rawan akan gempa tektonik dan vulkanik.
Saat menetap di Desa Sebelei, rombongan wartawan juga merasakan gempa dengan kekuatan 6,1 magnitudo yang berpusat di 135 kilometer barat daya Ternate dengan kedalaman 10 kilometer.
Berdasarkan catatan Kompas, saat melakukan ekspedisi Cincin Api pada 2012, penduduk di Pulau Makian sejak masa kolonial kerap diungsikan karena terjadi letusan Gunung Kie Besi. Saat gunung dengan ketinggian lebih dari 1.300 meter di atas permukaan laut ini meletus pada 1760, sekitar 5.000 orang diungsikan ke Ternate.
Satu abad berselang atau tepatnya pada 1861, Gunung Kie Besi kembali meletus dan sekitar 6.000 penduduk diungsikan ke Pulau Moti. Sempat tertidur 29 tahun, Kie Besi melontarkan bebatuan dan lava pijar pada 1890 selama dua hari. Namun, tak ada data rinci tentang bagaimana letusan itu terjadi dan berapa banyak korban yang jatuh.
Letusan besar terakhir Kie Besi terjadi pada 29 Juli 1988 dan membuat semua warga Pulau Makian diungsikan ke pulau-pulau sekitarnya. Dalam catatan sejarah, letusan gunung ini sudah membunuh lebih dari 5.000 jiwa sejak tahun 1550 (Kompas, 27/7/2012).
Riwayat letusan dahsyat tersebut membuat Bupati Maluku Utara saat itu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 9/19-I/MU/75 tanggal 30 Juni 1975 tentang pengosongan Pulau Makian dari aktivitas pemerintahan dan penduduk. Keputusan tersebut diambil setelah Direktorat Vulkanologi Bandung—sekarang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi—menyimpulkan seluruh wilayah di pulau kecil itu rawan dilanda letusan Gunung Kie Besi.
Samiun menceritakan, penduduk asli Pulau Makian tidak bisa lepas dari tanah leluhurnya. Samiun mengingat momen ketika ia dan orangtuanya harus mengungsi akibat letusan Gunung Kie Besi pada 1988. Akan tetapi, setelah Kie Besi tak lagi menggeliat, penduduk berangsur-angsur kembali menetap di Pulau Makian.
”Semua yang ada, baik bangunan maupun tanaman di Pulau Makian, hancur terkena letusan Kie Besi. Hanya pohon kenari yang masih kokoh berdiri terkena letusan,” kenangnya.
Harta karun
Terlepas dari kondisi infrastruktur yang masih tertinggal dan sejarah letusan gunung api tersebut, Pulau Makian sejatinya memiliki ”harta karun” yang belum diolah secara optimal. Harta karun itu adalah pohon kenari. Menurut pengakuan sejumlah warga, Pulau Makian, terutama di Desa Sebelei, menjadi wilayah dengan pohon kenari terbanyak di Halmahera Selatan.
Harta karun ini kemudian diketahui oleh Timurasa, perusahaan rintisan yang diinisiasi oleh kumpulan pemuda dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dengan fokus memasarkan produk asli Indonesia, tetapi belum terserap pasar secara maksimal. Timurasa bersama yayasan yang dinaunginya, yakni Nirudaya, juga menjalin kemitraan dengan Program Kehutanan Multipihak Fase 4 (MFP4) yang didanai pemerintah Inggris sejak tahun 2000.
Berdasarkan proyeksi, kemitraan Timurasa dengan MFP4 ditargetkan dapat mencapai manfaat agroforestri, lingkungan, sosial, dan finansial. Dari sisi agroforestri, program ini menargetkan memperoleh produksi kacang kenari dari minimal tiga lokasi, yakni Makian (Maluku Utara) serta Pantar dan Alor (Nusa Tenggara Timur). Melalui program ini, diharapkan dapat menjalin kerja sama dengan 750 petani di lahan sekitar 4.000 hektar.
Semua yang ada, baik bangunan maupun tanaman di Pulau Makian, hancur terkena letusan Kie Besi. Hanya pohon kenari yang masih kokoh berdiri terkena letusan.
Program ini juga memiliki manfaat lingkungan karena wilayah tumbuhnya pohon kenari memiliki risiko pembukaan lahan untuk penanaman komoditas pertanian seperti jagung atau padi. Dengan menunjukkan ada permintaan pasar besar terhadap kacang kenari, penduduk akan mendapat insentif untuk memelihara pohon kenari di hutan dan tidak mengonversi lahan.
”Fokus Timurasa adalah mendistribusikan dan memasarkan kenari. Seiring berjalannya waktu, kami juga membutuhkan kolaborasi lebih luas karena melihat aspek termasuk lingkungan. Saat ini beberapa lembaga juga terlibat seperti Kementerian Desa serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata CEO Timurasa Erdi Rulianto.
Rencana pengembangan kenari ini pun disambut baik dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Halsel maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Saat mengunjungi Pulau Makian Asisten 1 Bidang Pemerintahan, Sekretaris Daerah Halsel Amirudin Dukomalamo berpesan kepada perangkat Desa Sebelai untuk segera menyusun dan mengajukan rencana perbaikan infrastruktur khususnya dermaga kepada Pemkab Halsel.
”Perbaikan infrastruktur ini sangat dibutuhkan. Sebab, jika nantinya program pengembangan kenari ini meluas, akan banyak orang luar yang mendatangi Pulau Makian untuk melihat langsung pengolahan dari petani,” ucapnya.
Pulau Makian memiliki catatan bencana letusan Gunung Kie Besi yang membuat penduduk terpaksa harus diungsikan dan sempat mendapat rekomendasi untuk tidak kembali ditinggali. Namun kini, masyarakat Makian mulai mengubur catatan kelam itu karena ada potensi kenari dan hasil hutan bukan kayu lainnya yang belum sepenuhnya terolah dengan optimal.
Peran pemangku kebijakan pun dinanti untuk mengedukasi pentingnya mitigasi bencana kepada penduduk Pulau Makian. Sebab, tanah yang mereka pijak tidak hanya menyimpan harta karun tak ternilai, tetapi juga amukan Gung Kie Besi yang bisa bangun dari tidurnya setiap saat.