Keterlibatan Warga Tentukan Keberhasilan Restorasi Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang terus terancam. Upaya restorasi pun perlu dilakukan secara masif. Keterlibatan masyarakat lokal di sekitar perairan tempat terumbu karang hidup diperlukan agar restorasi bisa berkelanjutan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanpa intervensi yang berarti, 90 persen populasi terumbu karang tropis di dunia diperkirakan akan hilang pada 2043. Karena itu, restorasi terumbu karang penting dilakukan, termasuk di Indonesia yang memiliki permukaan laut yang luas. Keterlibatan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar perairan pun amat dibutuhkan.
Marine Program Manager Mars Sustainable Solutions, Saipul Rapi, mengatakan, keterlibatan masyarakat lokal diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dari upaya restorasi terumbu karang. Hal ini pula yang menjadi tantangan saat awal program restorasi dijalankan.
”Secara teknis, tantangan dalam upaya restorasi yaitu menemukan teknik restorasi yang paling bagus yang bisa dibuat secara masif. Kita juga perlu mempelajari arus laut yang cocok bagi restorasi. Namun, tantangan terbesar justru bagaimana bisa mendorong masyarakat lokal turut dalam upaya restorasi ini,” katanya dalam acara jumpa media terkait peluncuran program Hope Reef yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Hope Reef merupakan program restorasi terumbu karang yang dilakukan secara kolaboratif antara swasta, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal. Program ini sudah berjalan sejak 2019 di perairan Pulau Bontosua, Sulawesi Selatan. Program ini menargetkan restorasi terumbu karang seluas hingga 185.000 meter persegi pada 2029.
Saipul menuturkan, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mendorong keterlibatan masyarakat setempat. Sebelum restorasi dijalankan, edukasi dan sosialisasi dijalankan secara masif. Selain itu, kegiatan penunjang lainnya juga dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat, seperti mendukung kegiatan sekolah dengan edukasi mengenai pentingnya menjaga terumbu karang serta memfasilitasi penjualan hasil tangkap laut dari masyarakat.
Namun, tantangan terbesar justru bagaimana bisa mendorong masyarakat lokal turut dalam upaya restorasi ini. (Saipul Rapi)
Di sela-sela kegiatan penunjang itulah, sosialisasi terkait restorasi terumbu karang dilakukan. Upaya restorasi yang dijalankan pun sebisa mungkin menggunakan bahan-bahan lokal. Seluruh proses harus melibatkan masyarakat setempat karena nantinya hasil yang didapatkan juga akan dirasakan oleh masyarakat.
”Dalam program restorasi yang dijalankan kali ini, kami menggunakan metode Marrs (mars assisted reef restoration system). Metode ini dilakukan dengan struktur reef star yang dibuat secara manual dari baja. Struktur inilah yang menjadi tempat bagi karang untuk tumbuh kembali,” kata Saipul.
Secara teknik, stuktur reef star dibuat menyerupai jaring laba-laba dengan panjang sekitar 90 sentimeter. Struktur ini dibuat dengan bahan baja yang kemudian dilapisi dengan pasir koral. Setelah itu, potongan kecil batu karang yang didapatkan secara bertanggung jawab ditempelkan pada setiap batang reef star tersebut.
Kemudian, delapan orang akan bersiap untuk menurunkan struktur tersebut dari atas perahu dan dua orang lagi bertugas untuk menyusun reef star di dasar laut. Penempatan reef star tidak boleh terlalu dalam, yakni berkisar 2-7 meter dari permukaan laut agar penetrasi sinar matahari masih bagus. Hindari pula dasar laut yang berlumpur karena tidak cocok sebagai tempat restorasi terumbu karang.
”Model ini bisa direplikasi di mana saja, asalkan substrat dasar laut cocok. Metode ini juga sudah dilakukan di sejumlah perairan lainnya di Indonesia, seperti Taman Nasional Laut Taka Bonerate (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Bunaken (Sulawesi Utara), dan Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara),” tutur Saipul.
Chief Marine Scientist Mars, David Smit, menyampaikan, Sulawesi dipilih sebagai lokasi program restorasi karena letaknya yang strategis di jantung kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle). Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga ditemukan lebih banyak spesies laut dibandingkan dengan perairan lain di dunia.
Terumbu karang berfungsi stategis sebagai tempat tinggal biota laut. Sayangnya, kondisi terumbu karang telah terancam dari berbagai praktik yang tidak baik, seperti eksploitasi berlebihan, penangkapan ikan dengan cara merusak, polusi, dan perubahan iklim. Jika telanjur rusak, upaya restorasi yang dilakukan membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaiki ekosistem laut.
Country Director Mars Pet Nutrition Indonesia Susan Wan menambahkan, upaya restorasi yang diinisasi oleh Mars ini telah membuahkan hasil. Pertumbuhan karang sekitar Pulau Bontosua dari semula hanya 5 persen kini menjadi 55 persen. Selain itu, ia mengklaim populasi ikan yang ada di sekitar perairan itu naik sampai 300 persen.
”Kerusakan terumbu karang ini tidak bisa dibiarkan. Para ilmuwan sudah memperkirakan 90 persen terumbu karang tropis di dunia akan lenyap pada 2043 jika kita hanya berdiam diri. Itu dapat mengancam 25 persen kehidupan laut dunia. Padahal, lebih dari 500 juta orang menggantungkan hidupnya pada terumbu karang sebagai sumber makanan, pendapatan, dan perlindungan pesisir,” ujarnya.