Alarm H10N3 dari China dan Ancaman Pandemi Berikutnya
Ditemukannya kasus pertama infeksi flu burung H10N3 pada manusia di China jadi alarm memperbaiki relasi kita dengan alam. Virus dengan lebih dari 200 varian ini patut diwaspadai sebagai sumber pandemi ke depan.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Komisi Kesehatan Nasional Beijing (NHC), Rabu (2/6/2021), mengumumkan, seorang pria berusia 41 tahun di Provinsi Jiangsu, China bagian timur, telah dikonfirmasi sebagai kasus manusia pertama yang terinfeksi jenis flu burung langka yang dikenal sebagai H10N3. Pria itu dirawat di rumah sakit pada 28 April dan didiagnosis dengan H10N3 pada 28 Mei. Sejauh ini, kondisinya stabil.
Laporan ini tidak merinci bagaimana pria itu terinfeksi, tetapi penyelidikan dari kontak dekatnya tidak ditemukan kasus lain. ”Tidak ada kasus H10N3 pada manusia yang dilaporkan di dunia. Kasus ini sesekali terjadi penularan lintas spesies unggas ke manusia dan risiko penyebaran skala besar amat rendah,” kata NHC, seperti disebut Global Times.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa ”saat ini tidak ada indikasi penularan dari manusia ke manusia”.
Namun, karena virus flu burung masih beredar luas di unggas, menurut keterangan WHO, infeksi sporadis flu burung pada manusia sangat mungkin terjadi. ”Ini merupakan pengingat nyata bahwa ancaman pandemi influenza terus berlanjut,” jelas WHO.
Peringatan WHO ini perlu jadi perhatian bahwa virus flu burung yang memiliki lebih dari 200 varian merupakan ancaman besar bagi manusia, bahkan berpotensi menjadi sumber pandemi berikutnya. Selain itu, kejadian ini memberi pelajaran bahwa China yang kini jadi salah satu episentrum ekonomi dunia juga sangat rentan menjadi pusat epidemi.
Ancaman flu burung
Ahli kesehatan hewan dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies, Tri Satya Putri Naipospos, mengatakan, kita harus terus waspada pada setiap varian virus flu burung, yang terus bersirkulasi di peternakan unggas di dunia. ”Virus ini punya sejarah mampu menjangkiti manusia meski penularan orang ke orang sebagaimana terjadi dengan H7N9 terbatas,” ujarnya.
Menurut Tri, virus flu burung memiliki kombinasi yang sangat banyak dan karena itu memiliki banyak varian. ”Variasi N ada 16 dan N ada 9 sehingga kombinasinya lebih dari 200 varian,” katanya.
Virus ini punya sejarah mampu menjangkiti manusia meski penularan orang ke orang sebagaimana terjadi dengan H7N9 terbatas.
Virus H1N1 atau kerap dikenal sebagai flu Spanyol 1918 juga masih memiliki kaitan dengan virus unggas ini. Laporan penelitian Michael Worobey, ahli biologi evolusi dari Universitas Arizona, di jurnal Nature pada Februari 2014 menunjukkan, virus yang menyebabkan pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia modern itu berasal dari unggas peliharaan dan burung liar Amerika Utara.
Setelah pandemi 1918 ini, beberapa kali varian virus ini memicu masalah global. Sebagian besar dampaknya pada binatang dan sesekali menyerang manusia. Misalnya, wabah yang disebabkan strain H7N9 menewaskan sekitar 300 orang pada tahun 2016 dan 2017.
Sebelumnya, strain atau galur flu burung H5N1 mewabah sejak 2003, yang menurut laporan WHO pada 2020 secara akumulatif telah menginfeksi 861 orang dengan total korban jiwa sebanyak 455 orang. Indonesia merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak akibat virus ini, yaitu dari 200 orang yang terinfeksi, 168 orang meninggal.
Saat ini salah satu varian flu burung virus H5N8 sejak 2020 hingga kini masih menimbulkan wabah pada unggas di Eropa, Amerika, dan Australia. Pada Feburari 2021, Rusia telah melaporkan kasus pertama orang yang terinfeksi H5N8. Mereka yang terinfeksi adalah tujuh pekerja di peternakan ayam.
”Para ahli mengatakan, dari beragam varian flu burung ini, yang sementara ini perlu diwaspadai karena dianggap high pathogenic avian influenza adalah H5 dan H7. Sementara H10 digolongkan low pathogenic,” kata Tri.
Sekalipun demikian, virus flu ini diketahui memiliki kemampuan mutasi yang cepat. ”Di kalangan ahli, pandemi influenza masih tetap ancaman besar. Namun, kita belum tahu, varian mana yang akan menjadi pandemi berikutnya. Virus flu ini terus berevolusi dan ini harus diwaspadai,” kata Tri.
Episenter wabah
Untuk mengantisipasi pandemi berikutnya, kita perlu memetakan titik panas yang berisiko menjadi episenter awal wabah. Perubahan penggunaan lahan global, termasuk penggundulan hutan, perluasan pertanian dan produksi ternak telah menciptakan titik panas yang berisiko memicu lompatan virus dari binatang ke manusia.
Dengan mengacu pada parameter ini, kajian terbaru oleh para peneliti di University of California, Berkeley, yang dipublikasikan di jurnal Nature Food pada 31 Mei 2021 menunjukkan, China dan Asia Tenggara menjadi titik panas utama zoonosis. Dalam kajian ini, analisis terutama dilakukan terhadap potensi zoonosis virus korona dari kelelawar tapal kuda ke manusia.
Studi ini memakai penginderaan jauh untuk menganalisis pola penggunaan lahan di seluruh jangkauan kelelawar tapal kuda, yang membentang dari Eropa Barat hingga Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Kelelawar tapal kuda yang diketahui menjadi inang dari sejumlah virus korona yang bisa melompat ke manusia termasuk strain yang secara genetik mirip dengan yang menyebabkan Covid-19 dan sindrom pernapasan akut parah (SARS).
Dengan mengidentifikasi area fragmentasi hutan, permukiman manusia, produksi pertanian dan peternakan, serta membandingkannya dengan habitat kelelawar tapal kuda yang diketahui, para peneliti mengidentifikasi titik panas potensial di mana habitat menguntungkan bagi spesies kelelawar ini, dan virus zoonosis ini berpotensi melompat dari kelelawar ke manusia.
Analisis juga mengidentifikasi lokasi-lokasi yang mudah menjadi titik panas atau hot spot dengan perubahan penggunaan lahan. ”Perubahan penggunaan lahan dapat berdampak penting pada kesehatan manusia, karena kita memodifikasi lingkungan dan juga karena mereka bisa meningkatkan paparan kita terhadap penyakit zoonosis,” kata Paolo D’Odorico, profesor ilmu lingkungan, kebijakan, dan manajemen di UC Berkeley, yang menjadi penulis studi.
Berdasarkan studi ini ditemukan, sebagian besar titik panas bagi risiko lompatan virus korona baru berada di China. Ini karena peningkatan permintaan produk daging telah mendorong perluasan peternakan industri skala besar. Selain China, Indonesia, khususnya Pulau Jawa, juga dianggap berisiko.
Tri menegaskan, keberadaan China sebagai titik panas penyakit menular tidaklah mengherankan. Sejak dulu banyak epidemi berasal dari negara ini. Dua pandemi flu pada abad ke-20, yaitu flu Asia dan flu Hong Kong, yang memicu tiga juta kematian secara global, bermula dari China.
Demikian juga SARS, flu burung H5N1, dan sekarang Covid-19 bermula dari China. Sebelumnya, China juga mengalami munculnya flu burung H7N9 dan severe fever thrombocytopenia syndrome (SFTS), serta munculnya kembali rabies, brucellosis, dan zoonosis lainnya.
Menurut Tri, tingginya kepadatan populasi dan kontak dekat dengan banyaknya spesies hewan yang potensial menjadi reservoir virus memberikan peluang lebih mudah bagi virus-virus untuk melompat keluar. Begitu juga faktor seperti perdagangan satwa liar yang berlangsung setiap hari dan sungai-sungai yang penuh kotoran berulang kali menyebabkan munculnya virus-virus baru.
Sejak kasus SARS tahun 2002 dan 2003, China telah meningkatkan kapasitasnya dalam menangani wabah penyakit menular. Dalam kasus pandemi Covid-19, mereka berhasil meredam penularan lebih luas di negaranya sendiri, tetapi gagal mencegah wabah menyeberang perbatasan negara. Kini, wabah Covid-19 terus menghebat di banyak negara lain dan berpeluang menjadi salah satu penyakit yang endemis.