Pencemaran plastik terus terjadi. Untuk itu, tim peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional mengembangkan inovasi untuk mengurangi timbulan sampah plastik melalui proses daur ulang dengan memanfaatkan teknologi iradiasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Pencemaran plastik merupakan masalah global yang tak kunjung usai. Penanganan dari hulu ke hilir perlu dilakukan lebih masif mulai dari penggunaan plastik secara bijak, pengelolaan sampah plastik dan sistem daur ulang plastik yang baik, hingga tata kelola sampah di pesisir dan laut yang optimal.
Semua upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang. Semua penduduk di dunia harus berkomitmen melakukannya secara konsisten. Jika tidak, persoalan sampah sulit diselesaikan.
Berbagai bukti secara nyata menunjukkan ancaman serius dari sampah plastik yang tidak terkendali, termasuk plastik dalam ukuran makro, mikro, dan nano. Banyak hewan mati karena plastik. Banyak ikan di lautan yang sudah tercemari plastik. Bahkan, garam laut pun ditemukan mengandung plastik nano.
Jumlah sampah plastik yang telanjur tidak terkendali perlu segera disikapi. Kesadaran masyarakat di sisi hulu yang mulai meningkat dalam mengelola plastik tetap perlu dibarengi dengan penanganan yang optimal di sisi hilir dalam proses daur ulang.
Terkait dengan hal itu, para peneliti dari Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengembangkan inovasi untuk mengurangi timbulan sampah plastik melalui proses daur ulang. Itu dilakukan dengan memanfaatkan teknologi iradiasi. Sampah plastik yang didaur ulang akan dijadikan produk komposit kayu plastik (WPC) yang bisa digunakan sebagai material untuk kendaraan dan bangunan.
Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi PAIR Batan Roziq Himawan, di Jakarta, Sabtu (29/5/2021), menyampaikan, pengembangan inovasi daur ulang plastik melalui teknik iradiasi ini berawal dari pertemuan yang diselenggarakan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) terkait dengan kontribusi penyelesaian polusi plastik.
Dari pertemuan itu, Indonesia yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berkomitmen mengembangkan penelitian daur ulang limbah plastik dengan teknologi iradiasi gamma. Iradiasi merupakan suatu proses yang membuat obyek terpapar radiasi.
”Indonesia pun mengusulkan untuk memanfaatkan limbah plastik menjadi WPC. Pilihan WPC ini diambil karena bahan tersebut banyak digunakan di masyarakat, mulai dari bahan pintu, lantai, dan mebel. Dengan begitu, produk yang dihasilkan nanti bisa digunakan secara luas,” ucapnya.
Secara teknis, Roziq menuturkan, plastik yang didaur ulang merupakan plastik dengan jenis polypropylene (PP) dan polyethylene (PE). Plastik yang sudah dikumpulkan itu kemudian didaur ulang menjadi bentuk bijih plastik melalui proses radiasi degradasi. Proses ini berfungsi untuk mengubah biomassa plastik menjadi selulosa sehingga plastik yang didaur ulang lebih mudah hancur.
Selanjutnya, bijih plastik akan dicampurkan dengan serbuk kayu yang memakai limbah tandan kosong kelapa sawit. Penggunaan tandan kelapa sawit ini sekaligus untuk memanfaatkan limbah yang tidak lagi terpakai.
Proses pengikatan
Untuk mengikat bijih plastik yang sudah didaur ulang dengan serbuk kayu, penggunaan plastik pertama (virgin plastic) dibutuhkan. Proses pengikatan ini juga dibantu dengan teknologi radiasi kopolimerisasi yang berfungsi membuat kompatibiliser (senyawa kimia pengikat matrik dan penguat pada sistem komposit) aditif dengan memakai bahan plastik.
Apabila plastik daur ulang sudah terikat dengan serbuk kayu, langkah selanjutnya membentuk bahan campuran itu menjadi pelet. Bahan dengan bentuk pelet ini akan dicetak menjadi bentuk yang diinginkan. Pencetakan ini memakai teknologi radiasi, yakni radiasi crosslinking yang berfungsi meningkatkan mutu bahan atau produk jadi akhir.
”Pengembangan saat ini masih tahap awal. Kami masih mencari komposisi yang optimal dari radiasi agar produk yang dihasilkan juga terbaik. Namun, dengan memakai teknologi radiasi, proses pembentukan WPC akan lebih minim energi serta bahan kimia sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan WPC yang sudah ada di pasaran saat ini,” tutur Roziq.
Teknologi yang mulai dikembangkan pada 2019 ini melibatkan berbagai institusi riset, antara lain Batan dan Universitas Indonesia. Kerja sama dengan pihak industri pun sudah dilakukan, yakni dengan PT Latrade Batam. Sejumlah produk percontohan sudah diberikan industri tersebut sebagai bahan referensi dari produk yang dikembangkan. Diharapkan, produk yang dikembangkan ini memiliki kualitas sama dengan yang ada di pasaran, tetapi lebih ekonomis.
Ditargetkan, riset ini selesai dan siap diproduksi secara massal pada 2024. Dengan begitu, produk yang dihasilkan bisa menggantikan produk yang selama ini harus diimpor. Penggunaan iradiasi memiliki berbagai keuntungan, antara lain proses lebih sederhana, tidak membutuhkan insiator kimia, serta dapat dilakukan pada suhu ruangan. Alat radiasi juga sudah dimiliki banyak instansi sehingga tidak menjadi kendala.
”Selanjutnya, kami menargetkan menghasilkan produk WPC yang bisa didaur ulang lagi atau bahkan biodegradable (terurai dengan alami). Jadi, jangan sampai hasil dari daur ulang sampah ini menjadi sampah lagi nantinya,” ucap Roziq.
Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan, dalam siaran pers, menuturkan, BATAN juga meneliti pemanfaatan isotop sebagai perunut penyebaran mikro plastik ke pantai dan lautan. Ia pun berharap pemanfaatan teknologi nuklir ini mampu berkontribusi dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup.
”Harapan kami, teknologi berbasis iptek nuklir dapat berkontribusi dalam pengendalian polusi sampah plastik, baik yang di darat maupun di air,” tuturnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyampaikan, sampah plastik di laut mengalami penurunan. Dalam waktu tiga tahun, sampah plastik laut berkurang dari 615.000 ton pada tahun 2018 menjadi 521.000 ton tahun 2020.
”Artinya, total sampah plastik laut di Indonesia berkurang 15,3 persen, baik untuk kegiatan di darat maupun yang berbasis di laut. Kami akan terus meningkatkan upaya mengurangi jumlah timbulan sampah sebesar 25,9 persen pada akhir tahun 2021 dan sebesar 38,5 persen pada akhir tahun 2022,” ujarnya.