Vaksin AstraZeneca Kode Produksi CTMAV 547 Kembali Digunakan
Setelah melakukan pengujian vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan kode produksi CTMAV 457, Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan vaksin ini aman untuk digunakan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan kode produksi CTMAV 547 kembali digunakan setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara mutu vaksin tersebut dan kejadian ikutan pascavaksinasi parah yang dilaporkan. Namun, pemerintah diminta mempertimbangkan penggunaan vaksin ini untuk usia lanjut.
Pada Jumat (28/5/2021), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merilis hasil pengujian vaksin Covid-19 AstraZeneca kode produksi CTMAV 547 di laman resminya. Dalam keterangan itu, BPOM menyatakan toksisitas abnormal dan sterilitas vaksin ini memenuhi syarat mutu dan aman digunakan.
BPOM menyimpulkan, ”Tidak ada keterkaitan antara mutu vaksin Covid-19 AstraZeneca nomor kode produksi CTMAV 547 dengan Kejadian Ikutan Pasca-imunisasi (KIPI) yang dilaporkan. Untuk itu, vaksin Covid-19 AstraZeneca nomor kode produksi CTMAV 547 dapat digunakan kembali.”
Sebelumnya, vaksin Covid-19 Astrazeneca nomor kode produksi CTMAV 547 ini ditangguhkan distribusi dan penggunaannya oleh Kementerian Kesehatan sejak pertengahan Mei 2021 setelah adanya laporan KIPI parah yang diduga terkait vaksin ini. BPOM kemudian melakukan pengujian mutu vaksin berupa uji sterilitas dan uji toksisitas abnormal di Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN) BPOM.
Uji mutu tersebut dilakukan untuk mengetahui adanya keterkaitan antara mutu produk vaksin dan KIPI yang dilaporkan, khususnya untuk mengetahui konsistensi mutu vaksin pada saat pendistribusian dan sebelum vaksin diedarkan.
Tidak ada keterkaitan antara mutu vaksin Covid-19 AstraZeneca nomor kode produksi CTMAV 547 dengan Kejadian Ikutan Pasca-imunisasi (KIPI) yang dilaporkan.
Belum ada perubahan
Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah juga belum akan mengubah algoritma penerima vaksin AstraZeneca sebagaimana dilakukan dilakukan di negara lain.
”Sampai sekarang tidak ada perubahan, kecuali nanti ada rekomendasi baru dari BPOM dan ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization),” katanya.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, menyarankan pemerintah memprioritaskan penggunaan vaksin AstraZeneca ini untuk kelompok lanjut usia, yang saat ini cakupannya masih sangat rendah. Prioritas vaksin untuk lansia juga untuk meminimalkan risiko kejadian vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT) atau pembekuan darah yang diikuti penurunan trombosit karena vaksin AstraZeneca.
”Saat ini ada ketakutan dan penolakan sebagian masyarakat, khususnya kalangan muda, terhadap vaksin AstraZeneca. Penerimaan masyarakat ini harus jadi pertimbangan juga,” katanya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan LaporCovid-19, peneliti vaksin dan biologi molekuler di John Curtin School of Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto, juga menyarankan agar pemerintah membuat algoritma penerima vaksin, salah satunya berdasarkan usia dengan mengambil pelajaran di negara lain. Tidak adanya kasus VITT di Indonesia bisa disebabkan masalah di infrastruktur pendataan atau pencatatan KIPI.
Menurut Ines, kasus VITT atau pembekuan darah disertai penurunan trombosit karena vaksin di Inggris mencapai 260 dari 30,8 juta dosis vaksin AstraZeneca yang telah disuntikkan di sana. Sementara di Australia, kejadiannya sebanyak 11 dari 1,4 juta orang yang divaksin. Secara keseluruhan, risiko VITT terkait AstraZeneca mencapai 10,9 per sejuta dosis yang disuntikkan.
Seperti dilaporkan di sejumlah negara, kasus VITT yang tidak tertangani bisa menyebabkan kematian. Laporan terbaru, Pemerintah Provinsi New Brunswicker di Kanada melaporkan orang kedua yang telah meninggal karena kelainan pembekuan darah yang terkait dengan vaksin AstraZeneca pada Jumat (21/5/2021).
Disebutkan dalam laporan Dinas Kesehatan New Brunswick ini, orang tersebut berusia 50-an, menerima vaksin pada 11 April dan dirawat ke rumah sakit 17 hari kemudian. ”Risiko yang terkait dengan vaksin ini jarang terjadi, tetapi nyata seperti yang kita lihat hari ini,” kata Kepala Petugas Medis dan Kesehatan New Brunswick Jennifer Russell dalam keterangan pers.
Di Asia Tenggara, negara yang juga sudah melaporkan kasus VITT terkait vaksin AstraZeneca adalah Vietnam. Seperti diberitakan Reuters pada 7 Mei, Vietnam melaporkan korban pertama yang meninggal karena kasus ini, yaitu pasien berusia 35 tahun.
Dari laporan di banyak negara, rata-rata kasus VITT dialami kelompok usia lebih muda, di bawah 50 tahun. Berdasarkan data ini, sejumlah negara hanya merekomendasikan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca ini untuk usia lanjut. Misalnya, Australia yang hanya menggunakannya untuk mereka yang berumur di atas 50 tahun, sedangkan di bawah umur itu bisa memilih vaksin lain.