Anak Muda Kunci Kedaulatan Sistem Pangan Indonesia
Sistem pangan di Indonesia belum adil, terutama bagi para produsen. Ketidakadilan ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan petani dan pada akhirnya menyebabkan anak muda enggan masuk ke sektor pertanian.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedaulatan sistem pangan di Indonesia cenderung melemah dengan terjadinya masalah, baik di tingkat produksi maupun konsumsi. Masalah produksi ditandai dengan rendahnya regenerasi petani, sedangkan di level konsumsi ditandai dengan membanjirnya produk pangan berbasis impor yang menggeser keragaman pangan lokal.
”Transformasi sistem pangan menjadi keniscayaan karena sistem pangan yang tidak berdaulat sangat rentan terkena guncangan, sebagaimana terjadi selama pandemi saat ini,” kata Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam diskusi daring dengan tema ”Youth for Future of Indonesia Food System”, Jumat (28/5/2021).
Kami secara khusus mengajak anak-anak muda untuk terlibat karena kami yakin dan percaya bahwa anak muda akan menjadi pelaku utama yang akan menentukan sistem pangan bangsa ini.(Said Abdullah)
Diskusi yang diselenggarakan KRKP bersama Yayasan Kehati ini menghadirkan perwakilan 53 anak muda dari sejumlah daerah di Indonesia. Diskusi merupakan rangkaian kegiatan United Nations Food System Summit (UNFSS) tahun 2021.
”Kami secara khusus mengajak anak-anak muda untuk terlibat karena kami yakin dan percaya bahwa anak muda akan menjadi pelaku utama yang akan menentukan sistem pangan bangsa ini,” kata Said.
Selain menguatnya impor pangan, Said juga menyoroti sistem pangan di Indonesia yang belum adil, terutama bagi para produsen. Ketidakadilan ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan petani dan pada akhirnya menyebabkan anak muda enggan masuk ke sektor pertanian.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Damayanti Buchori yang menjadi kurator diskusi mengatakan, dunia terus berubah dengan kompleksitas yang terus meningkat sehingga diperlukan upaya multidisiplin menghadapinya. Dalam hal pangan pun demikian, sistem pangan yang adil, berdaulat, dan resilien hanya akan terwujud jika ada interaksi multipihak dan sektor.
”Anak muda harus ambil bagian untuk menjawab tantangan perubahan yang makin kompleks. Selain itu, anak muda perlu ikut dalam mengubah sistem pangan untuk memastikan kemanusiaan hadir dalam sistem itu. Food system is something about humanity,” ujarnya.
Berdasarkan data International Trade Center (ITC), tren impor pangan di Indonesia terus meningkat. Misalnya, pada 2019, nilai impor pangan mencapai 11,57 miliar dollar AS, dibandingkan 8,38 miliar dollar AS pada 2015. Pangan yang diimpor meliputi beras, gula, buah-buahan, susu, daging, sayur-sayuran, gandum, ikan, udang, sereal, minyak, dan berbagai sumber pangan lain, yang sebagian bisa diproduksi di dalam negeri.
Kajian yang dilakukan KRKP menunjukkan, beberapa indikator kedaulatan pangan ternyata tidak membaik. Misalnya, ketimpangan kepemilikan lahan yang melebar. Sebanyak 531 pemegang konsesi hutan menguasai 35,8 juta hektar lahan, sementara 56 persen rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Data Badan Pertanahan Nasional juga menunjukkan 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset tanah.
Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani juga tidak membaik sehingga regenerasi petani tidak terjadi. Indikator lain, ketergantungan pada benih impor yang cenderung meningkat, seperti terjadi pada jagung, unggas, sapi, padi, dan kedelai.
Di sisi lain, selama pandemi terbukti sektor pertanian menjadi penopang penting ekonomi nasional. Sektor pertanian tercatat menjadi satu-satunya lapangan usaha yang tumbuh positif saat produk domestik bruto (PDB) nasional terkontraksi 2,07 persen selama tahun 2020.
Sektor pertanian masih tumbuh 1,75 persen dibandingkan sektor pertambangan yang minus 1,95 persen, industri pengolahan minus 2,93 persen, konstruksi minus 3,26 persen, perdagangan dan reparasi minus 3,72 persen, serta sektor lainnya minus 1,97 persen.
Pada sesi diskusi, muncul berbagai gagasan menarik dari para peserta, antara lain tentang gastrodiplomasi, memopulerkan pangan lokal yang terintegrasi ke pasar. Ada juga gagasan tentang desentralisasi produksi pangan. Gagasan ini menentang model produksi pangan terpusat, yang saat ini digalakkan pemerintah melalui program lumbung pangan (food estate) di sejumlah daerah. Gagasan lain yang mengemuka adalah memperkuat pangan lokal, keanekaragaman pangan sesuai tradisi setiap wilayah.
Selain itu, muncul gagasan pentingnya realisasi reforma agraria dan pembatasan impor sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya lain adalah penciptaan pasar inklusif dengan memperkuat usaha kecil menengah di sektor pangan dan badan usaha milik desa. Tanpa ada perbaikan ekonomi petani, minat generasi muda ke sektor pertanian sulit ditumbuhkan.
Dalam diskusi juga muncul usulan memperkuat literasi pangan masyarakat. Hal ini karena terjadi transisi pangan di masyarakat dengan ditinggalnya sumber pangan lokal yang beragam dan sehat menjadi aneka pangan olahan berbasis bahan baku impor, khususnya dari tepung terigu. Diusulkan agar masalah pangan bisa dimasukkan dalam kurikulum sejak sekolah dasar, gagasan tentang perlunya keterlibatan para pegiat media sosial mempromosikan pangan lokal nusantara.
Said mengatakan, hasil diskusi ini akan dirumuskan untuk menjadi dokumen usulan dari para anak muda melalui Bappenas, yang mewakili Indonesia dalam UNFFS.
”Inilah suara anak-anak muda yang akan kami sampaikan ke pemerintah dan UN. Kami berharap suara anak-anak muda yang selama ini tidak pernah didengar dapat diperhatikan dan mereka menjadi aktor utama untuk mewujudkan sistem pangan yang adil, resilien, dan berdaulat,” kata Said.